Dari Abi Umamah Al-Bahiliy, beliau berkata: "Rasululah s.a.w telah berkhutbah di hadapan kami. Dalam khutbahnya itu Baginda banyak menyentuh masalah Dajjal. Baginda telah bersabda: "Sesungguhnya tidak ada fitnah (kerosakan) di muka bumi yang paling hebat selain daripada fitnah yang dibawa oleh Dajjal. Setiap Nabi yang diutus oleh Allah SWT ada mengingatkan kaumnya tentang Dajjal. Aku adalah nabi yang terakhir sedangkan kamu adalah umat yang terakhir. Dajjal itu tidak mustahil datang pada generasi(angkatan) kamu. Seandainya dia datang sedangkan aku masih ada di tengah-tengah kamu, maka aku adalah sebagai pembela bagi setiap mukmin. Kalau dia datang sesudah kematianku, maka setiap orang menjaga dirinya.Dan sebenarnya Allah SWT akan menjaga orang-orang mukmin.

"Dajjal itu akan datang nanti dari satu tempat antara Syam dan Irak.
Dan mempengaruhi manusia dengan begitu cepat sekali. Wahai hamba Allah, wahai manusia, tetaplah kamu. Di sini akan saya terangkan kepada kamu ciri-ciri Dajjal, yang belum diterangkan oleh nabi-nabi sebelumku kepada umatnya.

"Pada mulanya nanti Dajjal itu mengaku dirinya sebagai nabi. Ingatlah, tidak ada lagi nabi sesudah aku. Setelah itu nanti dia mengaku sebagai Tuhan. Ingatlah bahawa Tuhan yang benar tidak mungkin kamu lihat sebelum kamu mati. Dajjal itu cacat matanya sedangkan Allah SWT tidak cacat, bahkan tidak sama dengan baharu. Dan juga di antara dua mata Dajjal itu tertulis KAFIR, yang dapat dibaca oleh setiap mukmin yang pandai
membaca atau buta huruf.

"Di antara fitnah Dajjal itu juga dia membawa syurga dan neraka. Nerakanya itu sebenarnya syurganya sedangkan syurganya itu neraka, yakni panas. Sesiapa di antara kamu yang disiksanya dengan nerakanya, hendaklah dia meminta pertolongan kepada Allah dan hendaklah dia membaca pangkal surah Al-Kahfi, maka nerakanya itu akan sejuk sebagaimana api yang membakar Nabi Ibrahim itu menjadi sejuk.

"Di antara tipu dayanya itu juga dia berkata kepada orang Arab:

"Seandainya aku sanggup menghidupkan ayah atau ibumu yang sudah lama meninggal dunia itu, apakah engkau mengaku aku sebagai Tuhanmu?" Orang Arab itu akan berkata: "Tentu." Maka syaitan pun datang menyamar seperti ayah atau ibunya.

Rupanya sama, sifat-sifatnya sama dan suaranya pun sama. Ibu-bapanya berkata kepadanya: "Wahai anakku, ikutilah dia, sesungguhnya dialah Tuhanmu."

"Di antara tipu dayanya juga dia tipu seseorang, yakni dia bunuh dan dia belah dua. Setelah itu dia katakan kepada orang ramai: "Lihatlah apa yang akan kulakukan terhadap hambaku ini, sekarang akan kuhidupkan dia semula.
Dengan izin Allah orang mati tadi hidup semula. Kemudian Laknatullah Alaih itu bertanya: "Siapa Tuhanmu?" Orang yang dia bunuh itu, yang kebetulan orang beriman, menjawab: "Tuhanku adalah Allah, sedangkan engkau adalah musuh Allah." Orang itu bererti lulus dalam ujian Allah dan dia termasuk orang yang paling tinggi darjatnya di syurga."

Kata Rasulullah s.a.w lagi: "Di antara tipu dayanya juga dia suruh langit supaya menurunkan hujan tiba-tiba hujan pun turun. Dia suruh bumi supaya mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya tiba-tiba tumbuh.. Dan termasuk ujian yang paling berat bagi manusia, Dajjal itu datang ke perkampungan orang-orang baik dan mereka tidak mengakunya sebagai Tuhan, maka disebabkan yang demikian itu tanam-tanaman dan ternakan mereka tidak menjadi.

"Dajjal itu datang ke tempat orang-orang yang percaya kepadanya dan penduduk kampung itu mengakunya sebagai Tuhan. Disebabkan yang demikian hujan turun di tempat mereka dan tanam-tanaman mereka pun menjadi. "Tidak ada kampung atau daerah di dunia ini yang tidak didatangi Dajjal kecuali Makkah dan Madinah. Kedua-dua kota itu tidak dapat ditembusi oleh Dajjal kerana dikawal oleh Malaikat. Dia hanya berani menginjak pinggiran Makkah dan Madinah. Namun demikian ketika Dajjal datang ke pergunungan di luar kota Madinah, kota Madinah bergoncang seperti gempa bumi. Ketika itu orang-orang munafik kepanasan seperti cacing dan tidak tahan lagi tinggal di Madinah. Mereka keluar dan pergi bergabung dengan orang-orang yang sudah menjadi pengikut Dajjal. Inilah yang dikatakan hari pembersihan kota Madinah.

Dalam hadis yang lain, "di antara fitnah atau tipu daya yang dibawanya itu, Dajjal itu lalu di satu tempat kemudian mereka mendustakannya (tidak beriman kepadanya), maka disebabkan yang demikian itu tanam-tanaman mereka tidak menjadi dan hujan pun tidak turun di daerah mereka. Kemudian dia lalu di satu tempat mengajak mereka supaya beriman kepadanya. Mereka pun beriman kepadanya. Maka disebabkan yang demikian itu Dajjal menyuruh langit supaya menurunkan hujannya dan menyuruh bumi supaya menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya. Maka mereka mudah mendapatkan air dan tanam-tanaman mereka subur."

Dari Anas bin Malik, katanya Rasulullah s.a.w bersabda: "Menjelang turunnya Dajjal ada tahun-tahun tipu daya, iaitu tahun orang-orang pendusta dipercayai orang dan orang jujur tidak dipercayai. Orang yang tidak amanah dipercayai dan orang amanah tidak dipercayai."

Dari Jabir bin Abdullah, katanya Rasulullah s.a.w ada bersabda: "Bumi yang paling baik adalah Madinah. Pada waktu datangnya Dajjal nanti ia dikawal oleh malaikat. Dajjal tidak sanggup memasuki Madinah. Pada waktu datangnya Dajjal (di luar Madinah), kota Madinah bergegar tiga kali. Orang-orang munafik yang ada di Madinah (lelaki atau perempuan) bagaikan cacing kepanasan kemudian mereka keluar meninggalkan Madinah. Kaum wanita adalah yang paling banyak lari ketika itu. Itulah yang dikatakan hari pembersihan. Madinah membersihkan kotorannya seperti tukang besi membersihkan karat-karat besi."

Diriwayatkan oleh Ahmad, hadis yang diterima dari Aisyah r.a. mengatakan:
"Pernah satu hari Rasulullah s.a.w masuk ke rumahku ketika aku sedang menangis. Melihat saya menangis beliau bertanya: "Mengapa menangis?" Saya menjawab: "Ya Rasulullah, engkau telah menceritakan Dajjal, maka saya takut mendengarnya. " Rasulullah s.a.w berkata: "Seandainya Dajjal datang pada waktu aku masih hidup, maka aku akan menjaga kamu dari gangguannya.

Kalau dia datang setelah kematianku, maka Tuhan kamu tidak buta dan cacat."

Dari Jabir bin Abdullah, katanya Rasulullah s.a.w bersabda: "Dajjal muncul pada waktu orang tidak berpegang kepada agama dan jahil tentang agama. Pada zaman Dajjal ada empat puluh hari, yang mana satu hari terasa bagaikan setahun, ada satu hari yang terasa bagaikan sebulan, ada satu hari yang terasa satu minggu, kemudian hari-hari berikutnya seperti hari biasa."

Ada yang bertanya: "Ya Rasulullah, tentang hari yang terasa satu tahun itu, apakah boleh kami solat lima waktu juga?" Rasulullah s.a.w menjawab: "Ukurlah berapa jarak solat yang lima waktu itu." Menurut riwayat Dajjal itu nanti akan berkata: "Akulah Tuhan sekalian alam, dan matahari ini berjalan dengan izinku. Apakah kamu bermaksud menahannya?" Katanya sambil ditahannya matahari itu, sehingga satu hari lamanya menjadi satu minggu atau satu bulan.

Setelah dia tunjukkan kehebatannya menahan matahari itu, dia berkata kepada manusia: "Sekarang apakah kamu ingin supaya matahari itu berjalan?" Mereka semua menjawab: "Ya, kami ingin." Maka dia tunjukkan lagi kehebatannya dengan menjadikan satu hari begitu cepat berjalan.

Menurut riwayat Muslim, Rasulullah s.a..w bersabda: "Akan keluarlah Dajjal kepada umatku dan dia akan hidup di tengah-tengah mereka selama empat puluh.

Saya sendiri pun tidak pasti apakah empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun. Kemudian Allah SWT mengutus Isa bin Maryam yang rupanya seolah-olah Urwah bin Mas'ud dan kemudian membunuh Dajjal itu."

Amalan Di Bulan Rajab

Keterangan yang muktamad tentang bulan Rajab adalah bahwa bulan itu termasuk bulan-bulan yang dihormati, atau dalam Al-Qur’an disebut sebagai Asyhurul Hurum, yaitu, Muharram Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.

Dalam bulan-bulan tersebut, Allah SWT melarang peperangan dan ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum turunya syariat Islam. Allah Swt berfirman:

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS At-Taubah: 36)

Dari para ulama kalangan mazhab Asy-Syafi’i, Imam An-Nawawi berkomentar tentang puasa sunnah khusus di bulan Rajab, “Tidak ada keterangan yang tsabit tentang puasa sunnah Rajab, baik berbentuk larangan atau pun kesunnahan.

Namun pada dasarnya melakukan puasa hukumnya sunnah (di luar Ramadhan). Dan diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunan bahwa Rasulullah SAW menyunnahkan berpuasa di bulan-bulan haram, sedang bulan Rajab termasuk salah satunya.”

Adapun tentang keutamaan bulan Rajab, kebanyakan ulama mengatakan bahwa dasarnya sangat lemah, bahkan boleh dikatakan tidak ada keterangan yang kuat yang mendasarinya dari sabda Rasulullah SAW.

Sayangnya, entah bagaimana prosesnya, justru sebahagian kaum muslimin berpendapat bahwa bulan Rajab memiliki berbagai keutamaan, sehingga umat Islam dianjurkan untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu agar mereka dapat meraih fadhilah atau keutamaan tersebut.

Di antara contoh-contoh amalan-amalan yang sering dipercaya umat Islam untuk dilakukan pada bulan Rajab adalah:

Mengadakan shalat khusus pada malam pertama bulan Rojab.
Mengadakan shalat khusus pada malam Jum’at minggu pertama bulan.
Shalat khusus pada malam Nisfu Rajab (pertengahan atau tanggal 15 Rajab).
Shalat khusus pada malam 27 Rajab (malam Isra’ dan Mi’raj).
Puasa khusus pada tanggal 1 Rajab.
Puasa khusus hari Kamis minggu pertama bulan Rajab.
Puasa khusus pada hari Nisfu Rajab.
Puasa khusus pada tanggal 27 Rajab.
Puasa pada awal, pertengahan dan akhir bulan Rajab.
Berpuasa khusus sekurang-kurang-nya sehari pada bulan Rajab.
Mengeluarkan zakat khusus pada bulan Rajab.
Umrah khusus di bulan Rajab.
Memperbanyakkan Istighfar khusus pada bulan Rajab.
Akan tetapi, semua pendapat tersebut tidak dapat dipegang, karena kalau kita jujur terhadap sumber-sumber asli agama ini, nyaris tidak satu pun amalan-amalan di atas yang berdasarkan kepada hadis-hadis yang shahih.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Ra. dijelaskan bahwa Rasulullah SAW apabila memasuki bulan Rajab beliau senantiasa berdo’a:

“Allahumma Baarik Lanaa Fii Rajab Wa Sya’baan Wa Ballighnaa Romadhan” (Yaa Allah, Anugerahkanlah kepada kami barokah di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan) (HR Ahmad dan Bazzar).

Sayangnya hadis ini menurut Ibnu Hajar tidak kuat. Sedangkan hadis-hadis yang lainnya yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan bulan Rajab, tak ada satu pun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Misalnya hadits yang bunyinya:

“Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban adalah bulanku (Rasulullah SAW ) dan Ramadhan adalah bulan ummatku”

Hadits ini oleh para muhaddits disebutkan sebagai hadits palsu dan munkar. Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa para muhadditsin telah mengatakan kemungkaran dan kepalsuan hadits ini dalam fatwa kontemporer beliau.

Dalam kitab Iqthidha Shiratil Mustaqim, Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada satu keterangan pun dari Nabi SAW berkaitan dengan keutamaan bulan Rajab, bahkan keumuman hadis yang berkaitan dengan hal tersebut merupakan hadis-hadis palsu.” (Iqthidha Shirathil Mustaqim, 2/624)

Ibnu Hajar Al-Asqalani secara khusus telah menulis masalah kedha’ifan dan kemaudhu’an hadits-hadits tentang amalan-amalan di bulan Rajab. Beliau menamakannya: Taudhihul Ajab bi maa Warada fi Fadhli Rajab.“ Di dalamnya beliau menulis, “Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab, tidak juga berkaitan dengan shaumnya, atau pun berkaitan dengan shalat malam yang dikhususkan pada bulan tersebut. Yang merupakan hadis shahih yang dapat dijadikan hujjah.”

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada satu keterangan pun yang dapat dijadikan hujjah yang menunjukkan tentang keutamaan bulan Rajab. Baik itu berkaitan tentang keutamaan shaum di bulan tersebut, shalat pada malam-malam tertentu atau ibadah-ibadah yang lainnya yang khusus di lakukan pada bulan Rajab.

Wallahu a’lam bishshawab

Kesabaran Allah s.w.t

Dari Abdullah bin Qais r.a katanya, Rasulullah s.a.w bersabda: "Tidak ada yang lebih sabar mendengar ejekan, selain daripada Allah S.W.T. Orang-orang kafir mengatakan-Nya berbilang (banyak atau bersekutu), atau mereka mengangkat anak bagi-Nya. Namun begitu Allah Taala tetap memberi mereka rezeki, memaafkan mereka dan memberikan apa yang mereka pinta.” (Riwayat Muslim)

Huraian:
Nikmat Allah S.W.T maha luas dan tiada sesiapapun dapat menyekatnya. Allah juga Maha Sabar dalam setiap urusan-Nya. Manusia yang dijadikan oleh Allah adalah makhluk yang diamanahkan untuk menggunakan nikmat yang diperolehi itu untuk keperluan mendekatkan diri kepada-Nya. Namun begitu ada juga golongan manusia yang menggunakan nikmat Allah tetapi dalam masa yang sama mereka semakin jauh daripada Allah S.W.T.

Hal ini terjadi kerana hati mereka telah mati lantaran nikmat itu diguna atau disalurkan kepada perkara-perkara mungkar termasuklah golongan yang syirik atau kafir yang seolah-olah nikmat itu tidak disedari oleh mereka dan akhirnya menjadikan mereka semakin sesat dan melupakan Allah. Bagi orang yang kufur tetapi mendapat keistimewaan atau nikmat yang lebih ini mereka dikatakan mendapat istidraj iaitu pemberian nikmat Allah yang besar tetapi pemberian itu tidak diredhai-Nya.

Rasulullah s.a.w. bersabda :"Apabila kamu melihat bahawa Allah Taala memberikan nikmat kepada hamba-Nya yang selalu membuat maksiat (durhaka), ketahuilah bahawa orang itu telah diistidrajkan oleh Allah SWT." (at-Tabrani, Ahmad dan Al-Baihaqi)

Manusia yang mendapat istidraj adalah manusia yang lupa daratan. Maka apakah ertinya hidup ini jika mendapat seribu macam nikmat seperti kaya, berkuasa dan sebagainya tetapi sama sekali tidak diberkati malah dibenci oleh Allah S.W.T. Sepatutnya orang-orang yang kaya dengan berbagai nikmat hendaklah mengunakan nikmat Allah itu untuk kebajikan dan mengabdikan diri kepada Allah agar hidup mereka diredhai Allah bahkan itulah sifat makhluk yang benar-benar bersyukur.

Jiwa orang selalu ingat Allah sentiasa bening, tenang walaupun banyak masalah hidup

ORANG dalam hatinya terpancar keimanan kukuh, akan selalu giat berusaha sepanjang langkah usianya untuk bertaqarub kepada Allah kerana didorong rasa cinta mendalam terhadap-Nya. Kasih sayang dan kecintaan kepada Allah menjadikan seseorang itu sentiasa rindu pada-Nya.

Ibarat seorang anak muda sedang mabuk asmara, selalu terkenang-kenang si buah hatinya. Orang yang beriman, ingatannya tetap bergetar tulus kepada-Nya tanpa mengira waktu dan tempat. Bagi mukmin sejati, zikir dan hati adalah satu nyawa, tidak boleh dipisahkan.

Ia ditegaskan Ibn Taimiyah: "Zikir bagi hati adalah umpama air bagi ikan, bagaimana keadaan ikan apabila berpisah daripada air?"

Inilah gambaran orang beriman, yakin percaya kepada Allah dan menginsafi diri tidak lebih sebagai seorang hamba sangat lemah yang selama ini menerima nikmat Allah tidak terhitung banyaknya.

Hal ini menepati firman Allah yang bermaksud: "Wahai orang beriman, (untuk bersyukur kepada Allah) ingatlah serta sebutlah nama Allah dengan ingatan serta sebutan yang sebanyak-banyaknya; dan bertasbihlah kamu kepada-Nya pada waktu pagi dan petang." (Surah al-Ahzab, ayat 41-42)

Kebanyakan masyarakat faham zikir hanya kata-kata yang dilafazkan saban kali habis menunaikan solat fardu, solat sunat atau membisik doa ketika ingin makan, memulakan sesuatu kerja yang baik, terjaga dan tidur serta bersin.

Padahal hakikat zikir kepada Allah sebenarnya tidak tertentu kepada zikir lisan semata-mata seperti mana ditegaskan Al-Imam An-Nawawi, bahawa zikir tidak terbatas kepada tasbih, tahlil, takbir dan lain-lain zikir lisan, mereka yang bekerja kerana Allah juga orang yang berzikir kepada Allah.

Pendapat beliau disokong Basri Ibrahim Al-Azhari dalam bukunya Salah Faham Terhadap Konsep Ibadah, Ilmu dan Zikir, bahawa setiap orang yang taat kepada Allah, mengikut segala diperintahkan dan meninggalkan dilarang oleh-Nya dikira sebagai orang yang berzikir.

Zikir terbahagi kepada tiga bahagian iaitu zikir hati, lidah dan anggota. Zikir hati memikirkan keagungan dan kebesaran Allah di bumi, langit dan seluruh kejadian makhluk-Nya. Zikir lidah pula melantunkan puji-puji kepada Allah, mensyukuri nikmat kurniaan-Nya, menyeru masyarakat ke arah ajaran Islam, menerangkan kebaikan syarak, menjelaskan hikmah pada perintah dan larangan Allah, memberi nasihat kepada sesama Islam.

Sementara zikir anggota pula menggunakan anggota badan untuk melakukan amalan ketaatan, sama ada dalam bentuk melakukan segala suruhan atau meninggalkan segala larangan Allah.

Orang yang lupa atau lalai kepada Allah, hatinya selalu dirundung resah gelisah, tenggelam dalam kebimbangan dan sengaja meletakkan dirinya di tempat mengundang kemurkaan Allah lantaran tidak rasa bersalah terhadap kemungkaran dilakukan.

Lupa kepada Allah menandakan hati seseorang itu sudah berkarat dengan sifat mazmumah yang sangat keji. Orang beriman tidak akan membiarkan hatinya berkarat dan penuh dengan kekotoran, ia akan sentiasa menggilap hatinya dengan berzikir kepada Allah.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah pernah berkata: "Tidak dimungkiri bahawa hati itu dapat berkarat seperti berkaratnya besi dan perak. Alat yang dapat membersihkan hati berkarat adalah zikir. Zikir dapat membersihkan hati berkarat sehingga dapat berubah menjadi bening seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan zikir, hatinya akan berkarat. Dan apabila ia berzikir, hatinya akan bersih."

Sesungguhnya seseorang yang lalai daripada mengingati Allah bermakna dirinya dihinggapi penyakit sombong, lupa asal kejadian diri sebagai makhluk lemah yang diciptakan semata-mata supaya mengabdikan diri kepada-Nya dan mewarisi sifat orang munafik.

Firman Allah yang bermaksud: "Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan, apabila mereka berdiri untuk solat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riak (dengan solat) di hadapan manusia. Dan, tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali." (Surah an-Nisa, ayat 142)

Setiap mukmin sewajarnya menjadikan zikir sebagai sesuatu yang tidak terpisah daripada kehidupan seharian kerana banyak keistimewaan bakal diterima oleh orang yang sentiasa berzikir.

Kitab Tanbih al-Ghafilin menyatakan lima kelebihan dan faedah berzikir, iaitu mendapat keredaan Allah, menambahkan kesungguhan melaksanakan ketaatan, terkawal daripada hasutan syaitan, melembutkan hati dan mencegah daripada melakukan maksiat.

Orang yang memperbanyakkan zikir, dosanya akan diampuni sekali gus mendapat ganjaran pahala besar seperti firman yang bermaksud: "Lelaki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Aku sudah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Surah al-Ahzab, ayat 35)

Orang yang selalu ingat kepada Allah jiwanya menjadi bening dan tenang, sekalipun sedang menghadapi banyak permasalahan hidup, ujian, musibah dan seumpamanya. Firman Allah yang bermaksud: "Ingatnya, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (Surah al-Ra'ad, ayat 28)

Sesungguhnya dengan selalu ingat kepada Allah, akhlak diri menjadi indah dan menarik, sekali gus menjadi cermin bagusnya nilai ajaran Islam dan hebatnya orang mukmin pada mata orang bukan Islam seperti pernah ditunjukkan junjungan besar Nabi Muhammad SAW.

Jangan jadikan sibuk dengan urusan kehidupan di dunia sebagai alasan lupa kepada Allah. Sungguh Allah melarang keras seseorang memiliki sifat lalai seperti ditegaskan firman yang bermaksud: "Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (Surah al-A'raf, ayat 205)


Oleh Mohd Adid Ab Rahman

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’alaa anhu, Rasulullah bersabda, :
“Sungguh Allah mencintai orang yang bersin dan membenci orang yang menguap, maka jika kalian bersin maka pujilah Allah, maka setiap orang yang mendengar pujian itu untuk menjawabnya; adapun menguap, maka itu dari syaitan, maka lawanlah itu sekuat tenagamu. Dan apabila seseorang menguap dan terdengar bunyi: Aaaa, maka syaitan pun tertawa karenanya”. (Shahih Bukhari, 6223)

Imam Ibn Hajar berkata, “Imam Al-Khathabi mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak tercapainya rasa kenyang.

Ini berbeda dengan orang yang menguap. Menguap terjadi karena badan yang kekenyangan, dan badan terasa berat untuk beraktivitas, hal ini karena banyaknya makan . Bersin bisa menggerakkan orang untuk bisa beribadah, sedangkan menguap menjadikan orang itu malas
(Fath-hul Baari: 10/6077)

Nabi menjelaskan bagaimana seseorang yang mendengar orang yang bersin dan memuji Allah agar membalas pujian tersebut.

Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang diantara kalian bersin, maka ucapkanlah Al-Hamdulillah, dan hendaklah orang yang mendengarnya menjawab dengan Yarhamukallahu, dan bila dijawab demikian, maka balaslah dengan ucapan Yahdikumullahu wa Yushlihubaalakum (HR. Bukhari, 6224)

Dan para doktor di zaman sekarang mengatakan, “Menguap adalah gejala yang menunjukkan bahwa otak dan tubuh orang tersebut membutuhkan oksigen dan nutrisi; dan karena organ pernafasan kurang dalam menyuplai oksigen kepada otak dan tubuh.

Dan hal ini terjadi ketika kita sedang mengantuk atau pusing, lesu, dan orang yang sedang menghadapi kematian. Dan menguap adalah aktivitas menghirup udara dalam-dalam melalui mulut, dan bukan mulut dengan cara biasa menarik nafas dalam-dalam !!!

Karena mulut bukanlah organ yang disiapkan untuk menapis udara seperti hidung.Maka, apabila mulut tetap dalam keadaan terbuka ketika menguap, maka masuk juga berbagai-bagai jenis mikroba, kuman dan debu, atau kutu bersamaan dengan masuknya udara ke dalam tubuh.

Oleh karena itu, datang petunjuk nabawi yang mulia agar kita melawan “menguap” ini sekuat kemampuan kita, atau pun menutup mulut saat menguap dengan tangan kanan atau pun dengan punggung tangan kiri.Bersin adalah lawan dari menguap yaitu keluarnya udara dengan keras, kuat disertai hentakan melalui dua lubang: hidung dan mulut.

Maka akan terkuras dari badan bersamaan dengan bersin ini sejumlah hal seperti debu, haba’ (sesuatu yang sangat kecil, di udara, yang hanya terlihat ketika ada sinar matahari), atau kutu, atau mikroba yang terkadang masuk ke dalam organ pernafasan.

Oleh karena itu, secara tabiat, bersin datang dari Yang Maha Rahman (Pengasih), sebab padanya terdapat manfaat yang besar bagi tubuh. Dan menguap datang dari syaithan sebab ia mendatangkan bahaya bagi tubuh.

Dan atas setiap orang hendaklah memuji Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Tinggi ketika dia bersin, dan agar meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk ketika sedang menguap.
(Lihat Al-Haqa’iq Al-Thabiyah fii Al-Islam: hal 155).

Hati adalah alat bagi mengingat dan berzikir kepada Tuhan. Tempat untuk kita sedar dan insaf bahawa ALLAH itu wujud dan kita ini hamba dan ciptaanNya. Hati adalah tempat untuk merasa berTuhan. Untuk merasakan bahawa ALLAH itu Maha Berkuasa, Maha Agung, Maha Hebat dan Maha Kaya. Untuk merasakan ALLAH itu Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Untuk merasakan ALLAH itu Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan sebagainya.

Hati yang berzikir kepada Tuhan ialah hati yang merasa berTuhan iaitu yang merasakan segala sifat-sifat Tuhan yang Maha Sempurna. Hati yang merasa hebat, gerun dan takut pada ALLAH Hati yang rasa dilihat, diawasi dan dikawal oleh ALLAH. Hati yang merasakan Tuhan ada peranan dalam hidupnya dan dalam pentaadbiran alam ini. hati yang merasakan bahawa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari pengetahuan dan penguasaan Tuhan. Hati yang merasa bersyukur di atas segala nikmat Tuhan. Yang merasa perlu kepada Tuhan dan yang merasakan bahawa akhirnya nanti kesemua ciptaan ini akan kembali kepada Tuhan.
Rasa-rasa seperti ini pasti ada kesan pada hati. Apakah kesannya? Ada yang berkata berzikir dan merasa berTuhan ini akan menenangkan jiwa. Mereka merujuk kepada ayat Al Quran yang bermaksud:

"Ketahuilah bahawa dengan mengingati ALLAH itu hati akan tenang"
(Surah Ar Raad: 28)

Kalau dilihat sekali imbas, mungkin kita dapat kita berpegang kepada maksud ini. tetapi ada pula ayat lain yang membawa maksud yang berlainan atau yang berlawanan seperti ayat yang di bawah:

"Orang Mukmin itu apabila disebut nama ALLAH, gementar hati-hati mereka."
(Surah Al Anfaal: 2)

Nampaknya macam kedua-dua ayat ini bertentangan dan berlawanan maksudnya. Bagaimana pula hati orang berzikir yang gementar boleh rasa tenang atau hatinya yang tenang boleh rasa gementar pada waktu yang sama. "Gementar" dan "tenang" adalah 2 perasaan yang berlawanan dan berbeza.

Kalau begitu apakah yang sebebnarnya yang patut dirasakan oleh hati apabila kita berzikir atau mengingati ALLAH? Patut tenang atau patut gementar? Disebabkan ada ayat yang mengatakan hati patut tenang dan ada pula ayat yang mengatakan hati patut gementar, maka kita sepatutnya merasakan kedua-dua perasaan ini sekaligus. Kalau tidak, kita tidak selaras dengan kehendak Al Quran. Kalau rasa hati kita tidak selaras dengan kehendak Al Quran, nyata bahawa kita yang salah. Al Quran tidak salah kerana Al Quran itu adalah Kalammullah. Mari kita kupas perkara ini, moga-moga kita dapat memahami.

Yang dikatakan tenang itu adalah berkaitan hubungan hati kita dengan dunia dan hal-hal bersifat keduniaan. Kalau kita berzikir dan mengingati Tuhan, pasti kita akan tenang dengan urusan dunia. Tidak ada apa di dunia ini yang sebegitu besar atau penting sehingga boleh menjejaskan ketenangan hati kita. Dunia ini kecil dan remeh. Bak kata orang putih: "little significance". Nikmatnya kecil. Siksaannya juga kecil. Segala-galanya di dunia ini remeh dan kecil.

Tetapi dengan Tuhan, kita tidak boleh ambil ringan. Dengan Tuhan mesti sentiasa gementar dan bergelora. Orang yang beriman dan bertaqwa itu, hati-hati mereka sentiasa bergelora dengan Tuhan. Mereka kenal akan Tuhan. Justeru itu mereka rasa cinta dan takut dengan Tuhan. Mereka rasa hebat dan gerun dengan Tuhan. Mereka rasa sentiasa diawasi Tuhan. rasa-rasa ini sentiasa mencengkam hati-hati mereka. Mereka sentiasa merasa Tuhan melihat mereka. Mereka rasa Tuhan mengetahui segala-galanya apa yang ada pada diri lahir mereka dan segala yang ada dalam hati mereka. Mereka merasakan kekuasaan Tuhan. Bila Tuhan kata: "Jadi........maka jadilah" Mereka rasa ALLAH boleh matikan mereka bila-bila masa sahaja. Azab dan siksa Tuhan sangat pedih.

Begitulah sepatutnya rasa-rasa hati kita apabila zikrullah. Ada tenang dan gementar. Tenang dengan dunia dan hal-hal dunia tetapi gementar dengan Tuhan. lagi kuat gementar dan bergeloranya hati seseorang dengan Tuhan , maka lagi tenang hatinya dengan dunia. Tenang dengan dunia itu rahmat. Gementar dengan Tuhan itu juga rahmat. Kedua-dua itu ada kemanisannya.

Sebaliknya gementar dengan dunia itu azab. Itu tanda kita diperhamba oleh dunia. Tenang dengan Tuhan itu juga azab. Itu tanda kita sudah hilang sifat kehambaan kita. Kedua-duanya akan membawa kecelakaan kepada kita di dunia, lebih-lebih lagi di Akhirat.

Seorang syeikh menceritakan bahawa di Moroko ada seorang zahid yang dikenal sangat tekun meniti jalan sufi. Ia hidup sangat sederhana sebagai nelayan. Sebagian hasil tangkapannya ia sedekahkan dan sebahagian lagi ia makan. Suatu ketika seorang muridnya ingin pergi ke sebuah daerah di Moroko. Syeikh yang nelayan itu berkata, "Setibanya di sana, temuilah Fulan. Sampaikan salamku kepadanya dan mintalah doa darinya. Sebab, ia seorang wali Allah."

Sang murid bercerita, "Kemudian aku pergi hingga tiba di negeri yang dituju. Aku menanyakan keberadaan orang tersebut. Mereka menunjukkan sebuah rumah yang menunujukkan di tempati seorang raja. Aku terheran-heran melihatnya. Lalu aku meminta izin untuk menemui orang tersebut. Seseorang memberi tahu bahawa ia sedang menemani raja. Aku semakin herann. Tak lama berselang, ia datang dengan memakai pakaian yang sangat bagus dan kereta yang indah. Penampilannya laksana seorang raja. Keadaan itu membuatku semakin heran. Sempat terdetik dalam hatiku untuk kembali dan tidak menemuinya. Namun, aku tidak mahu menentang amanat guruku. Kemudian, aku meminta izin untuk masuk. Dan ia mengajakku masuk. Setibanya di dalam rumah, aku semakin takjub melihat banyaknya budak dan pelayan.

Lalu aku berkata kepadanya, "Saudaramu, Fulan, mengirimkan salam kepadamu?"

Ia balik bertanya,"Engkau dari sana?!"
"Ya."
"Kalau kau pulang nanti, tanyakan kepadanya, "Sampai bila kau menyibukkan diri dengan dunia? Sampai bila kau mengejar dunia? Dan sampai bila kau memelihara keinginanmu terhadap dunia?"

Mendengar ucapan, demi Allah aku semakin heran. Ketika pulang ke tempat guruku, ia bertanya,"Engkau sudah bertemu dengan Fulan?"
"Ya."
"Apa yang ia katakan kepadamu?"
"Tidak ada."
"Namun ia berkata,"Pasti ia berpesan sesuatu untukku." Akhirnya, aku menyampaikan kepadanya ucapan wali tersebut. Mendengar itu, Syeikh menangis lama, lalu berkata,"Saudaraku itu memang benar. Allah telah membersihkan kalbunya dari dunia sehingga hanya ada di tangannya, tak berbekas di hatinya. Sementara, aku mengambilnya dari tangan dan hatiku masih menginginkannya."

Pertanyaan sebahagian sahabat kpd Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Nabi sebagai berikut:
"Siapakah wali-wali Allah yang tidak takut dan gundah? Nabi s.a.w menjawab: Ialah orang-orang yang selalu memperhatikan bathin dunia pada ketika manusia memperhatikan lahiriah dunia. Dan mereka itu pula mementingkan lahiriah dunia pada ketika ummat manusia mementingkan dunia di waktu sekarang."

Dari Hadis ini, bahawa wali-wali Allah meskipun mereka memegang dunia, apakah mereka merupakan sebagai raja atau seorang yang kaya, mereka itu tidak melihat kepada lahiriah dunia, tetapi mereka melihat kepada bathin dunia itu dan hakikatnya. Sebab mereka mengetahui, bahawa dunia itu tidak abadi, tetapi hanya sebentar sahaja. Sedangkan yang abadi adalah faedah yang mereka dapatkan daripada menempatkan dunia itu pada tempatnya dalam erti 'sebagai alat untuk mencari keredhaan Allah s.w.t'

Berlainan dengan manusia biasa, mereka berlumba-lumba mencari keuntungan dunia sekarang juga tanpa memikirkan keridhaan Allah pada pekerjaannya itu. Sedangkan wali-wali Allah melihat kepada penglihatan yang jauh, yakni masa-masa setelah kita berpisah dengan dunia yang fana', mulai dari alam barzakh hingga sampai ke alam akhirat yang kekal lagi baqa.

Isi surat dari Sayidina Ali kpd Salman Al-Farisi:
"Dunia itu adalah seumpama ular, lembut sentuhannya, tetapi bisanya mematikan, maka berpalinglah anda dengan menjauhkan diri dari semua sesuatu yang menimbulkan kekaguman anda padanya (dunia) kerana (akan menjadi) sedikit sesuatu yang menyertai anda dari (bahaya) dunia itu."

Kalimat Saiyidina Ali ini merupakan peringatan kepada Salman Farisi pada khususnya dan ummat Islam pada umumnya tentang hakikat pangkat keduniaan. Bukan tidak boleh kita menduduki pangkat keduniaan itu, tetapi beliau memperingatkan supaya pada kita ada ketahanan mental atau ketahanan bathin, sehingga kita dapat mengendalikan pangkat keduniaan itu demi untuk keselamatan kita di dunia dan akhirat. Apabila ketahanan mental atau bathin kita tidak ada dalam diri kita, maka kita akan terpengaruh dari kekaguman kita terhadap dunia yang sedang kita pegang.

Oleh sebab itu maka keimanan kepada Allah s.w.t yang kuat dan mantap adalah sangat diperlukan, sehingga kesusahan dunia dengan segala kepahitannya dapat diatasi, kerana pangkat dunia yang sedang kita hadapi ini adalah berjalan atas niat yang baik, yakni mencari keredhannya dalam erti yang luas.

Qanaah

Dari Abu Hurairah r.a katanya:”Nabi saw. bersabda yang maksudnya:”Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripadamu dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi. Itulah tembok yang kukuh supaya kamu tidak menghina pemberian Allah kepadamu.” (Riwayat Bukhari)

Huraian:
Selaku insan mukmin, kita tidak harus menyalahkan apa sahaja pemberian Allah SWT apalagi menghinanya kerana jika dihitung-hitung nikmat Allah, nescaya kita tidak akan sanggup menghitungnya lagi disebabkan terlampau banyaknya nikmat tersebut termasuklah pemberian yang tidak kita sedari. Oleh itu jangan kita merasa kesal atau kecewa dengan ciptaan atau pemberian Allah sama ada kita mengalami kecacatan, kekurangan dan sebagainya.

Hal ini kerana jika kita mengeluh terhadap-Nya, padahal kita sedang menikmati rahmat-Nya, itu bermakna kita tamak dan menutup mata atas nikmat yang telah kita miliki selama ini dan hal demikian akan menjerumuskan kita ke lembah kekufuran serta mengundang kemurkaan Allah sehingga tiba suatu masa kelak, Allah SWT akan menarik semula segala nikmat pemberian-Nya itu dan menggantikannya dengan kesusahan. Ketika itulah kita akan menyesal dan celik akan hakikat sebenarnya. Sesungguhnya sebahagian besar musibah yang menimpa manusia adalah disebabkan oleh keluhan-keluhan mereka terhadap-Nya sedangkan Allah itu Maha Pengasih, Maha Adil dan lemah-lembut terhadap hamba-hamba-Nya.

Oleh itu dalam apa juga perkara kita hendaklah bersifat qana’ah dan sentiasa bersyukur di samping berusaha dan bersabar kerana Allah ada berfirman yang maksudnya:”...boleh jadi kamu benci pada sesuatu padahal ia baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu suka kepada sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Dan (ingatlah), Allah jualah Yang Mengetahui (semuanya itu) sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah:216)

Islam sangat menekankan masalah komitmen, tidak ada toleransi di dalamnya.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92) وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (92) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Annahl / 16 : 90-93)


Islam sangat menekankan masalah komitmen, tidak ada toleransi di dalamnya. Karena komitmen merupakan dasar kepercayaan yang tanpanya kontrak sosial menjadi rapuh dan hancur. Nash-nash al-Qur’an di sini tidak berhenti pada batas perintah komitmen dan larangan melanggar janji, tetapi melanjutkannya dengan membuat perumpamaan, menampilkan wajah buruk pelanggaran janji, dan meniadakan sebab-sebab yang terkadang digunakan sebagian orang sebagai justifikasi.

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (92)

Jadi, perumpamaan orang yang melanggar janji itu seperti wanita yang pandir, kacau pikirannya, lemah tekadnya. Wanita yang mengayam pintalannya lalu mengurainya dan membiarkannya putus dan terlepas! Setiap elemen dalam perumpamaan ini mengisyaratkan penghinaan, pelecehan, dan ungkapan heran, serta menampilkan pengingkaran janji itu sebagai sesuatu suram bagi jiwa dan buruk bagi hati. Itulah tujuannya, dan seorang yang mulia itu tidak rela dirinya menjadi seperti wanita yang lemah keinginannya, kacau pikirannya, dan menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang tidak perlu!

Sebagian orang menjustifikasi pelanggaran janjinya terhadap Rasulullah saw dengan alasan Muhammad dan orang-orang yang bersamanya itu sedikit jumlahnya, sementara orang-orang Quraisy banyak dan kuat. Maka dari itu, nash al-Qur’an mengingatkan mereka bahwa hal ini bukan alasan bagi mereka untuk menjadikan sumpah mereka sebagai kedok dan tipuan, yang pada akhirnya mereka meninggalkan sumpah tersebut: “Kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain..” Maksudnya, disebabkan suatu umat lebih banyak jumlahnya dan lebih kuat daripada umat lain, dan karena untuk mencari kepentingan dari umat yang lebih kuat itu.

Indikasi nash ini mencakup pelanggaran janji untuk merealisasikan apa yang sekarang disebut “kepentingan negara”. Sebuah negara mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lain atau dengan sekumpulan negara, lalu melanggarnya karena ada negara yang lebih kuat, atau ada sekumpulan negara yang lebih kuat di barisan lain, dengan tujuan menjaga “kepentingan negara”! Islam tidak mengakui alasan demikian. Islam menegaskan perintah menetapi janji, dan tidak menjadikan sumpah sebagai alat menipu. Di sisi lain, Islam tidak mengakui perjanjian dan kerjasama dalam perkara yang bukan bagian dari kebaikan dan takwa, dan tidak memperkenankan terjadinya perjanjian atau kerjasama untuk berbuat dosa, fasik, dan maksiat, melanggar hak manusia, dan mengeksploitasi negara dan bangsa. Di atas dasar inilah komunitas Islam dan bangunan daulah Islam berdiri, sehingga dunia merasakan ketentraman, keyakinan, dan hubungan yang bersih antara individu dan negara ketika kendali umat manusia berada di tangan Islam.

Nash di sini menyebut alasan tersebut, dan mengingatkan bahwa terjadinya kondisi seperti ini, “Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.” Hal tersebut merupakan ujian dari Allah untuk menguji keinginan mereka, moralitas komitmen, kehormatan, dan keengganan mereka untuk melanggar janji dimana mereka telah menjadikan Allah sebagai saksi: “Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.”

Kemudian nash mengembalikan perselisihan yang terjadi di antara berbagai komunitas itu kepada Allah pada hari Kiamat, dimana pada waktu itu Allah membuat keputusan baginya: “Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”

Nash menganggap hal ini sebagai sarana pembinaan jiwa untuk memenuhi janji, bahkan terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka dari segi pendapat dan akidah: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (93) Seandainya Allah berkehendak, maka Allah akan menciptakan manusia dengan satu potensi. Tetapi, Allah menciptakan mereka dengan potensi yang berbeda-beda, dengan unit-unit yang khas dan yang tidak terulang (tidak ada padanannya). Allah membuat aturan main bagi seseorang untuk memperoleh hidayah dan tersesat, yang dengan aturan main itu kehendak-Nya pada manusia berjalan, dan masing-masing bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya.

Jadi, perbedaan dalam masalah akidah itu tidak menjadi penyebab pelanggaran janji, karena perbedaan itu memiliki sebab-sebab tersendiri yang berkaitan dengan kehendak Allah. Perjanjian harus terjamin meskipun keyakinan berbeda-beda. Inilah puncak interaksi yang bersih dan toleransi beragama yang tidak bisa diwujudkan dalam realitas kehidupan kecuali oleh Islam dalam naungan al-Qur’an ini.

Jika Anda cinta Rasulullah maka Anda akan bersama dia, di surga Allah. Dan jika Anda mulai merasa sangat nyaman dengan dunia maka dunia akan meninabobokan Anda sehingga Anda lupa pada hari akhirat Anda.
Kita akan banyak ditentukan oleh dan dengan siapa kita berteman, dengan siapa kita bersahabat. Pikiran kita banyak dilukis oleh cara pikir dan cara pandang teman-teman kita dalam melihat dan mempersepsikan dunia. Kita akan banyak diwarnai oleh detak
hati sahabat-sahabat kita, oleh akhlak dan moralitas mereka. Kita akan senantiasa berotasi di garis edar orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang kita senangi dan orang-orang yang kita anggap memiliki cawan cinta yang dia suguhkan kepada kita semua.

Cawan cinta yang membuat kita mabuk dan tenggelam dalam kecintaan yang luar biasa. Tak salah jika Rasulullah sering kali memberi peringatan pada kita semua bahwa jika kita ingin melihat agama seseorang maka hendaknya kita melihat siapa teman orang itu. Jika kita akan melihat karakter dan pandangan hidup seseorang maka hendaknya kita melihat teman gaul orang itu.

Tak banyak orang yang mampu menjadi pahlawan di tengah para penjahat, sangat minim orang yang akan menjadi penjahat sementara dia hidup di tengah-tengah para ulama. Aura hidup seseorang akan banyak mengalirkan energi pada orang lain. Energi jahat akan sangat gampang menular pada orang lain, energi baik juga bisa mengalir walaupun sangat lambat.

Banyak orang baik-baik mendadak menjadi jahat dan penjahat karena teman-temannya yang jahat, banyak orang alim yang tiba-tiba memuja dunia karena dia hidup di tengah-tengah pemuja dunia. Banyak ustadz yang mendadak tersendak melihat limpahan dunia.

Banyak kiai yang kehilangan rasionalitas tatkala terkurung oleh kepentingan. Namun banyak pula orang bejat namun tiba-tiba menjadi saleh karena banyak menyimak kata-kata ulama, merenungi ayat-ayat Allah dan ingat tujuan akhir kehidupannya. Manusia akan senantiasa terseret-seret di belakang ideologi temannya, menari bersama ritme paradigma sahabat-sahabat dan orang-orang
dekatnya—kecuali yang Allah beri dia rahmat.

Maka jangan lupa pertahanan kesalehan Anda, energi ketakwaan Anda, bara tawakkal Anda. Semangat kerja Anda akan tiba-tiba rontok mana kala Anda salah memilih teman-teman Anda. Api spirit ruhani Anda bisa-bisa mendadak redup tatkala teman-teman Anda membawa gulita dan siap memadamkan api spirit hidup Anda. Dan ingatlah bahwa Anda akan senantiasa bersama dengan orang yang Anda sukai dan cintai. Rasulullah bersabda : Setiap orang akan bersama dengan orang yang dicintainya (HR. Bukhari Muslim).

Jangan sampai kesalehan Anda tergerus oleh kethalehan teman-teman Anda. Janganlah kerendahan hati Anda (tawadhu’) tercerabut oleh keangkuhan teman-teman Anda. Janganlah kezuhudan Anda terkuras oleh ketamakan teman-teman Anda. Janganlah kedermawanan Anda ludes oleh kekikiran teman-teman Anda. Janganlah keberanian Anda tertimbun oleh kepengecutan teman Anda.Bila Anda tidak mawas diri, maka bersiaplah menjadi korban kecerobohan Anda. Bila Anda tak teliti maka bersiaplah untuk menghadapi penyesalan tiada henti.

Anda, sekali lagi, akan bersama dengan orang-orang yang Anda cintai. Anda kagumi dan Anda ikuti langkah-langkahnya.

Jika Anda cinta Rasulullah maka Anda akan bersama dia, di surga Allah. Dan jika Anda mulai merasa sangat nyaman dengan dunia maka dunia akan meninabobokan Anda sehingga Anda lupa pada hari akhirat Anda. Anda akan lelap dalam dekapannya yang menjadi Anda lupa terhadap diri Anda sendiri.

Amanah Terbesar

Matahari, bintang, bumi takut menerima amanah tugas, amanah kehendak, amanah pengetahuan personal, amanah usaha khusus.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (72) لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (73)

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (72) sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat oragn-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (73) (Al-Ahzab / 33 : 72-73)

Sesungguhnya langit, bumi, dan gunung—yang dipilih al-Qur’an untuk dibicarakannya—adalah makhluk yang sangat besar, dimana manusia hidup di dalamnya atau di bawahnya sehingga ia tampak kecil dan lemah. Makhluk-makhluk tersebut mengenal Penciptanya tanpa upaya, dan serta merta memperoleh petunjuk tentang undang-undang yang mengaturnya sesuai penciptaan, pembentukan, dan sistemnya. Mereka menaati undang-undang Sang Pencipta secara langsung, tanpa melalui perenungan dan tanpa media. Mereka bergerak sejalan dengan undang-undang tersebut secara konstan, tanpa melenceng dan tanpa membangkang dalam menjalan perannya. Mereka menjalankan tugasnya menurut hukum penciptaan dan karakternya tanpa melibatkan emosi dan pilihan bebas.

Matahari berputar pada porosnya dengan perputaran yang sistematis, tanpa pernah melenceng dari sistem. Ia memancarkan cahayanya, untuk menjalankan tugas yang telah dimandatkan Allah padanya. Ia menarik satelit-satelitnya bukan didasari keinginan dalam dirinya, melainkan untuk menjalankan tugas kosmiknya secara sempurna.

Bumi ini berputar pada rotasinya, mengeluarkan tanamannya, menghasilkan makanan untuk para penghuninya, dan memancarkan mata airnya. Semua itu selaras dengan sunnatullah tanpa ada kehendak darinya.

Bulan, bintang, dan planet, angin dan awan, udara dan angin, gunung dan lembah, seluruhnya menjalankan perannya dengan seijin Tuhannya, mengenal Penciptanya, dan tunduk kepada kehendak-Nya tanpa didasari kehendak bebas. Tanpa mengerahkan tenaga, tanpa susah payah, dan tanpa usaha. Mereka takut menerima amanah tugas, amanah kehendak, amanah pengetahuan personal, amanah usaha khusus.

“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia..”

Manusia mengenal Allah dengan nalar dan perasaannya, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya melalui perenungan dan pengamatan, berbuat mengikuti undang-undang dengan usaha dan jerih payahnya, menaati Allah dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, menahan tendensi penyimpangan, melawan egonya dan syahwatnya dengan upayanya. Di setiap tindakan ini ini, manusia didasari keinginan, sadar, dan memilih jalannya dalam keadaan tahu kemana ujung jalan ini!

Itulah amanah terbesar yang dipikul makhluk yang kecil ukurannya, lemah, lemah usahanya, terbatas usianya, sekaligus digumuli nafsu, tendensi, dan ambisi.

Sungguh sebuah tindakan “adventure” jika ia memikul tugas yang berat ini di pundaknya. Dari sini, “manusia itu amat zhalim” terhadap dirinya, “dan amat bodoh” terhadap kekuatannya. Kezhaliman ini terkait dengan besarnya beban yang dipikulnya. Tetapi, ketika ia bangkit memikul tugas tersebut, ketika ia sampai kepada ma’rifat yang mengantarkan kepada Penciptanya, menemukan petunjuk langsung kepada undang-undangnya dan ketaatan yang sempurna terhadap kehendak Rabb-nya, sebuah ma’rifat, petunjuk, dan ketaatan yang mengantarnya kepada tingkatan yang telah dicapai langit, bumi, dan gunung dengan mudah, padahal langit, bumi, dan gunung-gunung itu adalah makhluk yang mengenal Allah secara in design, menemukan petunjuk secara in design, taat secara in design, tidak ada faktor yang menghalanginya untuk patuh kepada Penciptanya, undang-undang-Nya, dan kehendak-Nya, serta tidak ada faktor yang menahannya melaksanakan perintah-Nya. Ketika manusia sampai kepada tingkatan ini dalam keadaan sadar, memahami, dan tanpa paksaan, maka ia benar-benar telah mencapai maqam yang mulia dan tempat yang unik di antara ciptaan Allah.

Itulah keutamaan kehendak, nalar, usaha, dan pemikulan beban. Itulah keistimewaan manusia dibanding banyak makhluk Allah. Itulah tolok ukur penghormatan yang dideklarasikan Allah di al-Mala’ul-A’la, saat Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam. Allah mendeklarasikannya di dalam al-Qur’an yang abadi saat Allah berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan bani Adam…” (al-Isra’ [17]: 70)

Maka, hendaknya manusia tahu acuan kemuliaannya di sisi Allah, dan hendaknya ia memikul amanah yang dipilihnya. Amanat yang pernah disodorkan kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka menolak untuk membawanya dan khawatir tidak bisa menjalankan amanat tersebut!
Tujuannya dari semua itu adalah:

“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)

Jadi, perbedaan manusia dari makhluk lain adalah dalam memikul amanah, memikul tugas mengenal Rabbnya sendiri, menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri, semua itu agar ia memikul akibat dari pilihannya itu, agar balasan untuknya sesuai dengan amalnya, dan agar adzab itu pantas ditimpakan orang-orang munafiq dan musyrik, baik laki-laki atau perempuan. Dan agar Allah mengulurkan pertolongan kepada orang-orang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, dengan menerima taubat mereka atas kekurangan dan kelemahan akibat tekanan-tekanan internal, rintangan yang menghalangi perjalan, serta berbagai daya tarik dan beban yang meletihkan mereka. Itulah karunia dan pertolongan Allah. Dan Allah itu Mahadekat ampunan dan rahmatnya bagi hamba-hamba-Nya: “Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)

Dengan irama yang kuat dan mendalam inilah ditutup surat yang diawali dengan instruksi kepada Rasulullah saw. Yaitu instruksi untuk taat kepada Allah, tidak mematuhi orang-orang kafir dan munafiq, mengikuti wahyu Allah, dan tawakkal kepada-Nya semata, bukan kepada yang lain. Surat ini juga mengandung berbagai instruksi dan penetapan syari’at yang menjadi fondasi sistem masyarakat Islam, yaitu ikhlas untuk Allah, berorientasi kepada-Nya, dan menaati instruksi-instruksi-Nya.

Dengan irama yang menggambarkan urgensi tugas dan besarnya amanah, mendefinisikan letak urgensi dan besarnya amanah, dan yang membatasi seluruhnya dalam upaya manusia untuk mengenal Allah, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya, dan tunduk kepada kehendaknya ini. Dengan irama inilah surat ini ditutup, bagian awalnya dan bagian akhirnya serasi dengan tema dan orienasinya, dalam sebuah harmoni yang sarat mukjizat, yang secara intrinsik menunjukkan sumber Kitab ini!

Menangis dan Tertawa

Banyak orang yang begitu antusias menyongsong dunia. Padahal hakikat dunia yang sedang disongsongnya itu, dengan sangat meyakinkan, sedang berproses meninggalkan diri mereka.

من اذنب ذنبا و هـو يـضحـك فان الله يدخـله النار وهـو يبكى و من اطـاع و هـو يبكى فان الله
يدخـله الجـنة و هـو يـضحـك
"Orang yang melakukan dosa dalam keadaan tertawa akan dijebloskan ke dalam neraka dalam keadaan menangis dan orang yang melakukan ketaatan dalam keadaan menangis akan dimasukkan oleh Allah ke surga dalam keadaan tertawa." (Ahli Zuhud)

Tertawa dan menangis adalah aktivitas fisik khas manusia. Bagi manusia, keduanya bersifat asasi, muncul sejalan dengan kemanusiaannya, sebagai fithrahnya yang orisinal. Dalam kehidupan keseharian, keduanya menjadi ''bahasa'' komunikasi seseorang yang mengungkapan rasa cinta dan kegembiraan atau rasa kecewa dan kesedihan yang memenuhi suasana batinnya.

Kemelekatan tertawa dan menangis dengan kemanusiaan dinyatakan oleh Sang Pencipta dalam wahyu-Nya, ''Dan bahwasannya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis'' (QS, al-Najm [53];43). Manusia yang tak dapat tertawa dan menangis dinilai sebagai makhluk yang berhati batu.

Sebagai aktivitas fisik, tertawa atau pun menangis adalah akibat, bukan sebab. Pada umumnya ada stimulus (rangsangan) atau triger (pencetus) tertentu, seperti peristiwa sosial berupa kesenangan, kegembiraan, kebaikan, kejelekan, kemalangan, kelucuan, atau kekonyolan, yang membuat situasi batin seseorang gembira atau sedih. Oleh sebab itu, normalnya, tertawa atau menangis, merupakan cermin otentik situasi batin.

Ketika situasi batin seseorang sedang diliputi suasana kegembiraan, ia lantas bisa tertawa. Sebaliknya ketika situasi batinnya diliputi kesedihan, ia lantas menangis. Akan tetapi dalam hal menghadapi stimulus atau triger tersebut, bahkan dengan pemicu yang sama, kepekaan seseorang bisa berbeda-beda.

Ada yang begitu pekanya sehingga ia mudah tertawa atau menangis. Tetapi, ada pula yang tidak, sehingga ia tak mudah tertawa atau menangis. Bahkan orang-orang tertentu dapat “tertawa” dalam situasi batin yang penuh kesedihan dan “menangis” dalam situasi batin yang penuh keriangan. Misalnya orang yang terkena penyakit diskongruen, yaitu ketidakselarasan antara yang dirasakan dengan yang diungkapkan.

Oleh sebab tertawa dan menangis melekat dengan karakteristik kemanusiaan, maka banyak manfaat yang lahir dari keduanya. Misalnya, bagi kesehatan ruhani dan jasmani. Tertawa dapat memperkokoh kesehatan dan menangis dapat menjadi pintu untuk menumpahkan beban yang berat yang menyesakkan dada.

Dalam hadis, banyak riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw tertawa ketika menemukan sesuatu yang menyenangkannya dan bahkan sering bersenda gurau meskipun tidak sampai melewati batas yang hak. Nabi Sulaeman juga dikisahkan dalam al-Quran tertawa ketika beliau mendengar teriakan seekor semut yang mengomandoi kawan-kawannya untuk masuk sarang agar tidak terinjak Nabi Sulaeman dan bala tentaranya. “Maka Dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.” (QS, al-Naml [27] :19)

Dalam Islam, baik tertawa atau pun menangis harus proporsional, pada tempatnya, dan tetap berada dalam batas-batas kesopanan dan kebenaran. Tegasnya, tidak boleh melampaui batas-batas kewajaran yang dibenarkan agama. Dalam hal tertawa misalnya, tidak boleh menertawakan kemalangan orang lain. Atau dalam hal menangis, karena ditinggalkan orang yang dicintainya tidak boleh sampai ke tingkat meratap apalagi sampai meraung-raung.

Sesungguhnya hidup itu sebuah pilihan. Pilihan untuk taat kepada kehendak-kehendak Allah Swt yang tertuang dalam wahyu-Nya. Apa pun resiko yang akan dihadapi. Atau, melakukan dosa pembangkangan terhadapnya, pilihan untuk dunianya atau untuk akhiratnya. Sedangkan pilihan seseorang mencerminkan tingkat kualitas dan kecerdasan intelektualitas dan spiritualitasnya.

Misalnya dalam menjatuhkan pilihan antara kepentingan dunianya dan kepentingan akhiratnya. Menghadapi pilihan itu, banyak manusia yang bersikap terrbalik. Tidak selaras dengan hakikat dunia dan hakikat akhirat.

Kalau kita amati dengan seksama, banyak orang yang begitu antusias menyongsong dunia sedangkan hakikat dunia yang sedang disongsongnya itu, dengan sangat meyakinkan, sedang berproses meninggalkan diri mereka.

Banyak pula orang yang membelakangi akhiratnya. Padahal setiap diri, pada hakikatnya, mereka sedang menuju dan menyongsongnya. Rasulullah Saw bersabda, ”Manusia yang paling cerdas ialah yang terbanyak mengingat kematian dan yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas, dan mereka akan pergi ke akhirat dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat. (HR, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Ketika seseorang telah menjatuhkan pilihannya dan kemudian menindaklanjutinya dalam bentuk perbuatan, maka pilihan dan perbuatannya itu lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Selanjutnya kebiasaan itu, secara terus-menerus, berproses di dalam dirinya hingga membentuk kepribadiannya yang khas.

Kepribadian seseorang itu sangat dipengaruhi oleh nilai yang diserapnya melalui penghayatan yang kemudian membentuk visi pribadinya yang kemudian mengendap ke wilayah kalbunya. Visi yang mengendap itu kemudian membentuk suasana kejiwaannya yang khas pula, yang secara keseluruhan wujud dalam bentuk mentalitas yang disebut sikap.

Sikap tersebut terus berproses dalam diri seseorang sejalan dengan realitas aktual yang dihadapinya dan seterusnya mengalir ke wilayah fisik hingga melahirkan tindakan atau perbuatan. Ketika sikap dan tindakanya menjadi dominan, maka secara akumulatif mempengaruhi kehidupannya hingga membentuk citra diri yang khas.

Atas dasar itu, seseorang bisa jadi akan tertawa terbahak-bahak ketika ia melakukan dosa dikarenakan citra dirinya sebagai pendosa telah membuatnya merasa senang dan bahkan bangga berlumur dosa. Dia akan kehilangan kepekaan emosinya terhadap nilai-nilai kebaikan. Pada umumnya orang yang merasa senang dan bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya akan mengalami kesukaran untuk membebaskan diri dari perbuatan dosa.

Ketika seseorang atau sebuah masyarakat sudah sampai ke tingkat berbangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya, maka azab Allah pasti akan menerjangnya dengan amat dahsyat, yang mengakibatkan dirinya dilanda penyesalan untuk selama-lamanya.

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balik di neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andai kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu meraka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpahkan kami kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan besar.” (Al-Ahzab: 66-68)

Sebaliknya, orang yang pilihannya jatuh pada ketaatan kepada kehendak-kehendak-Nya dan ketaatan itu telah membentuk kepribadiannya yang khas, maka ia akan menjadi orang shalih, pribadi yang konsisten dalam menjalankan aturan agama Allah. Apa pun resiko yang diterimanya ia akan tetap berada dalam ketaatan. Meskipun resiko yang diatanggung akibat ketaatannya itu menyebabkan dirnya harus berderai air mata karena kesedihan yang dideritanya. Namun, ia tetap bergeming dalam ketaatan kepada-Nya.

Keteguhannya itu diperkokoh dengan keyakinan akan pembalasan Allah yang sangat baik di akhirat kelak. “Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan. Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan). Kafur ialah nama suatu mata air di surga yang airnya putih dan baunya sedap serta enak sekali rasanya.” (QS, al-Insan [76]: 5-22).

Wallahu A’lam.

Ustadz Abu Ridha

Keluarga merupakan salah satu elemen yang akan membangun sebuah masyarakat, dan seperti tadi telah disebutkan, menegakkan Islam dalam keluarga merupakan salah satu tahapan dalam mewujudkan cita-cita Islam. Dengan pemahaman tentang ini tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa sebuah keluarga sakinah (Keluarga yang berhasil menurut standar Islami) adalah cerminan sebuah masyarakat madani. Sedangkan masrakat madani sendiri merupakan standar Islami tentang sebuah masyarakat yang ”makmur, aman, tentram dan damai”.

Orang sering menyebut-nyebut tentang “masyarakat madani”. Sebuah gambaran tentang masyarakt sukses yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Begitu inginnya masyarakat / ummat berada dalam sebuah masyarakat yang makmur, aman, tentram dan damai, sehingga segera saja ide untuk menciptakan masyarakat seperti itu disambut dengan hangat. Sayang sekali tidak mudah kita menemukan tulisan yang menerangkan cara mencapainya. Bahkan masih banyak muslimin tidak memahami tahapan-tahapan amal dalam menegakkan Islam, padahal masyarakat yang diidamkan tadi sebenarnya bukan merupakan tujuan akhir penegakkan Islam.

Islam menghendaki agar penghambaan manusia dikembalikan hanya kepada Allah SWT.

Islam menghendaki agar pilar-pilarnya dibangun pertama kali di dalam dada individuà kemudian di dalam sebuah rumah tanggaà kemudian dalam sebuah masyarakatà kemudian sebuah negaraà kemudian sebuah khilafahà kemudian di atas seluruh permukaan bumià sebelum akhirnya tegak di seluruh alam semesta ini, Insya Allah.

Keluarga merupakan salah satu elemen yang akan membangun sebuah masyarakat, dan seperti tadi telah disebutkan, menegakkan Islam dalam keluarga merupakan salah satu tahapan dalam mewujudkan cita-cita Islam. Dengan pemahaman tentang ini tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa sebuah keluarga sakinah (Keluarga yang berhasil menurut standar Islami) adalah cerminan sebuah masyarakat madani. Sedangkan masrakat madani sendiri merupakan standar Islami tentang sebuah masyarakat yang ”makmur, aman, tentram dan damai”.

Kira-kira apakah ciri-ciri persamaannya dan apakah cara mewujudkannya juga akan sama dengan cara mewujudkan karakteristik masyarakat madani ?. Dalam tulisan kali ini Insya Allah akan coba diuraikan beberapa ciri / karakteristik masyarakat madani yang tumbuh dari kumpulan keluarga sakinah.

Sebagaimana salah satu ciri masyarakat madani adalah bersifat Robbani, maka keluarga sakinah juga berciri robbani. Artinya, di dalam keluarga / masyarakat tersebut setiap anggotanya berusaha untuk berlomba di dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Perekat utama keluarga/ masyarakat. Mereka menyadari betul bahwa hanya Allah sajalah yang pantas di jadikan tempat meminta bagi terwujudnya kebahagiaan bersama. Sebab mereka meyakini firman Allah sebagai berikut:

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim.” (4:1)

Sebuah keluarga sakinah tidak pernah menjadikan variabel keduniaan sebagai faktor utama munculnya soliditas internal keluarga. Mereka juga percaya bahwa hanya dengan taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah) dan menegakkan aturan Allah sajalah maka kebahagiaan, kasih-sayang dan kecintaan sejati akan dirasakan di dalam keluarga. Suatu bentuk kebahagiaan yang tidak dibatasi selama hidup di dunia semata, melainkan jauh hingga berkumpul kembali di akhirat. Demikian juga dalam masyarakat madani di mana hukum Allah ditegakkan dengan sempurna.

Iqro (QS96:1)
Ayat pertama yang turun kepada Nabi kita Saw adalah ayat tadi: ” Bacalah!”, pelajarilah!

Keluarga sakinah adalah keluarga yang cinta ilmu, seperti juga masyarakat madani. Mereka saling belajar dan saling mengajarkan, antara yang tua kepada yang muda maupun sebaliknya. Keluarga yang menghargai ilmu sehingga menempatkan ahli ilmu di tempat yang dihormati, mencari ilmu dan mengajarkannya, serta kemudian bersyukur kepada Allah atas ilmu dan berkah ilmu, dan menggunakannya di jalan Allah. Keluarga sakinah tidak bersikap jumud maupun liberal dalam mensikapi ilmu. Seorang bapak menganjurkan anaknya untuk menuntut ilmu, membiayainya, kemudian juga menghormati anaknya yang mau membagi ilmu itu kepadanya dan siap menerima nasehat anaknya dengan ilmu yang dia (anak itu) pelajari dari gurunya. Bahkan sebelum itu sang bapak-lah yang mencarikan guru terbaik untuk anaknya itu. Singkatnya keluarga sakinah/ rabbani terdiri dari anggota keluarga yang telah manghayati sabda Rasulullah saw berikut:

“Barangsiapa ingin berhasil di dunia, tuntutlah ilmu.
Barangsiapa ingin berhasil di akhirat, tuntutlah ilmu.
Dan barangsiapa ingin berhasil di dunia dan di akhirat, tuntutlah ilmu.”

Meskipun demikian anggota keluarga sakinah tetap berpegang pada prinsip :”pendapat siapapun dapat diterima dan ditolak, kecuali dari Allah dan RasulNya yang kita terima tanpa keraguan”.

Keluarga sakinah, seperti juga masyarakat madani, selalu berusaha untuk tampil sebagai rahmat bagi sekelilingnya. Dalam lingkungan yang kecil di dalam keluarga, suasana saling cinta mendasari hubungan antara mereka. Kakak dan adik saling cinta, bapak dan ibu menjadi teladan mereka. Bahkan dengan anggota keluarga temporer (misalnya pembantu rumahtangga) juga disayangi seperti keluarga sendiri, tidak direndahkan dan dianggap sebagai orang suruhan belaka.

Di lingkungan yang lebih besar di luar rumah, di antara tetangga, anggota-anggota keluarga sakinah memperlihatkan sikap dan sifat yang sama, bersikap santun kepada tetangga, tukang jualan, tukang sampah, penunggu warung, dan siapa saja yang ada di lingkungannya. Anak-anak keluarga sakinah akan dikenali dari akhlaknya yang santun, menghormati yang tua, menyayangi yang kecil, tidak suka mengganggu atau merugikan orang lain, jujur ketika berjual beli dan bertutur-kata. Siapapun yang melihat mereka akan berharap anak mereka-pun bersikap serupa, karena kesantunan dan kebaikan akhlak mereka. Anak-anak seperti ini akan menjadi cahaya mata bagi orang tua mereka, bahkan juga bagi lingkungannya. Siapapun akan bangga memiliki warga seperti mereka. Singkatnya mereka berusaha meneladani Rasulullah saw dalam hal yang Allah isyaratkan di dalam firman-Nya:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (21:107)

Keluarga sakinah selalu berusaha mewujudkan suasana “sama tinggi sama rendah” di dalam rumah. Setiap anggota keluarga tidak hanya dikenalkan kewajiban yang harus dipenuhinya, melainkan juga diberitahu akan hak-hak yang dimilikinya. Baik ayah, suami, ibu, isteri maupun anak-anak bahkan pembantu menyadari bahwa ia memiliki hak-hak yang perlu dijaga dan dipenuhi. Dan fihak pertama yang harus memastikan bahwa hak-hak ini terpenuhi adalah kepala keluarga. Bukanlah sebuah miniatur masyarakat Islami atau madani bila yang memperoleh pemenuhan hak hanya sang ayah atau suami sedangkan anak dan isteri hanya punya daftar kewajiban. Misalnya dalam hal saling menasehati. Bukan hanya ayah kepada anak atau ibu kepada anak atau suami kepada isteri terdapat hak menasehati. Melainkan sebaliknya hendaknya dipastikan bahwa anakpun boleh dan dijamin memberikan nasehat kepada orang-tua atau isteri menasehati suami. Inilah miniatur masyarakat Islami dan madani.
Ketika Umar bin Khattab berdiri di depan ummat pada hari dilantiknya menjadi khalifah, maka bangunlah seorang lelaki mengangkat pedangnya tinggi-tinggi seraya berujar: “Hai Amirul mu’minin, seandainya perjalanan kepemimpinanmu melenceng dari garis ketentuan Allah dan RasulNya, niscaya pedangku ini akan meluruskanmu.” Maka dengan tawadhu/ rendah hatinya Umar menjawab: “Alhamdulillah ada seorang lelaki ditengah ummat yang Umar pimpin akan meluruskanku tatkala aku menyimpang.” Dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang menuduh lelaki tersebut sebagai tidak percaya atau tidak tsiqoh akan kepemimpinan Amirul mu’minin Umar bin Khattab ra. Justeru ke-tsiqoh-annya kepada Umar menyebabkan lelaki tersebut begitu leluasanya menyampaikan aspirasi secara asli dan apa adanya. Hal ini menunjukkan betapa egaliternya suasana masyarakat Islam kala itu. Dan setiap warga menjadi seperti itu karena lahir dari keluarga-keluarga yang memang sejak dini menanamkan nilai-nilai egaliter di rumah masing-masing.

Wallahu a’laam

Kitab ini datang membawa prinsip-prinsip yang menjamin rekatnya komunitas, ketentraman individu, umat, dan bangsa, serta kepercayaan pada hubungan sosial, janji, dan perjanjian.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92) وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90) Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (92) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Annahl / 16 : 90-93)

Kitab ini datang untuk membangun suatu umat dan mengatur masyarakat, juga untuk mewujudkan satu dunia dan menegakkan satu sistem. Ia datang sebagai panggilan universal humanis, tanpa ada fanatisme di dalamnya terhadap satu kabilah atau umat atau ras. Akidah semata yang menjadi tali perekat dan fanatisme.

Dari sini, Kitab ini datang membawa prinsip-prinsip yang menjamin rekatnya komunitas, ketentraman individu, umat, dan bangsa, serta kepercayaan pada hubungan sosial, janji, dan perjanjian.

Ia datang membawa “keadilan” yang menjamin setiap individu, setiap komunitas, dan setiap kaum memperoleh aturan main bagi interaksi yang kuat, tidak mengikuti hawa nafsu, tidak terpengaruh rasa senang atau benci, dan tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat, kaya dan miskin, kuat dan lemah. Ia berjalan pada jalurnya, mengukur dengan satu ukuran dan menimbang dengan satu kriteria untuk semua (bukan dengan standar ganda).

Di sisi lain, Kitab ini juga membawa kebaikan. Ia memperhalus tajamnya keadilan, dan memberi jalan bagi orang yang ingin bertoleransi dan merelakan sebagian haknya demi mementingkan simpati di hati dan demi mengobati rasa dengki dalam dada. Ia juga memberi jalan bagi orang yang ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi daripada keadilan yang wajib baginya, untuk mengorbati luka atau mencari keutamaan.

Kebaikan itu sangat luas maknanya. Setiap perbuatan positif adalah kebaikan, dan perintah berbuat baik itu mencakup semua perbuatan dan interaksi. Ia juga mencakup seluruh ranah kehidupan dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, hubungannya dengan keluarganya, dengan komunitasnya, dan dengan seluruh umat manusia. (Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa menjalankan keadilan itu hukumnya wajib, dan berbuat baik itu hukumnya sunnah dalam perkara ibadah secara khusus. Pendapat ini bersandar pada realita bahwa ayat ini adalah makkiyyah, dimana syari’at belum diturunkan. Tetapi, generalitas lafazh menunjukkan bahwa menjalankan keadilan dan kebaikan dimaksud itu bersifat mutlak. Apalagi karena keadilan dan kebaikan merupakan dua prinsip umum dari sisi moral, bukan sekedar aturan perundang-undangan)

Di antara bentuk kebaikan adalah “memberi kepada kerabat dekat”. Perintah memberi kepada kerabat dekat ditampilkan di sini untuk mengagungkan kedudukannya dan untuk menegaskan perkaranya. Perintah ini tidak berdiri pada fanatisme keluarga, melainkan pada prinsip solidaritas yang diajarkan Islam secara bertahap dari lingkungan pribadi kepada lingkungan umum, sesuai persepsi organiasional Islam terhadap solidaritas.

“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan..” Kata al-fakhsya’ secara epistimologis berarti setiap perkara yang melampaui batas. Termasuk perkara yang melampaui batas adalah yang menjadi konotasi umum kata ini, yaitu perbuatan melampaui batas yang merusak kehormatan (zina). Karena zina merupakan perbuatan keji yang melampaui batas, sehingga kata ini dikhususkan untuk makna tersebut. Kata al-munkar berarti setiap perbuatan yang tidak dikenal fitrah, dan karena itu tidak ditolak oleh syari’at yang didasarkan pada fitrah. Terkadang fitrah menyimpang, namun syari’at tetap menunjukkan orisinalitas fitrah sebelum ia menyimpang. Dan kata al-baghyu berarti kezhaliman dan melanggar hak dan keadilan.

Tidak mungkin ada satu masyarakat bisa berdiri dengan diwarnai perbuatannya keji, mungkar, dan permusuhan. Tidak ada satu pun masyarakat yang sanggup eksis bila di dalamnya perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan terjadi secara luas.

Setelah satu fase tertentu, fitrah manusia pasti menolak faktor-faktor yang destruktif ini, betapapun kuatnya ia, dan sekalipun para thaghut menggunakan berbagai cara untuk melindunginya. Sejarah umat manusia dipenuhi dengan aksi penolakan terhadap perbuatan keji, munkar, dan permusuhan. Tidak penting apakah telah ada perjanjian atau telah berdiri negera-negera yang mendukungnya untuk jangka waktu tertentu. Pemberontakan terhadapnya itu menjadi bukti bahwa ia merupakan unsur asing di luar struktur kehidupan, sehingga kehidupan itu menggeliat untuk menolaknya, sebagaimana makhluk hidup menggeliat untuk menolak benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya. Perintah Allah untuk berlaku adil dan berbuat baik, serta larangan-Nya untuk berbuat keji, mungkar, dan permusuhan itu sejalan dengan fitrah yang bersih dan sehat, menguatkannya, dan mendorongnya untuk melawan atas nama Allah. Karena itu, perintah dan larangan itu diulas dengan penjelasan, “Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (90) Ini adalah pengajaran untuk diingat-ingat seperti mengingat-ingat wahyu fitrah yang orisinil dan lurus.

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..” (91)

Memenuhi janji Allah itu mencakup bai’at yang dilakukan umat Islam kepada Rasulullah saw, dan mencakup setiap perjanjian baik yang diperintahkan Allah. Memenuji janji menjamin terpeliharanya unsur kepercayaan dalam interaksi antar manusia. Tanpa kepercayaan ini suatu masyarakat tidak akan eksis, dan kemanusiaan tidak akan berdiri. Nash ini menggelitik rasa malu orang-orang yang saling berjanji untuk tidak melanggar sumpah setelah meneguhkannya, dan setelah mereka menjadikan Allah sebagai penjamin bagi mereka, menjadikan-Nya saksi atas janji mereka, dan menjadikan-Nya jaminan untuk memenuhi janji tersebut. Kemudian nash tersebut mengancam mereka secara intrinsik, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat..”

Wibawa orang bergelar ulama terlalu menurun pada abad 21 ini. Di Indonesia, banyak ulama yang dipukul oleh orang ramai kerana kelakuannya yang luar biasa. Di Malaysia, pun begitu juga. Ada orang yang bergelar ulama dimaki hamun oleh orang. Hal ini berbeza daripada ulama zaman dahulu, sekitar tahun 1960-an dan sebelum itu. Orang ramai amat menghormati orang yang bergelar ulama. Mengapakah pada masa ini orang ramai tidak menghormati pada ulama ?
Hal yang berlaku pada zaman ini sebenarnya telah berlaku 1000 tahun yang lalu. Imam al-Ghazali merakamkan hal ehwal ulama dengan panjang lebar dalam bukunya al-Ihya. Ulama pada zamannya ada yang digelar ulama dunia, ada yang digelar ulama al-su' atau ulama busuk. Selain al-Ghazali, Imam Muhammad al-Razi juga mencatatkan ehwal ulama zamannya dalam kitabnya Tafsir al-Kabir. Selain itu, Ibnu Khaldun turut membicarakan ulama dengan panjang lebar dalam Mukadimah .
Dalam Mazhab Shafei, ada kitab yang menyenaraikan ulama Shafei mengikut kelasnya dan keahliannya. Buku ini diberi nama Tabaqat al-Shafeiya. Antara buku itu termasuklah Tabaqat al-Shafeiya oleh Imam Subki yang tebalnya hampir 7000 halaman. Al-Subki hanya menyenaraikan ulama yang unggul dalam mazhab Shafei mengikut syarat yang ditentukan.

Mengikut Ibnu Khaldun, istilah ulama untuk maksud ilmuwan khusus wujud selepas Rasulullah wafat. Sebelum itu, orang Islam yang ahli tentang hal ehwal Islam digelar "al-Qurra" yang bererti pembaca. Qurra ialah orang yang menguasai ilmu al-Quran, seperti bacaan al-Quran, periwayat, makna dan tafsir, dan hukum hakam. Qurra inilah yang menjadi kumpulan pemikir agama.
Apabila umat Islam semakin ramai dan banyak mengalami masalah hukum, lahirlah beberapa orang yang cuba mengeluarkan "istinbat" tentang sesuatu hukum dengan menggunakan kaedah berijtihad. Di Iraq dan Baghdad yang jauh daripada kota Makkah dan Madinah, lahir kumpulan yang "menggunakan pendapat "(ahlu ra'y). Selepas itu, di Madinah, lahir kumpulan yang menggunakan tradisi Madinah yang dipimpin oleh Imam Malik. Di Makkah, lahir Imam Shafei yang menggunakan "al-Sunnah" sebagai sumber mencari hukum. Semua kumpulan ini digelar "fuqaha" yang kemudianya disebut sebagai ulama al-fiqh. Gelaran ini sejajar dengan gelaran dalam ilmu yang lain seperti ulama al-nahu, dan ulama al-tafsir.
Pada zaman permulaannya, ulama tidak mahu bekerja makan gaji dengan kerajaan. Mereka merasakan bahawa ulama harus bebas dan tugas ulama ialah menyelidik dan mengkaji segala hukum hakam yang ada dalam al-Quran atau hadis. Tugas mereka lebih besar dan mulia dibandingkan dengan tugas mufti, kadi, atau hakim yang bekerja dengan kerajaan. Kerajaan terpaksa memujuk, memberi ganjaran yang besar, bahkan adakalanya memaksa ulama untuk memegang jawatan, seperti mufti, kadi, dan hakim. Sikap ulama yang bebas seperti ini menjadikan mereka amat dihormati dan pendapatnya diterima. Imej ulama amat tinggi.
Keadaan ini, walau bagaimanapun, bertukar pada zaman terakhir apabila sebahagian ulama memburu jawatan dalam kerajaan. Mereka mencari kerja untuk mendapatkan gaji atau upah. Sesetengahnya yang tidak dapat bekerja dengan kerajaan managih bayaran daripada orang ramai. Dengan itu, pendapat ulama tidak bebas lagi, sama ada menyebelahi kerajaan atau menyebelahi orang ramai yang memberi rezeki kepadanya. Lebih buruk lagi apabila ulama itu terlibat dalam kegiatan untuk menaikan atau menurunkan seseorang sebagai ketua kerajaan. Perubahan sikap ulama ini menjatuhkan maruah ulama. Hal ini dijelaskan oleh al-Ghazali dalam Ihya dan al-Munqiz.
Lebih buruk lagi apabila lahir kumpulan yang mendakwa diri mereka ulama, dan mencerca ulama lain, ataupun kumpulan lain. Mereka hanya mementingkan kepentingan diri mereka, bahkan ada yang sanggup menyebelahi musuh Islam. Ulama seperti ini digelar oleh al-Ghazali sebagai "al- Su'", iaitu ulamak busuk atau jahat. Menurut al-Ghazali, ulama al-Su' ialah ulama yang yang mencari ilmu dan menggunakan ilmu itu untuk mendapat kenikmatan dunia dan sebagai alat untuk mencapai pangkat atau kedudukan. Ulama busuk ini , mengikut Qurtubi, ialah ulama yang memahami Quran tetapi tidak mengamalkannya, dan diumpamakan dalam al-Quran sebagai anjing yang terjelir lidah seperti yang disebutkan dalam surah al-A'raf : 176,
"Mereka seperti seekor anjing yang terjelir lidah, sama ada dihalau atau dibiarkan.
Dalam hal ini, al-Hakim meriwayatkan hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah meramalkan, pada suatu masa selepas kewafatannya, kelahiran ulama yang fasiq. Sabda baginda, "Pada akhir zaman, akan ada manusia yang jahil dan ulama yang fasiq." Fasiq ialah orang yang bergelumang dengan dosa dan perbuatan salah. Khalifah umar juga dikatakan pernah bimbang dengan keadaan ulama Islam. Baginda berkata, "Yang amat menakutkan saya ialah golongan ulama munafik." Apabila ditanya bagaimana boleh berlaku, baginda menjawab, "Mereka alim di lidah, jahil hati dan amal."
Al-Razi mengelaskan ulama kepada tiga. Pertama orang alim pada Allah tetapi tidak alim pada suruhan Allah, iaitu orang yang menguasai makrifah ketuhanan dan melihat kebesaran Allah, tetapi tidak tahu akan hukum Allah. Kedua, orang alim pada suruhan Allah, tetapi tidak alim pada Allah, iaitu orang yang menguasai ilmu halal dan haram dan hakikat sesuatu undang-undang tanpa mengetahui rahsia kebesaran Allah. Ketiga, orang yang alim pada Allah dan alim pada suruhan Allah, iaitu orang alim yang mengusai ilmu fekah, ilmu tauhid, dan ilmu hakikat.
Syaqiq al-Balkhi, sarjana Islam, menyatakan bahawa ada tiga tanda orang alim pada suruhan Allah, iaitu ingat di mulut tetapi tidak ingat di hati, takut pada makhluk tetapi tidak takut pada Tuhan, malu pada manusia tetapi tidak malu pada Allah. Tanda orang alim pada Allah ialah ingat, takut, dan malu pada Allah, takut kepada ria' bukan takut maksiat, malu pada yang ada di dalam hati, bukan malu pada yang lahir.
Ulama pada suruhan Allah bertaraf rendah dibandingkan dengan kategori yang lain. Al-Razi membuat perbandingan antara ketiga-tiga kategori itu. Katanya, "Orang alim pada Allah dan pada suruhan Allah adalah seperti matahari. Orang yang alim pada Allah sahaja seperti bulan, orang alim pada suruhan Allah (ulama fekah) seperti pelita, yang membakar dirinya untuk menerangi orang lain."
Al-Ghazali menyifatkan orang yang alim tentang ilmu fekah sebagai ulama dunia kerana ulama fekah hanya menyelidiki dan menyelesaikan urusan keduniaan menerusi kaedah yang didirikan oleh mereka tanpa melihat maksud di sebalik suruhan itu. Contohnya, sesorang ulama berhari-hari memikirkan masalah hukum manusia yang dilahirkan daripada bapa dan ibu babi, adakah dia najis atau tidak najis? Adakah boleh dibunuh atau tidak boleh dibunuh?. Masalah tersebut perlu dijawab untuk memuaskan orang yang bertanya, tetapi pada hakikatnya, tidak pernah wujud keadaan sedemikian.
Bahkan, ulama yang amat ingin akan sesuatu jawatan atau kedudukan di dunia sanggup menyembunyikan sesuatu maklumat untuk kepentingan dirinya. Ulama ini juga dikategorikan oleh al-Ghazali sebagai ulama dunia yang busuk berdasarkan tafsiran pada surah Ali- Imran: 187, "Dan ingatlah ketika Allah menerima janji ahli kitab suapaya kandungan kitab itu diterangkan kepada manusia dan jangan menyembunyikannya, mereka tidak menepatinya, mereka jual perjanjian itu dengan harga murah."
Pendapat al-Ghazali, al-Razi dan Ibnu Khaldun memperlihatkan bahawa ulama bukanlah lesen untuk membawa seseorang ke syurga. Sungguhpun ada hadis yang menyebutkan bahawa " Ulama itu waris Nabi" yang diriwayatkan oleh Turmuzi, yang dimaksudkan ialah ulama yang dapat meneladani baginda seperti yang disebutkan dalam al-Quran," Rasulullah adalah ikutan kepada kamu"(surah al-Ahzab :21).Mengikut al-Qurtubi segala kelakuan yang bersifat agama wajib diikuti, yang bersifat dunia sunat diikuti. Sekiranya seseorang yang bergelar ulama tidak berkelakuan atau mengamalkan amalan seperti Rasulullah, tentulah dia cacat. Seseorang yang cacat Islamnya tidaklah dapat dikatakan waris Nabi.
Dengan penjelasan itu, agak sukar untuk meletakkan orang yang bergelar ulama di Malaysia sebagai ulama al-akhirah seperti yang diterangkan oleh al-Ghazali atau al-Razi, bahkan Subki untuk disetarafkan dengan ulama dalam Tabaqat Al-Syafeiyah. Bahkan untuk disenaraikan dalam senarai ulamak fekah yang disebutkan oleh al-Ghazali sebagai ulama dunia pun masih disangsikan, apa lagi sebagai ulama pewaris Nabi. Lebih-lebih lagi apabila diteliti pendidikan yang diperolehi di universiti pada masa ini, agak sukar untuk disenaraikan bersama-sama dengan ulama Syafei zaman dahulu.

Oleh: Abu Akhfash Al-Iskandarani

RASULULLAH s.a.w. meninggalkan kota Makkah dalam suasana dihambat oleh rasa kebencian dan permusuhan sebahagian besar penduduknya. Berbeza dengan ketibaan Nabi s.a.w. di Madinah, baginda disambut oleh penduduknya yang ramah mesra dengan perasaan kasih sayang. sifat mahabbah penduduk Madinah menjadi penawar hati baginda yang tercalar oleh sikap permusuhan dan kebencian penduduk Makkah terhadap baginda.

Sayang dan benci, dua sifat perasaan yang bertentangan, kedua-duanya merupakan naluri insan yang dikurniakan oleh Allah SWT. Sekalipun ia bertentangan antara keduanya, namun ia tetap memberi manfaat kepada manusia. Ada sayang yang memberi manfaat dan boleh mendatangkan pahala atau dosa, kebencian juga begitu, memberi manfaat kepada manusia dan kadangkala mendatangkan bencana dan dosa. Sayang kena pada tempatnya akan mendatangkan kebajikan dan pahala, sebaliknya kebencian yang kena pada tempatnya juga mendatangkan kebajikan dan pahala.

Kebencian penduduk Makkah terhadap Nabi s.a.w. merupakan tindakan yang tidak kena dan melampaui batas, lebih-lebih lagi terhadap insan yang sebaik Muhammad s.a.w., seorang yang dilantik oleh Allah SWT sebagai Nabi dan utusan-Nya di muka bumi ini. Kebencian penduduk Makkah terhadap Nabi s.a.w. sememangnya tidak berasas, ia bukan saja mendatangkan kesukaran terhadap mangsanya malah bagaikan menempa petaka dalam kehidupan mereka di dunia lebih-lebih lagi di akhirat.

Penduduk Madinah telah meletakkan rasa hormat dan kasih sayang tepat pada tempatnya, iaitu terhadap Nabi dan Rasulullah. Seorang yang dipilih dan di asuh secara langsung oleh Allah SWT, untuk memikul tanggungjawab memimpin manusia ke arah kebenaran yang bersumberkan wahyu Ilahi.

Justeru itu, apabila penduduk Madinah mendapat tahu bahawa Nabi s.a.w. yang paling mereka sayangi telah tiba di Madinah, maka mereka keluar beramai-ramai menyambut ketibaan seorang yang paling dimuliakan dengan nasyid-nasyid dan syair-syair yang memuji-muji Nabi s.a.w.. "Tola'al Badru 'Alaina, Min tsaniyyatil Wada'ei, Wajabasy Syukru 'Alaina, Mada'a Lillahi Da'ei" Mereka menyifatkan Nabi s.a.w. ibarat bulan purnama yang menerangi kehidupan mereka di Madinah, justeru itu wajiblah mereka bersyukur ke atas Allah SWT yang memperkenankan harapan mereka.


Puji-pujian yang terbit dari hati murni penduduk Madinah, bukanlah suatu lakonan, seperti lakonan umat di zaman mutakhir yang mengadakan perarakan menyambut perayaan Maulidur Rasul, pada ketika yang sama mereka tidak menghargai langsung syariat dan hukum-hakam yang dibawa oleh Nabi s.a.w.. Lidah mereka memuji Nabi s.a.w., pada masa yang sama mereka tetap mengagungkan undang-undang Barat. Bernasyid di majlis sambutan Maulidur Rasul sekadar tradisi atau budaya, bukan sebagaimana penduduk Madinah yang merasa amat bersyukur dengan ketibaan Nabi s.a.w. yang menerangi hidup mereka dengan syariat Islam.

Sikap yang ditunjukkan oleh penduduk Madinah yang dikenali sebagai kaum 'Ansar', mendedahkan kasih sayang mereka terhadap Nabi s.a.w. begitu mendalam, melimpah dari hati penduduk Madinah sama ada lelaki atau perempuan semua peringkat umur. Mereka sanggup menunggu ketibaan Nabi s.a.w. sejak pagi hingga di tengah panas terik tengah hari. Selepas itu mereka pulang dan berazam untuk berdiri semula di tepi jalan pada keesokan harinya, bagi menunggu lagi ketibaan orang yang dikasihi Nabi Muhammad s.a.w..

Sebaik saja mereka melihat dari kejauhan ketibaan Nabi s.a.w. yang ditemani oleh Abu Bakar, maka kata-kata sanjungan terhambur dari lidah mereka bergema memenuhi ruang angkasa Madinah kerana terlalu gembira dapat menatap wajah Nabi s.a.w.. Sebaliknya Nabi s.a.w. juga sangat menyayangi kaum Ansar Madinah,
seimbang dengan kasih sayang yang telah ditunjukkan oleh mereka.

Banyak bukti yang menunjukkan para sahabat dari kalangan Ansar sangat menyayangi Nabi s.a.w., ia dapat dilihat sejak pertama kali penduduk Madinah menemui Nabi s.a.w. semasa menunaikan haji. Mereka telah mengadakan bai'ah untuk mengikat kesetiaan, untuk mempertahankan Nabi s.a.w. sekiranya terdapat ancaman dari musuh, ketika Nabi s.a.w. telah sampai ke Madinah kelak. Mereka akan pertahankan Nabi sebagaimana mereka mempertahan kaum keluarga mereka sendiri dari ancaman musuh.

Sebaik saja Nabi s.a.w. sampai ke Quba, penduduk madinah berebut-rebut mempelawa Nabi singgah dan menginap di rumah mereka. Seorang sahabat dari kalangan Ansar iaitu Abu Ayub yang merasa amat bertuah apabila unta Nabi berhenti didepan rumahnya. Abu Ayub dan isterinya amat bersyukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan tetamu ke rumahnya seorang Nabi yang agung.

Rasa sayang dan hormat Abu Ayub sekeluarga terhadap tetamu agungnya itu dapat dilihat melalui cara Abu Ayub meraikannya. Beliau memiliki rumah dua tingkat, Nabi s.a.w. tetamu agungnya itu ditempatkan ditingkat atas. Beliau berbuat demikian kerana merasa tidak wajar tetamu yang mulia itu seolah-olah ditempatkan di bawah tapak kakinya.

Abu Ayub dan keluarganya makan lebihan makanan yang dihidangkan kepada Nabi s.a.w.. Selain ingin mendapatkan keberkatan dari baki makanan yang telah disentuh oleh Nabi s.a.w., tetapi Abu Ayub juga melakukannya atas dorongan perasaan kasih terhadap Nabi s.a.w. yang sangat dimuliakan.

Banyak riwayat mengenai para sahabat yang berebut-rebut mendapatkan air dari basuhan wudhuk Nabi s.a.w., sehingga tiada air wudhuk baginda titis ke bumi kerana tangan para sahabat begitu rapat menyambutnya.

Ketika Nabi bermalam di rumah seorang muslimah bernama Ummi Sulaim, cuaca agak panas menyebabkan keringat baginda mengalir ke tikar yang dibuat dari kulit. Ummu Sulaim telah mengambil keringat baginda dan disapu ke tubuhnya untuk mendapat keberkatan di samping dorongan kasih sayang terhadap Nabi s.a.w..

Kalau begitulah keadaannya bertawasul dengan kesannya yang berbentuk benda, sedangkan Nabi s.a.w. tidak menghalangnya, maka yang demikian itu bererti mengambil berkat dari Nabi s.a.w., adalah suatu yang tidak bercanggah dengan Islam. Bagaimanapun untuk mendapatkan suatu keberkatan selain dari Nabi s.a.w., maka perlulah diperhati dan diteliti benar-benar keadaan orang yang diambil keberkatannya itu seorang yang soleh dan warak. Jika tidak, dikhuatiri ia akan menjadi suatu budaya yang berbentuk khurafat, atau kemungkinan terpedaya dengan orang yang berlagak soleh dan warak. Ada pihak yang mengatakan bahawa apa yang dilakukan oleh para sahabat itu hanya bersifat 'tabarruk' (mengambil berkat) semata-mata, dan bukannya 'tawasul'. Sebenarnya tabarruk dan tawasul itu dua kalimah yang berbeza tetapi dari segi istilahnya adalah sama. Di mana ada keharusan bertawasul atas perkara-perkara yang berhubung dengan Nabi s.a.w., maka di sana terdapat tabarruk iaitu keberkatan.

Sama ada tawasul dengan kebesaran Nabi s.a.w. atau dengan kesan-kesan Nabi (seperti air wudhuk dan peluh Nabi dan kain baju Nabi), ini adalah merupakan bahagian-bahagian tertentu yang termasuk dalam erti kata tawasul. Justeru tabarruk atau tawasul terhadap Nabi suatu yang tidak bercanggah dengan ajaran Islam, dalilnya Nabi s.a.w. tidak melarang apa yang dilakukan oleh para sahabat, sedangkan ia berlaku di depan mata Nabi s.a.w. sendiri.
Oleh GURU HJ. NIK ABD. AZIZ NIK MAT

Al-Ikhlas. Membulatkan hati bahawa apa jua yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan keredhaan Allah s.w.t. Jika inilah niat kita, kita tidak akan dilanda rasa lemah.
Bebaskan diri dari pergantungan selain dari Allah. Kadang-kadang manusia banyak bergantung kepada apa jua yang ia miliki. Contohnya: ilmu, kekayaan, kecerdikan, kekuatan tubuh badan dan sebagainya. Apabila kekuatan-kekuatan ini hilang, maka dia akan merasa lemah dan tidak merasa lemah dalam melaksanakan tanggungjawab. Tanggungjawab yang dipikul hendaklah dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika bertemu kesulitan mintalah pertolongan Allah.
Rakus untuk hiaskan diri dengan kebaikan dan perkara yang bermanfaat tetapi lupa menjaga perkara yang difardhukan oleh Allah. lipa menjaga yang wajib, dan lebih lagi lupa perbanyakkan yang sunat. Amal yang disukai oleh Allah ialah amal-amal fardhu, namun tambahlah amalan sunat sehingga Allah menyintai kita. Bersusah-susahlah dalam kehidup (hidup lasak). Usah manjankan diri dengan kemewahan atau kesenangan.
Membaca sirah para sahabat dan meneliti apa yang dilalui oleh mereka sentiasa memerhati diri kita dan alam jagat. Renunglah asal usul kita, Sentiasa menghidupkan muzakarah ilmu untuk merenung keaiban diri kerana ia adalah jalan untuk melepaskan diri dari keaiban diri dan biasakanlah diri berada dalam majlis ilmu, bersahabat dengan orang yang soleh. Mereka akan mengingatkan ketika lupa. Jika Allah mahukan kebaikan, Allah akan mengurniakansahabat yang baik kepada seseorang menjauhkan diri dari apa jua bentuk maksiat atau mudharat.

Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.

Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.

Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya"

Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:

Pertama : al Jam'u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.

Kedua : al Jam'u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya " (Hadis dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (hal 1).

Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".

Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal.

Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.

Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.

Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.

Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq

SEPENINGGAL Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:

"Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".

Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.

Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf".

Zaid berkata : "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).

Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.

Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf).

Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an)"

Al-Quran pada zaman khalifah Umar bin Khatab

Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al-Qur’an pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.

Al-Quran pada zaman khalifah Usman bin ‘Affan

Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.

Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.

Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".

Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.

Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.

Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.

Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.

Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al-Qur’an.

Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).

Tanda Yang Mempermudah Membaca Al-Quran

Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk melihatnya.

Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).

Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.

Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.

Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata "Warasuulihi" yang seharusnya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.

Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti "ghafurrur rahim".

Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.

Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.

Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain.

Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi' yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.

Sebelum ditemukan mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Al-Qur'an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.

Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.

Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.

Sayangnya, terbitan Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.

Cetakan Al-Qur’an yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.

;;

**Tv online**