Umat Islam di seluruh dunia, serentak melaksanakan Idul Adha 1430H pada Jumat (27/11). Gema takbir bergema selama tiga hari berturut-turut. Ritual suci ini berulang setiap tahunnya, tentu dengan harapan ada makna yang didapat dari perhelatan akbar tersebut. Idul Adha yang identik dengan ritual kurban, pada hakikatnya mengajarkan manusia untuk kembali kepada sifat dasar mereka sebagai makhluk sosial. Manusia tidak patut mengorbankan manusia lainnya dengan alasan apapun, termasuk untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan. Manusia merupakan makhluk mulia yang mesti dipandang dan diperlakukan secara manusiawi pula.
Praktek-praktek yang mengarah kepada upaya mengorbankan manusia yang selama ini masih berjalan, sudah saatnya dihentikan oleh pelaku-pelaku politik di tanah air, praktek-praktek tersebut hanya mengarahkan kita kembali kepada perilaku primitif bangsa-bangsa kuno dalam lintasan sejarah manusia. Kurban mengingatkan manusia bahwa pengaruh hawa nafsu, ambisi, iri dan dengki mudah menjerumuskan manusia kepada perbuatan yang tercela dan dapat mencelakakan manusia lainnya.
Semangat kurban hendaknya mampu merekat kembali ikatan sosial manusia yang selama ini mungkin renggang karena kesibukan mencari kekayaan duniawi, perbedaan bendera dan baju politik atau ambisi kekuasaan duniawi. Ibadah kurban hendaknya kita menyadari bahwa manusia juga perlu mengorbankan kepentingan pribadi atau golongan demi kepentingan yang lebih besar untuk bangsa dan negara. Begitu juga dengan momentum kurban kali ini, hendaknya tetap terjaga hakikat dan tujuan universal dari makna kurban itu sendiri.
Ritual haji dan kurban setiap tahunnya berulang, seharusnya dari sekian kali manusia mengikuti prosesi ini ada perubahan sosial yang signifikan dalam kehidupan nyata sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial. Namun, kenyataannya belum mengatakan demikian, hakikat kurban dan hikmah dari prosesi haji yang sering diceramahkan para teungku di meunasah-meunasah di negeri ini hanya sebatas rutinitas tanpa bekas.
Tentu, kurban kali ini pun demikian. Sejatinya, akan meninggalkan bekas bagi umat yang merayakan Idul Adha dan menunaikan ibadah kurban. Apalagi, dalam kontek Aceh yang baru saja keluar dari kemelut sosial panjang sudah sangat diharapkan momentum ini membekas hingga tahun-tahun berikutnya.
Jika ini terjadi, mental mengemis, mental mereka yang selalu menengadah tangan di bawah tidak akan nampak di jalan-jalan di kota ini. Sebab, seperti di awal tadi, kurban selayaknya tidak mengorbankan anak bangsa lainnya, kurban tidak mengorbankan hak anak bangsa untuk mendapati hidup layak seperti mereka yang mampu berkurban. Kurban, seharusnya memberi pelajaran bagi para pejabat di negeri ini agar tidak mengorbankan hak rakyat dengan menukar kebijakan yang dapat menjual hak hidup rakyat di negeri ini.
Kembali ke momentum Idul Adha dan kurban yang disembelih mereka yang menunaikannnya, semoga prosesi itu tetap menguatkan masing-masing diri untuk tetap peduli dan mengingatkan para petinggi di negeri ini untuk tidak sewenang-wenang mengorbankan kepentingan rakyat hanya untuk kepentingan pribadi.
Praktek-praktek yang mengarah kepada upaya mengorbankan manusia yang selama ini masih berjalan, sudah saatnya dihentikan oleh pelaku-pelaku politik di tanah air, praktek-praktek tersebut hanya mengarahkan kita kembali kepada perilaku primitif bangsa-bangsa kuno dalam lintasan sejarah manusia. Kurban mengingatkan manusia bahwa pengaruh hawa nafsu, ambisi, iri dan dengki mudah menjerumuskan manusia kepada perbuatan yang tercela dan dapat mencelakakan manusia lainnya.
Semangat kurban hendaknya mampu merekat kembali ikatan sosial manusia yang selama ini mungkin renggang karena kesibukan mencari kekayaan duniawi, perbedaan bendera dan baju politik atau ambisi kekuasaan duniawi. Ibadah kurban hendaknya kita menyadari bahwa manusia juga perlu mengorbankan kepentingan pribadi atau golongan demi kepentingan yang lebih besar untuk bangsa dan negara. Begitu juga dengan momentum kurban kali ini, hendaknya tetap terjaga hakikat dan tujuan universal dari makna kurban itu sendiri.
Ritual haji dan kurban setiap tahunnya berulang, seharusnya dari sekian kali manusia mengikuti prosesi ini ada perubahan sosial yang signifikan dalam kehidupan nyata sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial. Namun, kenyataannya belum mengatakan demikian, hakikat kurban dan hikmah dari prosesi haji yang sering diceramahkan para teungku di meunasah-meunasah di negeri ini hanya sebatas rutinitas tanpa bekas.
Tentu, kurban kali ini pun demikian. Sejatinya, akan meninggalkan bekas bagi umat yang merayakan Idul Adha dan menunaikan ibadah kurban. Apalagi, dalam kontek Aceh yang baru saja keluar dari kemelut sosial panjang sudah sangat diharapkan momentum ini membekas hingga tahun-tahun berikutnya.
Jika ini terjadi, mental mengemis, mental mereka yang selalu menengadah tangan di bawah tidak akan nampak di jalan-jalan di kota ini. Sebab, seperti di awal tadi, kurban selayaknya tidak mengorbankan anak bangsa lainnya, kurban tidak mengorbankan hak anak bangsa untuk mendapati hidup layak seperti mereka yang mampu berkurban. Kurban, seharusnya memberi pelajaran bagi para pejabat di negeri ini agar tidak mengorbankan hak rakyat dengan menukar kebijakan yang dapat menjual hak hidup rakyat di negeri ini.
Kembali ke momentum Idul Adha dan kurban yang disembelih mereka yang menunaikannnya, semoga prosesi itu tetap menguatkan masing-masing diri untuk tetap peduli dan mengingatkan para petinggi di negeri ini untuk tidak sewenang-wenang mengorbankan kepentingan rakyat hanya untuk kepentingan pribadi.
Subscribe to:
Kommentarer til indlægget (Atom)
|
0 kommentarer:
Send en kommentar