Setelah Dajjal muncul dan melakukan perusakan dan penghancuran di muka bumi, Allah mengutus Isa ‘alaihissalam untuk turun ke bumi turun di menara putih di timur Damsyiq, Siria. Beliau mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan za’faran; beliau taruh kedua telapak tangan beliau di sayap dua orang Malaikat. Bila beliau menundukkan kepala, meneteslah / menurunlah rambutnya, dan bila diangkat kelihatan landai seperti mutiara. Dan tidak ada orang kafir yang mencium nafasnya kecuali akan mati, dan nafasnya itu sejauh pandangan matanya.

Beliau akan turun pada kelompok yang diberi pertolongan oleh Allah yang berperang untuk menegakkan kebenaran dan bersatu-padu menghadapi Dajjal. Nabi Isa as. turun pada waktu sedang diiqamati shalat, lantas beliau shalat di belakang pemimpin kelompok itu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Ketika Allah telah mengutus al-Masih Ibnu Maryam, maka turunlah ia di menara putih di sebelah timur Damsyiq dengan mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan za’faran, dan kedua telapak tangannya diletakkannya di sayap dua Malaikat; bila ia menundukkan kepala maka menurunlah rambutnya, dan jika diangkatnya kelihatan landai seperti mutiara. Maka tidak ada orang kafirpun yang mencium nafasnya kecualipasti meninggal dunia, padahal nafasnya itu sejauh mata memandang. Lain Isa mencari Dajjal hingga menjumpainya dipintu Lud, lantas dibunuhnya Dajjal. Kemudian Isa datang kepada suatu kaum yang telah dilindungi oleh Allah dari Dajjal, lalu Isa mengusap wajah mereka dan memberi tahu mereka tentang derajat mereka di surga. “[5]

Ibnu Katsir berkata, “Inilah yang termasyhur mengenai tempat turunnya Isa, yaitu di menara putih bagian timur Damsyiq. Dan dalam beberapa kitab saya baca beliau turun di menara putih sebelah timur masjid Jami’ Damsyiq, dan ini rupanya pendapat yang lebih terpelihara. Karena di Damsyiq tidak dikenal ada menara di bagian timur selain di sebelah Masjid Jami’ Umawi di Damsyiq sebelah timur. Inilah pendapat yang lebih sesuai karena beliau turun ketika sedang dibacakan iqamat untuk shalat, lalu imam kaum Muslimin berkata kepada beliau, “Wahai Ruh Allah, majulah untuk mengimami shalat.” Kemudian beliau menjawab, “Anda saja yang maju menjadi imam, karena iqamat tadi dibacakan untuk Anda.” Dan dalam satu riwayat dikatakan bahwa Isa berkata, “Sebagian Anda merupakan amir (pemimpin) bagi sebagian yang lain, sebagai penghormatan dari Allah untuk umat ini.” [6]

Tersebarnya Keamanan dan Barakah pada Zaman Isa ‘Alaihis-salam

Betapa menyenangkan seandainya kita termasuk yang mendapatkan karunia untuk tinggal semasa dengan nabi Isa as. Karena di masa beliau kehidupan manusia benar benar aman dan damai, bahkan kedamaian itu bukan hanya milik manusia, tetapi juga merata hingga kepada binatang. Zaman Isa ‘alaihissalam (setelah turun kembali ke bumi) ini merupakan zaman yang penuh keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran serta kelapangan. Allah menurunkan hujan yang lebat, bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan serta banyak barakahnya, harta melimpah ruah; dendam, dengki, dan kebencian hilang sirna.

Dalam hadits Nawwas bin Sam’an yang panjang yang membicarakan tentang Dajjal, turunnya Isa, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj pada zaman Isa ‘alaihissalam, dan do’a Isa agar mereka dihancurkan, Rasulullah saw bersabda:

“… Kemudian Allah menurunkan hujan, dan tak ada rumah tanah liat maupun bulu yang dapat menahan airnya, lantas mencuci bumi hingga bersih seperti cermin kaca. Kemudian diperintahkan kepada kami: ‘Tumbuhkanlah buah-buahanmu dan kembalikanlah barakahmu.’ Maka pada hari itu sejumlah orang dapat memakan buah delima dan bernaung di bawahnya. Dan susupun diberi barakah, sehingga susu seekor unta bunting yang sudah dekat melahirkan dapat mencukupi banyak orang, susu seekor sapi mencukupi untuk orang satu kabilah, dan susu seekor kambing mencukupi untuk satu keluarga….” [7]

Rasulullah saw bersabda :

“Demi Allah, sesungguhnya Isa putra Maryam akan turun ke bumi sebagai hakim yang adil, akan membebaskan jizyah, unta-unta muda akan dibiarkan hingga tidak ada yang mau mengurusinya lagi, sifat bakhil, saling membenci, dan saling dengki akan hilang, dan orang-orang akan memanggil-manggil orang lain yang mau menerima hartanya (shadaqahnya), tetapi tidak ada seorangpun yang mau menerimanya.[8]

Imam Nawawi berkata, “Maknanya, bahwa pada saat itu orang-orang sudah tidak tertarik lagi untuk memelihara unta karena banyaknya harta kekayaan, keinginan sedikit, kebutuhan tidak ada, dan sudah tahu bahwa kiamat telah dekat. Dan disebutkannya lafal al-qilash (unta muda) dalam hadits ini karena unta muda itu merupakan harta yang paling baik bagi bangsa Arab (pada waktu itu).

Kiamat di Ambang Pintu

Masa tinggal Isa di bumi setelah turun dari langit menurut riwayat adalah se lama tujuh tahun, dan menurut sebagian riwayat yang lain lagi selama empat puluh tahun. Setelah itu wafat pula Imam Mahdi dan Al Qahthani yang melanjutkan kepemimpinannya. Tidak lama setelah itu, terbitlah matahari dari barat dan binatang melata yang keluar dari perut bumi yang memberikan tanda kufur dan iman atas setiap manusia. Ketika itu setiap mukmin segera mengetahui bahwa itulah detik detik kemunculan angina lembut dari yaman yang akan mencabut nyawa setiap mukmin. Setelah itu, tidak seorangpun manusia yang masih memiliki keimanan kecuali akan menemui ajalnya. Ketika seluruh penduduk manusia tidak lagi menyebut Allah, itulah kondisi seburuk-buruk manusia, dan kepada merekalah kiamat akan terjadi. Wallahu a’lam bish shawab.

[1]. Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Al-Qurthubi.
[2]. HR. Bukhari: no. 2296.
[3]. HR. Bukhari: Kitabu ahaditsil anbiya’ no. 3193 dan Muslim: Kitabul iman no. 222, 223, 224.
[4]. HR. Muslim: Kitabul iman no. 225
[5] (Shahih Muslim, Kitab al-Fitan wa Asyrathis Sa ‘ah, Bab DzikrAd-Dajjal 18: 67-68).
[6] Shahih Muslim
[7] Shahih Muslim, Kitabul Fitan, Bab Dzikrid Dajjal 18: 63-70
[8] Shahih Muslim, Bab Nuzuuli Isa ‘Alaihissalam 2:192

Ujian dan Cubaan

Allah SWT kadangkala melaksanakan hukuman di dunia ini dengan memberikan ujian dan cubaan dalam bermacam bentuk, seperti.

1- Cubaan badaniah dan rohaniah yang berupa penyakit, luka, cacat pandangan salah satu angguta tubuh, rasa susah, gelisah, resah, duka cita, tidak aman dan lain-lain lagi.

2- Cubaan melalui kekayaan, seperti kehilangan, kebakaran, kekurangan, rosak dan sebagainya.

3- Cubaan melalui anak dan keluarga, seperti sakit, gila, lumpuh dan lain-lain.

Semua ujian dan cubaan tersebut mungkin terjadi kerana.

a- Hasil undangan dari kedurhakaan manusia sendiri, hasil usaha perbuatan dan kelakuannya sendiri yang dihukum di dunia oleh Allah sebagai pembalasan langsung dari dosa-dosanya itu. Kemungkinan ini dapat terjadi sebagai tanda kasih sayangNya untuk menghapuskan dosa kedurhakaannya di dunia ini, dan ia akan keluar dari dunia ini dalam keadaan suci dah bersih. Kemungkinan lainnya ialah untuk meninggikan mertabatnya, baik di dunia mahu pun di akhirat, iaitu apabila ia tidak mempunyai dosa yang harus mendapat hukuman.

b- Takdir Allah sendiri untuk menguji hamba-hambanya secara terus-menerus di- rundung malaang,dan nantinya akan di ganti di akhirat dengan rahmat dan juga keredhaanNya.

Apabila seseorang itu menghadapi segala cubaan, ujian dan rintangan dengan redha, ikhlas dan mencari jalan keluar dengan jalan yang sebaik-baiknya, tidak mengeluh, gelisah atau pun berputus asa. Allah akan mempermudahkan jalanan hidupnya. Memudahkan hisab di akhirat nanti, dan memberkati hidupnya.

MAKSUD "sabar" dalam konteks amalan batin ialah menahan hawa nafsu daripada dipengaruhi oleh sebarang gelora atau kegemparan hati atau tekanan jiwa atau perasaan atau rangsangan yang menimbulkan rasa marah atau berontak, resah- gelisah, tidak rela, sugul, kecewa atau putus asa, akibat daripada pengalaman menghadapi kesusahan, ketidak- selesaan atau sesuatu keadaan yang tidak disukai atau tidak diingini.

Kesabaran itu harus meliputi empat tindakan, iaitu:

* tabah dan tekun dalam mengerjakan taat atau ibadat kepada Allah;
* menahan diri daripada melakukan maksiat atau kemungkaran;
* memelihara diri daripada dipukau oleh godaan dunia, nafsu dan syaitan;
* tenang / teguh hati menghadapi cubaan atau musibat.

Sabar yang demikian itu adalah suatu tuntutan dalam agama dan merupakan satu ibadah, malah segala ibadat itu didirikan di atas sabar, kerana dalam mengerjakan ibadat itu kita terpaksa menanggung kepayahan dan pengorbanan.

Malah, dalam segala lapangan, kita perlu bersabar dan menangani segala kesukaran dan rintangan yang dihadapi. Orang yang gagal bersabar tidak akan tercapai matlamat dan manfaat ibadatnya.

Antara tujuan kita disuruh mempertahankan kesabaran itu ialah:

Pertama, supaya dapat mengerjakan ibadat dengan tenteram dan dapat mencapai kesempurnaan dan seterusnya mencapai matlamatnya. Jika tidak bersabar, tekanan dan ekoran daripada pelbagai kesukaran atau daripada padah pelbagai musibat menjadikan kita keluh-kesah, lalu kehilangan punca kekusutan dan pertimbangan. Keadaan ini tentulah akan mengganggu konsentrasi dan penghayatan dalam kerja ibadat, khususnya. Kadang-kadang sampai tidak dapat meneruskannya.

Kedua, untuk mencapai kejayaan (kebajikan dunia dan akhirat).

Antara firman Allah Taala tentang hal ini ialah: "Dan Kami jadikan antara mereka itu pemimpin yang memberi pertunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar". (QS. 32:24); "Mereka itulah orang- orang yang dibalas (dikurniakan) bilik (martabat yang tinggi di syurga) kerana mereka bersabar (menjunjung taat kepada Allah), dan mereka dialu-alukan di dalamnya
(syurga) dengan penghormatan dan ucapan salam kesejahteraan (oleh para malaikat)". (QS. 25:75);
"Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu dicukupkan ganjaran pahala mereka tanpa batas". (QS. 39:10);

Allah Taala menganjurkan kita supaya bersabar. Firman-Nya (mafhumnya): "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu (melakukan taat dan menghadapi musibat), teguhkanlah kesabaran kamu, tetapkanlah kewaspadaan serta siap siaga dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (merebut syurga dan bebas dari neraka). (QS. 3:200).

Apabila seseorang itu berjaya mempertahankan kesabarannya dalam keempat-empat keadaan tersebut di atas, maka tercapailah darjat istiqamah dan taat dengan mendapat ganjaran pahalanya yang besar. Orang itu tidak akan terjatuh ke jurang maksiat.

Saiyidina Ali Abu Talib k. a. w pernah bermadah, maksudnya: Jika engkau bersabar, takdir itu berlaku juga ke atas diri mu, tetapi engkau dikurniakan ganjaran pahala. Jika engkau tidak sabar pun, takdir tetap berlaku juga ke atas dirimu dan engkau berdosa.

DALAM konteks menghadapi ujian (qadhak) atau musibat atau mala petaka, seseorang hamba Allah itu, insya Allah, akan berjaya mengekalkan kesabarannya , jikalau dia sentiasa mengingati atau mengekalkan kesedaran tentang hakikat atau hikmat musibat itu, atau jika hamba Allah itu sentiasa menaruh sangkaan baik terhadap Allah Taala. Malah, dengan yang demikian, kesabaran dan keimanannya akan bertambah teguh.

Sebagai perbandingan tentang hakikat musibat itu, kita katakan ada seorang bapa yang melarang keras anaknya memakan sejenis makanan yang amat digemari oleh anaknya itu. Sebaliknya sang bapa itu memaksa anaknya memakan makanan biasa daripada bahan yang murah, walaupun dia cukup mampu membeli makanan istimewa yang menjadai kegemaran anaknya itu. Apakah penerimaan atau reaksi sang anak terhadap tindakan bapanya itu?

Dan apakah kata kita terhadap sang bapa itu? Mungkin ramai antara kita akan mengatakan sang bapa itu kedekut, bakhil, tidak bertimbangrasa dan sebagainya. Akan tetapi kita tidak harus menuduh sebarangan kepada sang bapa itu sebelum kita tahu apa tujuan dia bertindak demikian. Kita harus mencari sebab-musababnya.

Inilah tindakan wajar orang yang bersabar. Demikianlah antara cara kita berhadapan dengan keadaan yang tidak menyenangkan kita atau apabila menerima cubaan atau musibat yang ditakdirkan oleh Allah Taala ke atas diri kita. Kita tidak harus terus melenting marah atau kesal mengikut arus perasaan atau rangsangan nafsu dan syaitan, kerana kita tidak tahu rahsia hakikat dan hikmat di sebalik takdir itu.

Bandingannya, katakan kita tahu, tujuan sang bapa tersebut bertindak demikian adalah kerana anaknya itu sedang mengidap suatu penyakit yang mengikut doktor, sang anak itu akan menghadapi bahaya apabila memakan makanan kegemarannya itu.

Sekarang apa kata kita? Tidakkah tuduhan-tuduhan terhadap sang bapa tadi tergugur dengan sendirinya? Dan, sang anak itu pula, apa bila mengetahui tujuan bapanya itu, apakah wajar memarahi bapanya atau berkecil hati atau menyesali tindakan bapanya itu? Sekarang tentulah kita akan mengatakan, sang bapa itu adalah seorang bapa yang bertanggungjawab dan anaknya pula tidak sepatutnya menyesali tindakan bapanya yang demikian. Katakan lagi, sang bapa membawa anaknya itu ke hospital, lalu ditahan di wad hospital itu. Maka itu terpenjaralah sang anak di hospital, terpaksa berpisah dengan keluarga dan kawan-kawanya. Selain itu dia terpaksa minum dan menelan ubat-ubat yang pahit dan disuntik. Rawatan seterunya ialah pembedahan.

Pada zahirnya, sang anak itu menderita terseksa, tetapi apabila diyakini, bahawa 'seksaan' itu adalah untuk menyelamatkannya daripada ancaman dan seksaan sebenar yang berpanjangan daripada penyakit yang dihidapinya itu, maka 'seksaan' sementara itu seharusnya diterima dengan hati terbuka, penuh rela, tenang, dan sabar.

Demikianlah semestinya penerimaan kita terhadap musibat atau ujian drpd Allah Taala. Sebenarnya penyakit itu sendiri merupakan suatu cubaan atau musibah. Melalui penyakit, kita diuji oleh Allah Taala sejauh mana kesabaran dan keimanan kita, sejauh mana dan bagaimana usaha atau ikhtiar kita merawatinya, sama ada dengan cara yang bersendikan tawakal dan tafwid atau melibatkan perbuatan syirik, yakni bergantung kepada yang lain daripada Allah dan melakukan perkara-perkara mungkar yang lain.

Dan, kalau ditakdirkan usaha rawatan itu gagal dan penyakit itu bertambah tenat, maka itu adalah ujian yang lebih besar, khususnya kepada pengidap penyakit itu. Kalau penyakit itu akhirnya membawa maut, maka ujian itu melibatkan keluarga pula. Hikmat dan hakikat di sebalik apa yang ditakdirkan Allah itu, sama ada yang baik ataupun yang buruk, kita tidak tahu.

Sebab itu kita perlu bersabar menerima dan menanggungnya. Kita sebagai hamba Allah hendaklah menghadapinya dengan hati yang tenang, penuh kerelaan, penuh kesabaran; di samping berikhtiar mengatasinya dengan seberapa daya mengikut kemampuan kita sebagai manusia, hamba Allah.

Untuk mewujudkan kesabaran, kita hendaklah sentiasa menyedari, bahawa kadar dan waktu berlakunya kesusahan atau musibat itu adalah di bawah takdir Allah Taala yang maha berkuasa. Ketetapan kadar itu tidak bertambah atau berkurang dan waktunya tidak terdahulu atau terkemudian.

Dan, untuk memelihara atau mengekalkan kesabaran itu pula, kita hendaklah sentiasa mengingati bahawa kesabaran itu bakal dibalas dengan ganjaran kebajikan dan pahala yang disimpan khas oleh Allah Taala.

Demikianlah, kesabaran itu merupakan ubat yang paling pahit tetapi paling mujarrab.

Yakinlah, keberkatan daripada kesabaran itu membawa manfaat kepada kita sekali gus menolak mudarat daripada kita. Sebagai ubat, pahitnya hanya sesaat, tetapi manisnya berpanjangan.

Wallahu a'lam.

Bersyukur ke hadrat Allah Taala kerana melahirkan kita ke alam dunia yang fana ini. Kita dihidupkan dan insyallah akan dimatikan dengan izinNya. Kita dipinjamkan jasad dan nyawa untuk beberapa ketika yang diizinkan yang kita sendiri tidak mengetahui kecuali diriNya. Hidup kita mengikut apa yang disabdakan oleh Baginda Rasul sebagai seorang pengembara yang sedang dalam perjalanan ke suatu destinasi yang jauh dan memerlukan banyak bekalan. Tentunya dalam perjalanan itu banyak halangan dan gangguan yang boleh menjejaskan matlamat untuk ke destinasi. Pengembara yang bijak tidak akan terpengaruh dengan keseronokan dan kebahagiaan sementara yang ditempuh dalam perjalanan kerana dia tahu bahawa dia sebenarnya adalah warga satu alam lagi. Manakala pengembara yang lupa daratan akan menikmati sepuas-puasnya apa sahaja yang ditempuh; seolah-olah iniah dunianya sehingga terlupa matlamat asal untuk menuju ke dunianya yang sebenar. Mereka terpedaya dengan kemanisan dunia dan menyangkakan apa yang dipungut itulah BEKALAN.

Sebagai seorang pengembara, kita seharusnya bijak melayarkan bahtera ke arah yang betul mengikut kompas yang dipiawaikan oleh Rasul. Untuk sampai ke destinasi AKHIRAT, pungutlah bekalan sebanyak mungkin. Anggaplah segala keseronokan duniawi sebagai BEBAN yang boleh menjejaskan perjalanan ke sana. Ingatlah pesanan orang tua : Kita sebenarnya adalah WARGA AKHIRAT - tempat yang kekal abadi; sementara dunia ini ialah rumah tumpangan sementara yang penuh kepalsuan dan tipu-daya. Oleh itu kita mestilah bijak memilih mana satu BEKALAN dan mana satu BEBAN. Barangan yang dikategori sebagai BEBAN akan menyusahkan perjalanan ke akhirat manakala barangan BEKALAN akan berfaedah untuk kehidupan di sana. Kutiplah bekalan sebanyak mungkin dan hindarkan memikul beban yang menyulitkan perjalanan.

Ingatlah: "Dunia ini sebagai tempat bercucuk tanam. Hasilnya kita akan kecapi di Akhirat nanti."

"Beramallah untuk dunia seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Beramallah untuk akhirat seolah-olah kamu akan mati keesokannya." - Hadith

Ramai mentafsirkan Hadith ini dari segi keduniaan iaitu kerja bersungguh-sungguh kerana kita akan hidup lama di dunia. Tetapi makna yang tersirat ialah kita hidup lama lagi di dunia jadi kenapa nak bekerja beria-ia mencari pendapatan lebih sedangkan masa banyak lagi. Tetapi dalam hal akhirat, kita akan mati esok - jadi terpaksalah buat persiapan dengan lengkap dan berhati-hati kerana kita akan mati esok. Tafsiran begini jarang diterangkan oleh umum terutama pemburu harta di dunia.

Islam tidak menghalang umatnya mencari harta-benda dan kekayaan; asalkan ia tidak menghalang dari melakukan pengabdian kepada Allah. Malahan orang Islam yang kaya adalah amat diperlukan kerana ia adalah sumber ekonomi negara dan sebagai juruwang bagi saudaranya yang miskin dan memerlukan bantuan. Orang kaya adalah pembantu orang msikin, orang kuat adalah pelindung golongan yang lemah, orang alim sebagai sumber cahaya dan ilmu kepada orang jahil. Begitulah golongan ini saling bantu-membantu antara satu dengan lain. Apa yang Islam larang ialah meletakkan keduniaan sebagai sasaran utama dalam hidup melebihi hal-hal keakhiratan dan pengabdian kepada Allah. Sekiranya keduniaan diberikan keutamaan dalam hidup bererti konsep syahadahnya terjejas. Intipati syahadah ialah mengaku dengan sebenar-benar pengakuan bahawa Tiada lain yang lebih besar selain Allah dan pengakuan bahawa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ini bererti tumpuan pengabdian hakiki ialah Allah dan BUKANNYA harta-benda dunia. Jika kekayaan dunia dijadikan asas hidup berertilah kita telah membesarkan dunia daripada Allah sendiri; atau dalam kata-kata lain kita bertuhankan harta bukannya Allah. Di sinilah terpesongnya aqidah orang-orang kebendaan.

Sangat beruntunglah mereka yang mempunyai harta kekayaan yang menjadikannya sebagai modal untuk akhirat. Wang ringgit dipertaruhkan sebagai saham akhirat dengan bersedekah, mendirikan masjid, membantu fakir miskin dan anak yatim, menyelesaikan masalah dan keperluan jiran dan masyarakat sekeliling. Mereka inilah yang berjaya menukar harta menjadikan sebagai pahala atau membeli akhirat dengan dunia. Sebaliknya amat rugi mereka yang mempunyai wang ringgit dan harta kekayaan tetapi membelanjakan untuk perkara-perkara yang tidak mendatangkan sebarang faedah untuk akhiratnya; atau lebih dahsyat jika digunakan untuk kerja-kerja maksiat dan hiburan semata. Di akhirat akan ditanya Allah ke mana wang ringgit kita dibelanjakan dengan begitu halus dan tereperinci.

Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menjelaskan bahawa kehidupan akhirat adalah lebih penting dan lebih kekal. Oleh itu sayugia bagi kita melebihkan kehidupan akhirat daripada dunia. Kehidupan di dunia hanya dalam tempoh terhad; jarang-jarang melebihi 90 tahun; tetapi akhirat tiada batasan waktu. Sudahlah begitu diriwayatkan satu hari di akhirat menyamai 1000 tahun di dunia. Jadi berapalah nilai umur dunia dibandingkah akhirat? Orang yang bijak tentunya berpandangan jauh iaitu untuk kehidupan akhirat. Ada di antara orang-orang alim dan para wali sangat mengambil berat tentang pengisian waktu dengan ibadat. Mereka tidak rela membuang masa begitu sahaja. Setiap saat bagi mereka adalah berharga dan mesti diisi dengan sesuatu ibadat supaya tidak terbuang begitu saja. Bagi mereka, setiap nafas yang turun naik akan dipersoalkan. Pada sebelah malam, mereka menggunakan masa untuk beribadat. Masa tidur mereka amat sedikit.

Sebaliknya mereka yang asyik mengumpul harta dunia untuk dunia adalah berfikiran sempit kerana tidak menjangkau alam abadi di akhirat. Ahli dunia saban masa memikirkan bagaimana nak mengumpul harta benda hingga menjadi kaya. Walaupun sudah kaya, mereka masih berusaha lagi supaya menjadi bertambah kaya; tanpa sedikit pun memikirkan bagaimana harta yang ada pada mereka hendak diinfaqkan di jalan Allah supaya hasilnya dapat dituai di akhirat kelak. Orang kaya begini pada hakikatnya adalah miskin kerana masih banyak memerlukan sesuatu.

Semasa perjalanan Israk Mikraj, Allah menunjukkan satu golongan yang menanam gandum dan kemudian menuainya. Baru lepas ditanam, terus berbuah dan dituai; begitulah seterusnya. Inilah ibarat orang yang membuat kebajikan sentiasa tak putus-putus menerima ganjaran pahala yang banyak di sisi Allah. Balasan pahala ini akan dinikmati kebahagiaannya di akhirat kelak.

Dinukilkan dalam sebuah kitab, seorang raja dihadiahkan orang sebuah piala minuman bertatahkan permata fairuz. Piala itu sangat cantik dan amat berharga. Raja sangat gembira menerima hadiah itu. Apabila seorang hukama datang berjumpa dengannya, raja itu bertanya kepadanya mengenai piala tersebut. Hukama itu berkata, "Aku tidak lihat apa-apa dari piala itu kecuali bala dan fakir." Raja tercengang dan berkata, "Mengapa kamu berkata begitu?" Hukama itu menerangkan, "Kalau piala itu pecah, sudah tentu ia tidak boleh dibaiki lagi dan hati menjadi susah atas bala yang menimpa. Kalau ia dicuri orang, tuanku akan bersedih atas kehilangan itu dan berasa seperti fakir. Bahkan sebelum tuanku dapat piala ini, tuanku tidak ada rasa apa-apa bahkan senang dengan keadaan begini, tetapi selepas ada piala ini, jika berlaku kehilangan tentu tuanku berasa amat sedih." Selang beberapa bulan, piala yang disayangi raja itu pecah berkecai. Raja itu menjadi sangat sedih dan hampa atas kehilangan piala itu. Dia kembali berjumpa hukama itu dan mengaku atas kebenaran kata-katanya. Kisah ini jelas membuktikan bahawa harta dunia yang kita sayangi tidak memberi apa-apa makna di dunia kecuali kesusahan dan kemiskinan. Bahkan dirasakan amat berat untuk meninggalkan harta itu semasa roh hendak kembali berjumpa Allah.

Sebagai kesimpulannya, kita hendaklah mempunyai pendirian berkaitan dengan penumpukan harta kekayaan. Yang lebih penting bagi kita ialah adakah kita akan diterima oleh Allah di akhirat kelak sebagai hambaNya yang soleh. Begitu juga adakah Nabi Muhammad saw akan mengaku atau mengiktiraf kita sebagai umatnya. Jika Allah tak mengaku hambaNya dan Nabi Muhammad saw tak mengaku kita sebagai umatnya, ke mana lagi kita nak pergi ketika itu? Ke mana tempat kita nak mengadu nasib? Di dunia bolehlah meminta bantuan dari kaum kerabat dan sebagainya tetapi di akhirat siapa lagi selain Allah dan rasulnya.. Akhirnya sama-sama kita meminta taufiq dan hidayat semoga kita berada di landasan sebenar sebelum kita dipanggil oleh Allah. Kita pohonkan keselamatan dan taubat di atas dosa-dosa kita dan mudahan kita kembali menemuiNya dalam keadaan Allah meredhai kita, insyaallah..

Allah SWT telah menciptakan Adam a.s. lalu menciptakan Hawa, istrinya dari tulang rusuknya. Lalu keduanya diturunkan ke bumi di tempat berbeda, Adam di India sedangkan Hawa di Jeddah. Setelah sekian lama berpisah, mereka bertemu di Jabal Rahmah, Arafah. Lalu mereka hidup bersama kembali dan beranak pinak. Dari keduanya terlahir milyaran anak manusia yang memenuhi seluruh bumi. Dan pria dan wanita keturunan Adam semua diciptakan dari sperma dan sel telur para pria dan wanita. Itulah kenapa Allah SWT mengatakan bahwa Dia menciptakan pasangan dari jenis kalian sendiri. Allah SWT :
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk kalian isteri dari species kalian agar kalian merasakan sakinah dengannya; Dia juga menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Ar-Rûm: 21).

Makna Sakinah, Mawadah, wa Rahmah

Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka. Bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapatkan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya”.

Sakinah adalah ketentraman di dalam rumah rumah. Sehingga setiap laki-laki yang menikah maka target yang dia ingin capai adalah mendapatkan ketenangan di dalam rumah bersama istrinya.

Ibnu Abbas r.a. memaknai mawaddah, yakni mahabbah seorang wanita kepada suaminya. Dan rahmah, yakni kasih sayang seorang lelaki kepada wanita atau kepada istrinya. Juga dikatakan bahwa mawaddah itu kasih sayang yang kecil kepada yang besar, sedangkan rahmah adalah kasih sayang yang besar atas yang kecil.

Al Mawardi mengungkap beberapa pendapat. Pertama, al mawaddah sebagai mahabbah yakni cinta kasih, sedangkan rahmah adalah syafaqah, yakni belas kasih. Kedua, al mawaddah maknanya mencintai yang tua, sedangkan ar rahmah artinya menyayangi yang muda.Ketiga, al mawaddah artinya al jima’, yakni hubungan suami istri, sedangkan ar rahmah artinya al walad, yakni anak. Keempat, al mawaddah war rahmah adalah kasih saying di antara pasangan suami istri.

Dalam hal ini patut diingat sabda Rasulullah saw. :
Kawinilah para wanita yang peranak dan yang hangat karena aku akan membanggakan banyaknya kalian terhadap umat-umat yang lain (HR. Al Baihaqi).

Wanita sebagai Sumber Sakinah

Dikisahkan pada suatu hari seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang isteri yang selalu menyambutku ketika aku datang dan mengantarku saat aku keluar rumah. Jika ia melihatku termenung ia selalu menyapaku dan mengatakan: Ada apa denganmu? Apa yang kau risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan, ketahuilah bahwa rezekimu ada di tangan Allah. Tapi jika yang kau risaukan adalah urusan akhirat, semoga Allah menambah rasa risaumu.”

Setelah mendengar cerita sahabatnya Rasulullah saw bersabda:
“Sampaikan kabar gembira kepadanya tentang surga yang sedang menunggunya! Dan katakan padanya, bahwa ia termasuk salah satu pekerja Allah. Allah swt menuliskan baginya setiap hari pahala tujuh puluh syuhada’.” (Makarim Al-Akhlaq: 200).

Sakinah merupakan pondasi kehidupan manusia yang diliputi suasana perasaan yang sejuk dan damai. Isteri ibarat tempat suami bernaung, beristirahat dan mencari hiburan. Setelah terasa letih dan penat dari perjuangannya seharian demi kepentingan keluarga dan umat, suami berlabuh kepada isterinya. Sang istri menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.

Rasulullah saw. bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah.”

Dengan demikian, profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu. Ketentraman dapat terwujud jika wanita memiliki beberapa kriteria berdasarkan sabda Rasulullah saw.: Jika dilihat suami selalu menyenangkan, jika diperintah suaminya dia taat, jika suaminya sedang pergi, ia mampu menjaga harta dan kehormatannya, tidak akan pernah memasukkan ke dalam rumahnya lelaki yang bukan mahramnya.

Isteri sholihah harus berusaha menjaga penampilannya agar selalu kelihatan segar dan menarik dihadapan suaminya, termasuk roman mukanya, tutur katanya, menunjukkan sikap penuh kehangatan, perhatian dan siap mentaati dan melayani suami dalam kebaikan.

Isteri sholihah memenuhi tugas utamanya sebagai pemelihara rumah (robbatul bait) dan ibu bagi anak-anak suaminya. Setiap hari dia harus memelihara kebersihan, kerapihan dan kenyamanan rumahnya, agar suami dan anak-anaknya betah di rumah. Dia pun menjadi pendidik pertama dan utama dari anak-anaknya.

Isteri sholihah harus selalu menjaga kehormatan dirinya di depan lelaki asing, yang bukan mahramnya. Dia selalu menutup auratnya, menundukkan pandangannya, tidak berkhalwat, dan hanya berinteraksi selama ada keperluan yang dibolehkan.

Tugas Pria Menjaga Sumber Sakinah

Para suami diingatkan oleh cucu Rasulullah saw., yakni Imam Ali Zainal Abidin r.a. yang berkata:
“Adapun hak isteri, ketahuilah sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan untukmu dia sebagai sumber sakinah dan kasih sayang. Maka, hendaknya kau sadari hal itu sebagai nikmat dari Allah yang harus kau muliakan dan bersikap lembut padanya, walaupun hakmu atas lebih wajib baginya. Karena ia adalah keluargamu. Engkau wajib menyayanginya, memberi makan, memberi pakaian, dan memaafkan kesalahannya.”

Dalam menjaga sumber sakinah, suami perlu sabar akan kekurangan istrinya. Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang bersabar atas perlakuan buruk isterinya, Allah akan memberinya pahala seperti yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang berat. (Makarim Al-Akhlaq:213)

Umar bin Khatthab r.a. mengingatkan kepada para suami agar memberikan apresiasi kepada isterinya. Umar r.a. berkata:
“Isteriku, benteng bagiku dari api neraka.Isteriku, orang yang paling setia mendampingiku di saat senang dan susah. Isteriku yang membantu, menjaga, memelihara rumah dan hartaku. Isteriku adalah ibu dari anak-anakku. Saya tahu betul, betapa berat tugas ibu, mengandung, melahirkan, menyusukan, dan menjaga anak-anak. Selain itu, isteriku tanpa mengenal lelah, setiap hari mencuci pakaianku, dan memasakkan makanan untukku, dan anak-anakku. Karena itu, aku selalu memaafkannya. Mungkin banyak hak-haknya yang belum sempat aku penuhi.”

Allah SWT mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa:
“….Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS. Al-Furqon [25]: 74 ).

Mudah-mudahan dengan kesungguhan dalam menjaga istri sebagai sumber sakinah, maka para suami akan mendapatkan sakinah, mawaddah, war rahmah itu terus-menerus sebagai nikmat dari Allah SWT. Amin!.

fatwa hati

Meniti hari, kehidupan semakin sukar, bukan semudah A.B.C, dan tidak juga selancar alif, baa, taa. hati ini selalu mengeluh susah, mengeluh sukar, padahal kemampuan ada, cuma tidak digunakan pada tahap yang maksimum, dan cuma perlu menanam keyakinan yang tinggi, pada ALLAH dan diri sendiri. kadang-kala, terkeluar dari mulut, ya allah, sukarnya, ya allah susahnya, mampukah aku mengharungi semua ini?. mulut terus dan terus mengomel tanpa sedar itu adalah sebuah rungutan. astaghfirullah, allah tak suka hambanya merungut, apa lagi hambanya yang mengeluh. apa yang penting adalah usaha dan gerak kerja. bukan natijahnya.

aku selalu tanam dalam diri, yang keyakinan terhadap ALLAH itu akan disusuli dengan keyakinan dalam diri sendiri. cipta dan bina keyakinan yang tinggi terhadap kekuasaan ALLAH, DIA telah menciptakan manusia daripada sebaik-baik penciptaan, menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi ini, sehinggakan Harut dan Marut sendiri tidak sanggup menggantikan tempat dan posisi manusia sebagai khalifah. gunung ganang, angin, tanah dan semua makhluk yang lain merendahkan martabat mereka dan menyerahkan tugas khalifah kepada manusia. begitu tinggikan darjat manusia? lalu apa yang aku gusarkan. kerana aku ada ALLAH.

aku selalu mengingatkan pada diri bahawa keyakinan terhadap ALLAH dan keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri lebih penting dan lebih utama berbanding pandangan dan persepsi orang. biarlah seribu orang sekalipun yang mengeji atau mencaci, biarlah seribu orang sekalipun memandang serong kepada aku, tetapi apa yang aku perlu dahulukan adalah pandangan allah terhadap aku. bagaimana solatku, ibadahku seharian, kebajikanku dalam rutin harian, sehinggakan mampukah aku menghulurkan seteguk air kepada makcik pencuci bilik air, atau mampukah aku mengucapkan salam kepada makcik yang bertugas menyapu sampah, atau aku hanya diam tanpa senyum.sedangkan benda yang remeh dan dianggap mudah itulah yang menentukan tahap keimananku.

lalu tarbiyah sedikit demi sedikit mengetuk pintu hati, menyiram hati yang kadangkalanya gersang. dan ketika kegersangan itu melanda, aku tidak mampu untuk memperbanyakkan nawafil, aku lemah untuk memeprbanyakkan zikir. sampai masa aku berasa yang sedikit itu mencukupi. padahal, allah lebih menyukai hambanya yang istiqamah. dan ketika hati subur ditarbiyyah, aku mampu tersenyum dalam solakut, tersenyum mengiyakan setiap bait-bait ayat al-quran yang dituturkan. aku asyik dalam sujudku, rasa rendah dalam ruku’ku, tawaduk dalam toma’ninahku. dan aku sedar, aku manusia, adakalanya futur, adakalanya subur. ternyata iman itu perlu dibaja,bukan dibiar.

pandangan mata mungkin akan selalu menipu, pandangan akal mungkin juga akan selalu tersalah, pandangan nafsu pula selalu melulu, tetapi pandangan dari hati yang bersih itulah yang hakiki mintalah fatwa daripada naluri hati, mintalah pandangan dari ALLAH untuk melalui dan mengharungi kehidupan yang tidak semudah yang disangkakan, dan tidak selancar yang diharapkan.

Hasbunallah wani'mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar).
Surah Ali `Imran (3): 173
Di negeri Babilonia hidup seorang raja yang sangat zalim. Namrud bin Kan’an bin Kusy, namanya. Seturut catatan sejarah, Namrud dan segenap rakyatnya adalah para penyembah patung. Konon, dalam lingkungan sosial seperti inilah Nabi Ibrahim `alaihi salaam lahir dan tumbuh dewasa. Tak aneh bila ayahanda Ibrahim sendiri pun seorang penyembah berhala sejati. Kendati demikian, Ibrahim sendiri bukanlah sosok yang mudah manut dengan keadaan yang menyesatkan. Ia bukanlah tipikal anak yang takluk pada kehendak semena-mena orang tua. Di matanya, kebiasaan ayah dan rakyat Babilonia menjadikan benda mati sebagai Tuhan itu jelas-jelas sebuah kedunguan. Sesuatu yang tidak logis. Irasional, tak masuk akal. Maka ia pun berontak. Ia bertekad menghancurkan patung-patung sesembahan rakyat Babilonia tersebut. Dengan sebilah kapak tajam yang terhunus di tangannya, ia merangsek masuk ke tempat dimana berhala-berhala itu dipancangkan. Sejurus kemudian kapak Ibrahim telah berayun-ayun, melesat-lesat, menghantam patung-patung itu. Semua roboh, hancur berkeping-keping, kecuali satu patung yang paling besar. Di patung besar itulah, Ibrahim mengalungkan kapak sebagai sebuah taktik jitu menguji keyakinan rakyat Babilonia.

Keesokan harinya ketika rakyat Babilonia hendak beribadah, semua tiba-tiba histeris dan terperanjat bukan kepalang melihat tuhan-tuhan mereka telah roboh dan hancur. Mereka kalap, marah dan langsung menyelidiki siapa gerangan pelakunya. Setelah mengorek informasi ke sana sini, sosok Ibrahim pun terkuak sebagai tersangka. Ia pun disidang di pengadilan babilonia. Kepada para hakim Ibrahim berkilah. Ia tidak mengakui bahwa tindakan anarki itu perbuatannya. Ia berdalih bahwa patung yang paling besar itulah yang berbuat: “Bukankah kapak itu tergantung di lehernya? Tanyalah padanya!” mereka tercengang dan meradang atas jawaban Ibrahim. “Mana bisa patung itu bicara?” jawab mereka kesal. Akhirnya Ibrahim berkata kembali: “Tidak bisa? Lalu kenapa kalian menyembahnya? Setan telah memperdaya kalian. Kembalilah kepada Allah! Dialah Tuhan Yang Maha Esa.” Namun orang-orang yang sesat memang tidak mau mengakui kekalahannya. Akhirnya, para hakim tetap memutuskan vonis mati Ibrahim dengan cara membakarnya hidup-hidup. Kita tahu, akhirnya, Ibrahim pun tak bisa melawan. Ia rela raganya dijilati api, tapi ia tidak ridho jiwanya terlalap si jago merah. Maka Ibrahim pun berpasrah diri. Pada detik-detik genting inilah, mulutnya dan hatinya basah oleh lafal ‘hasbunallah wa ni’mal wakil’ (cukup Allah sebagai penolongku, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Dan Allah mendengar doa lirih Ibrahim, hingga satu firman pun turun: “Hai api, jadilah dingin! Jadilah keselamatan bagi Ibrahim!” dan api itu akhirnya tak mampu melahap tubuh Ibrahim. Ia selamat. Ia menumpas segala kegundahannya bersama kekuatan Illahi yang bersemayam di qolbunya.

Ibrahim tak sendiri. Junjungan kita, Rasulullah sollallahu `alahi wasallam, pun mendedahkan doa senada tatkala sebagian tentaranya bersikap setengah hati menghadapi pasukan musyrik yang senjata dan bekal perangnya lebih bayak. Ternyata kata hasbunallah wa ni’mal wakil yang ditutur Rasul Muhammad sollallahu `alaihi wasallam itu langsung menepis rasa takut pasukannya sehingga mereka mengucap hal yang serupa dan iman mereka pun kian berkembang.

Kehidupan ini mempunyai seribu satu erti dan makna. Dalamnya ada mengandungi pelbagai pelajaran bagi mereka yang ingin mengambil pelajaran daripadanya. Kehidupan ini tidak semudah yang disangka oleh golongan yang sambil-lewa dan tidak sesusah yang disangka oleh golongan yang tamak dan bergantung kepada dirinya semata-mata.

Hidup ini suatu lapangan, tempat di mana Allah s.w.t. menyempurnakan kehambaan para hambaNya yang ingin menyempurnakan kehambaan diri mereka kepadaNya. Hidup ini suatu peluang, tempoh untuk para hambaNya menzahirkan rasa kesyukuran, kesabaran dan keredhaan kepadaNya, yang merupakan antara ciri-ciri kehambaan kepadaNya.

Manusia yang leka daripada hakikat dirinya yang sekadar seorang hamba kepada Tuhannya, secara tidak langsung akan menghadapi kesulitan dalam berinteraksi dengan kehidupan itu sendiri. Ini kerana, apa yang dicari hanyalah kepuasan nafsu diri, kelazatan yang memberi manfaat kepada kepentingan diri sendiri, tanpa menghayati makna kehidupannya yang lebih sempurna, iaitu dirinya hidup sebagai hamba kepada Tuhan yang menciptakannya daripada tiada kepada ada, iaitulah Allah s.w.t. yang Maha Pencinta.

Seseorang yang hidup semata-mata untuk kepuasan nafsu dan kepentingan diri, kerana tidak menghayati hakikat kehambaan diri, pasti tersalah dalam berinteraksi dengan kehidupan ini, sehingga membawa kepada terasa terbeban dengan sebuah kehidupan yang sementara ini. Apa yang dikejar selalunya tidak dapat. Apa yang didapatinya juga tidak akan kekal bersamanya setelah dia mati. Di mana nilai sebuah kehidupan bagi manusia yang semacam ini?

Bagi seseorang manusia yang menghayati makna kehambaan diri kepada Tuhannya, pasti akan memahami kehidupan ini dengan maknanya yang lebih luas dan sempurna. Kebendaan dan duniawi tidak lagi berkuasa menawan kebahagiaan dan kelapangan hati dan jiwanya. Dia tahu, hidup ini ialah untuk menterjemahkan makna kehambaan diri kepada Allah s.w.t. dengan menunaikan ketaatan kepadaNya secara zahir mahupun batin.

Bertolak daripada itulah, akhirnya seseorang mula memahami bahawasanya, seluruh kehidupan ini, samada berkaitan dengan ketentuanNya mahupun penetapan hukum-hakamNya, merupakan penzahiran "interaksi" Tuhannya kepadanya. Seseorang hamba yang sentiasa menghadirkan rasa kehambaan diri kepadaNya dalam segenap tindakannya dalam kehidupannya, akan turut merasai kehadiran muamalah (interaksi) Tuhannya kepadanya melalui segala yang berlaku dalam kehidupannya.

Bermula dengan menunaikan ketetapan syariat dan hukum Allah s.w.t. dalam kehidupannya, maka penghayatan terhadap makna syariat yang dilaksanakannya dengan jiwa hamba mula bersinar dalam hatinya. Dia mula melihat hakikat di sebalik syariat dengan pandangan zauqi (perasaan rohani) kurniaan Ilahi. Dia mula menghayati bahawasanya, syariat ialah bukti kewujudan dan kehendak Tuhan yang menciptakan dan mentadbirnya dan seluruh alam ini.

Bertolak daripada itu juga, takkala dia menunaikan ketaatan batin (hati) kepada Tuhannya, dengan sifat-sifat mahmudah seperti ikhlas, jujur, tawadhuk, istiqomah, sabar, syukur, redha dan sebagainya, maka dia mula mengenali hakikat ketentuan Allah s.w.t. dalam segenap kehidupannya.

Apabila dia ditimpa sesuatu yang berat terasa oleh nafsu dan dirinya, maka di situlah peranan seseorang hamba dalam menzahirkan kehambaannya kepadaNya dengan melahirkan sifat "sabar" terhadap ketentuanNya yang menimpanya tersebut. Dia juga menzahirkan rasa lemah di hadapan Allah s.w.t. dengan mengembalikan ketentuanNya kepadaNya, dengan mengadu masalah yang menimpanya kepada Allah s.w.t. yang mengujinya dengan ketentuan tersebut, dalam rangka semata-mata untuk menagih keredhaan dan bantuanNya.

Seseorang hamba yang mengadu masalahnya kepada Allah s.w.t. dalam rangka untuk menzahirkan kelemahan dirinya kepadaNya berbeza dengan seseorang yang mengadu kepada Allah s.w.t. akan masalahnya dalam bentuk membangkang ketentuanNya.

Adapun seorang hamba yang mengadu masalahnya kepada Allah s.w.t. dalam rangka untuk menzahirkan kelemahan diri kepadaNya, tujuannya hanyalah untuk menzahirkan hakikat diri yang "lemah" dan sentiasa memerlukan bantuanNya dalam menghadapi ketetapanNya, sedangkan orang yang merungut di hadapan Allah s.w.t. mengenai ketentuanNya ke atasnya bertujuan untuk menzahirkan rasa tidak puas hatinya terhadap ketentuanNya yang tidak mengikut kehendak dan keinginan nafsu dirinya.

Mengadu dengan tujuan menzahirkan rasa lemah kepada Allah s.w.t. tidak mengandungi unsur mempertikaikan ketentuan Allah s.w.t., tetapi sekadar memohon rahmat dan bantuan Allah s.w.t. agar dia mampu menghadapi ketentuanNya dengan bantuanNya. Adapun orang yang merungut kepada Allah s.w.t. membawa maksud mempertikaikan ketentuan Allah s.w.t. dan terkadang boleh membawa kepada menyalahkan Allah s.w.t., seolah-olah dia lebih pandai dari Allah s.w.t.. Berbeza antara menzahirkan rasa lemah dengan menzahirkan kepandaian diri di hadapan Allah s.w.t..

Oleh kerana itu, Imam Abu Al-Hasan As-Syazuli yang menghayati makna kehambaan ini mengungkapkan ungkapan penuh adab di hadapan Allah s.w.t. dengan berdoa (dalam hizb al-kabir):

"Wahai Tuhanku. Aku tidak memohon agar tertegahnya apa yang Engkau mahu tentukan ke atasku. Tetapi, aku memohon sokonganMu (kepadaku) dengan bantuanMu kepadaku dalam setiap ketentuanMu ke atasku"

Nilai kehambaan ini juga pernah diungkapkan oleh Saidina Rasulullah s.a.w. dalam doa Baginda s.a.w. ketika di Thaif dengan berdoa:

"Wahai Tuhanku, aku mengadu kepadaMu akan lemahnya diriku…".

Nilai-nilai mengadu dalam rangka meminta bantuan daripadaNya dan menzahirkan kelemahan diri dan keperluan kepadaNya merupakan antara nilai kehambaan yang tertinggi dalam diri seseorang hamba kepada Tuhannya.

Oleh yang demikian, hamba yang beradab dengan adab kehambaan tersebut mula menzahirkan rasa memerlukannya dan bersabar dalam rangka untuk membuktikan kehambaan diri kepadaNya dengan sentiasa mengharapkan bantuan daripadaNya.

Adapun takkala dia ditimpa sesuatu yang menyenangkan diri dan nafsunya, samada kesenangan dalam bentuk kebendaan, rezeki, jodoh dan sebagainya, maka dia akan menzahirkan rasa kesyukuran kepadaNya dengan mengembalikan segala kebaikan yang didapatinya kepada Allah s.w.t., bukan menyandarkan kebaikan tersebut kepada usaha dirinya sendiri.

Inilah nilai kehambaan yang agung dalam diri seseorang manusia, di mana dia sentiasa berasa menghargai setiap kebaikan dalam kehidupannya kerana menghayati bahawa semua kebaikan adalah daripada Allah s.w.t., Tuhan yang Maha Pemurah.

Dengan rasa syukur tersebut, maka Allah s.w.t. menganugerahkan makrifatuLlah (mengenal Allah s.w.t.) kepadanya, dan menganungerahkan kefahaman tentang rahsia-rahsia muamalah Allah s.w.t. dalam segenap kehidupannya. Inilah kelebihan daripada sifat syukur yang dijanjikan oleh Allah s.w.t. yang berfirman dengan maksud: "jika kamu bersyukur, Aku akan tambah buatmu akan nikmat"… Penambahan nikmat yang agung adalah, kefahaman tentang hakikat diri, hakikat kehidupan dan hakikat ketuhanan Allah s.w.t. dalam kehidupannya seharian.

Hidup ini ialah tempat bemualamah secara beradab. Bagaimana seseorang ingin beradab dalam bermuamalah dengan Allah s.w.t. melalui kehidupannya, sedangkan dia tidak mengenal hakikat dirinya sebagai hamba Allah s.w.t. yang perlu beradab kepadaNya, tidak mengenali hakikat kehidupan yang merupakan tempat menzahirkan adab kepada Allah s.w.t. dalam berinteraksi kepadaNya dan tidak mengenali Allah s.w.t., Tuhan yang ingin menyempurnakan adab kehambaannya melalui kehidupannya?

Dalam hidup ini terkandung risalah-risalah Allah s.w.t. dalam segenap detik dalam kehidupan kita, jika hati kita sentiasa hadir dalam bermuamalah denganNya dengan adab kehambaan kepadaNya. Sabar dan syukur merupakan dua sayap utama bagi kerohanian seseorang hamba dalam menuju keredhaanNya. Setelah seseorang mencapai istiqomah dalam sabar dan syukur dalam segenap kehidpannya terhadap setiap ketentuanNya dengan bantuan Allah s.w.t., maka dia akan dianugerahkan rasa redha kepada Allah s.w.t. dalam setiap ketentuanNya.

Pada darjat "redha" inilah, seseorang manusia tidak lagi merasai beza antara ketentuan dengan ketentuan, tiada merasai susah ataupun senang, kerana hatinya sentiasa fokus kepada mencari keredhaan Allah s.w.t. di sebalik setiap ketentuanNya, dan menghadapi setiap ketentuanNya dengan pandangan redha kepada Allah s.w.t.. Sesungguhnya, redha kepada Allah s.w.t. ini merupakan darjat yang teragung yang dicapai oleh seseorang hamba Allah, kerana seseorang tidak akan meredhai Allah s.w.t. melainkan setelahmana Allah s.w.t. meredhainya dan berkehendak supaya dia juga meredhaiNya.

Kehidupan ini sebuah perjalanan dalam muamalah kehambaan seseorang hamba dengan Tuhannya. Nilai kehidupan adalah pada penghayatan seseorang terhadap makna kehambaan dirinya dalam kehidupannya, makna kehidupannya selaku hamba kepada Tuhannya dan makna ketuhanan Allah s.w.t. dalam kehidupannya selaku hambaNya. Tanpa makna-makna tersebut, kehidupan tiada erti bagi seseorang manusia. Hidup tanpa "makna", yang tinggal hanyalah "makan". Makan, minum, tidur dan sebagainya, dalam rangka memenuhi nafsu di sekitar usianya yang semakin menuju kesudahan. Akhirnya, dia di sisi Allah s.w.t. bagaikan binatang, bahkan lebih sesat dan rendah daripada binatang, kerana tidak menghargai nilai kehidupannya sebagai manusia yang penuh dengan makna-makna yang mulia.

Masalah kemurungan, kesedihan, penderitaan dan rasa malang manusia sebenarnya bukanlah kerana gagal menanggung ketentuan Allah s.w.t., tetapi masalah-masalah tersebut kembali kepada "tidak memahami makna di sebalik ketentuanNya" lalu membawa kepada kegagalan dalam berinteraksi dengan ketentuanNya sebagaimana yang sepatutnya. Tanpa menghayati makna kehambaan diri, makna kehidupan yang merupakan medan menyempurnakan kehambaan dan makna ketuhanan Allah s.w.t. dalam kehidupan, maka seseorang akan mencari kebahagiaan yang bukan sebenarnya suatu kebahagiaan, akhirnya dia terus menderita dan menderita dalam rangka untuk mencari kebahagiaan menurut persepsinya.

Kebahagiaan bukan pada kepuasan nafsu, tetapi pada terealisasinya kehambaan diri kepada Allah s.w.t.. Kekayaan itu ialah kekayaan jiwa, seperti yang diberitahu oleh Baginda s.a.w. yang mulia. Hidup ini bukan tempat setiap orang cari apa yang dia mahukan, tetapi hidup ini ialah tempat setiap orang menunaikan tujuan asal dirinya diciptakan. Kalau mahu terus mencari makna kebahagiaan selain makna yang diingini oleh Tuhan, maka setiap langkahmu dalam mencarinya adalah suatu penderitaan. Akhirnya, yang kamu himpunkan hanyalah penderitaan demi penderitaan.

Wallahu a'lam…

Al-Faqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Qadir

Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin Al-Razi

;;

**Tv online**