KITA kembali menyambut tahun baru Hijrah. Tampaknya tak banyak yang peduli. Menyambutnya pun tak semeriah seperti tahun baru Masehi yang pakai pawai atau terompet. Boleh jadi ini fenomena atas makin lunturnya semangat keagamaan kita. Fenomena tersebut agaknya perlu kita baca, konon lagi adanya tekad masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Jangan seperti hadih maja; “lagee Kelede ba kitab (seperti keledai membawa kitab)”, yaitu melakukan sesuatu tapi tak tahu manfaatnya. Maksudnya, kita beragama bukan sebatas keyakinan, akan tetapi haruslah diaplikasi dalam kehidupan keseharian secara lahir batin. Diharapkan, terjadi perubahan dan perbaikan signifikan di Aceh. Jika tidak, filofosi “hijrah” sebagaimana pesan Rasul saw akan kehilangan maknanya.

Hijriah atau “berpindah”, bukan dalam makna literal, tapi harus dipahami secara transendental--berpindah dari perilaku buruk kepada kebaikan. Artinya, kalau selama ini kita senang dhalim, hobbi korupsi, sudah saatnya kita mengekang syahwat buruk itu. Jangan seperti itu diungkap hadih maja Aceh, //Paleh raja geuboh keurajeuen/ paleh ureueng jiboh bangsa/ paleh utoh jiboh seunipat/ paleh teungku geuboh kitab//. Sebab jika sifat ini sudah merasuki, apalagi menjadi budaya, maka tunggulah kehancuran.

Peringatan tahun seperti hijrah, sesungguhnya penanda bagi perjalanan kehidupan agar manusia melakukan perbaikan. Ini ditegaskan Rasul saw, “hijrah yang paling baik adalah hijrah dari perbuatan kurang baik, tercela atau dosa.” Berpindah dari kehidupan jahiliyah kearah kehidupan Islami. Berpindah dari sifat-sifat munafik, plin-plan, menjadi istiqamah, berkomitmen pada nilai kebenaran dan meninggalkan kebatilan.

Berhijrah juga dimaknai dengan meninggalkan perbuatan, makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup halalan thayyiba. Meninggalkan maksiat menuju taat hanya kepada Allah swt. Meninggalkan kedengkian, tinggalkan korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, kesia-siaan dan kebiasaan hidup menjadi beban, dan meninggalkan kebohongan. Jadi, kata kunci dari hijrah adalah perubahan segala hal.

Moment tahun baru Islam 1431 H yang jatuh pada tanggal 18 Desember 2009 ini harus dimaknai dalam spirit perubahan itu. Ini penting, mengingat realitas politik, ekonomi, dan sosial-keagamaan selama ini tidak begitu menggembirakan. Maka tidak boleh tidak, harus berpijak pada kondisi yang menjadi problem tersebut. Seperti persoalan korupsi, kesehatan, moral pendidikan, dan kemiskinan krisis kepemimpinan serta disorientasi arah pembangunan, semua itu telah mendorong bangsa ini menuju kubangan krisis multidimensional. Oleh karena itu mesti menjadi agenda terutama masyarakat Aceh yang sedang “bermimpi” mewujudkan Aceh baru, maju dan bermartabat.

Marilah kita berhijrah secara spiritual kepada yang lebih baik, sambil mendoakan orang-orang tercinta, baik yang telah pergi bersama gelombang raya (smong), maupun mereka yang masih terlunta-lunta. Rakyat Aceh yang letih, pilu, bingung, bahkan putus asa, mendengar dan menyaksikan para penguasa dan elit mengeksploitasinya dengan mudah melupakan janji manisnya.

Mari juga doakan semoga para petinggi di negeri ini menyadari, bahwa gaji mereka adalah harga ribuan jenazah orang yang kita cintai yang hilang atau terkubur di relung-relung laut atau terkapar dalam desing peluru konflik Aceh. Mendoakan agar elit menyadari bahwa kedudukan dan kekayaan yang sedang mereka nikmati adalah harga airmata para janda, anak yatim yang tersebar di bmi Aceh. Marilah untuk memenuhi janji sebelum sejarah dan Tuhan menagihnya.

Kurban dan Puasa

Pengasuh Prof.Dr. Tgk Muslim Ibrahim, MA
Konsultasi Agama Islam
Pertanyaan
Ustadz Pengasuh KAI yang saya hormati,
Assalamu’alaiku wr. wb.

Bersama ini kami, saya seorang kawan ingin menanyakan sebagai berikut: (1) Apa hukumnya berpuasa pada hari Arafat? Dan apa fadhilah puasa tersebut? (2) Apakah orang muslim yang kaya boleh tidak menyembelih kurban? (3) Bagaimana cara membagi-bagikan daging kurban? Demikian dan atas kesediaan ustadz menjawab, saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalam dari saya,
Nahrawi dkk, Aceh Tenggara.

Jawab
Yth sdra Nahrawi dkk yang mulia,
Waalaikumussalam, wr. wb.

Mencermati pertanyaan saudari dkk, secara singkat pengasuh jawab sebagai berikut: Pertama, hari Arafat hari yang paling afdhal dalam masa satu tahun untuk kita berpuasa. Sebuah’ hadits menuturkan, bahwa Rasulullah saw telah menyatakan:

Dengan berpuasa pada hari Arafat aku mengharap Allah swt akan berkenan menghapus dosa selama dua tahun (yang lalu).” Dari itu maka jelaslah, bahwa puasa pada hari Arafat fadhilah-nya amat besar, sama besarnya dengan fadhilah hari itu sendiri.

Sebagaimana diketahui juga, hari Arafat adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Hari semua jemaah calon haji berkumpul wuquf di Arafah, semuanya dalam pakaian yang sama yaitu pakaian ihram. Setiap muslim yang tidak berhaji, sebaiknya berpuasa atau paling kutang berniat puasa pada hari itu, jika ia tidak sanggup berpuasa.

Karena semua kita pasti mempunyai dosa, keburukan, kelengahan, kesalahan dan kekurangan. Sebagai manusia, itu pasti ada. Pada hari itu kita diberi kelonggaran untuk membersihkan diri, guna memutihkan” lembaran hidup kelak di hadapan Allah swt. Minimalnya dosa-dosa kecil selama dua tahun sudah hapus, sesuai hadits di atas. Jadi salah satu perbuatan terbaik dilakukan oleh kita yang tidak berhaji adalah pada hari itu adalah puasa, berzikir, bertasbih, berdo’a dan sebagainya.

Berqurban, yaitu menyembelih binatang ternak untuk kurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan) hukumnya. Demikian menurut sebagian besar para ulama ahli Fiqh dan sebagian besar madzhab. Namun menurut madzhab Imam Hanafi hukumnya adalah wajib. Tapi wajib menurut beliau adalah lebih ringan daripada “fardhu”, tetapi lebih berat dibanding dengan “sunnah”. Tegasnya adalah, kedudukan hukum wajib berada di bawah fardhu dan di atas sunnah, jadi pas persis samalah dengan pendapat ulama yang lain, yaitu sunat muakkad.

Kedua, orang kaya atau berkecukupan jika tidak melaksanakan qurban pada Idul Adhha adalah orang yang telah menyia-nyiakan peluang untuk mendapatkan fahala yang banyak, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dimana Rasulullah saw bersabda:”Barangsiapa berkecukupan dan ia tidak menyembelih kurban maka janganlah ia mendekati mushalla (masjid) kita!t Hadis lain menuturkan bahwa ketika Rasulullah saw ditanya mengenai penyembelihan kurban, beliau menjawab: “Qurban adalah sunnah ayah (leluhur) kalian, yaitu Nabi Ibrahim (a.s.)

Ketiga, menurut sunnah pembagian daging kurban adalah: Sepertiga untuk pengqurban bersama keluarganya, sepertiga untuk tetangganya dan sepertiga lagi adalah untuk kaum fakir miskin. Bila ia hendak menyedekahkan seluruhnya, itu lebih sempurna dan lebih afdhal tentunya. Dalam ini, lebih baik ia juga makan sedikit untuk ber-tabarruk, yaitu meraih berkah dari Allah swt yang telah mensyariatkan penyembelihan kurban pada hari Idul-Adha.

Penyembelihan hendaknya dilakukan pada pagi hari Idul Adha, setelah usai shalat Id. Dan boleh juga ditangguhkan pada hari ke 11, 12 atau 13 Dzulhijjah, yaitu hari-hari yang dikenal dengan hari tasyriq. Untuk hari hari tasyriq ini penyembelihan kurban dapat dilakukan pada waktu pagi, siang atau pada malam hari. Perlu kita camkan bersama, bila penyembelihan dilakukan sebelum shalat ‘ied, dengan alasan apapun, seperti sukar mencari tukang potong (jagal) dan sebagainya, maka yang disembelih itu tidak menjadi qurban. Karena qurban adalah ibadah dalam bertaqarrub kepada Allah yang ditentukan waktu pelaksanaannya harus setelah shalat iedul Adha.

Akhirnya, kepada semua pencinta ruangan Konsultasi Agama Islam dan pembaca Harian Serambi Indonesia, dari meja Pengasuh, mengucapkan Selamat ‘Idul Qurban 1430 H, semoga amal ibadah kita semuanya diterima oleh Allah SWT dan semua dosa kita diampuni. Amin ya Rabbal ‘Alamiin. Maaf dosa lahir dan batin, Wallahu A’lamu Bishshawaab.

Kata Hikmah

Keredhaan Allah lebih indah daripada permata, lebih terang daripada sinaran matahari dan lebih jernih daripada serpihan kaca.

Ya Tuhanku. Dalam perjalanan langkah yang belum terhenti ini. Jalan selangkah yang lalu, penuh dosa dan noda.. Bersilih ganti, antara godaan dan keinsafan. Layakkah aku dalam rahmat-Mu..dibawah lembayung rahmat-Mu. Walau seringkali godaan yang memburu. Seringkali itu juga seribu keinsafan berbisik dihati. Wahai Tuhanku, ku merayu dimalam hari. Menagih ampunan dan kasih sayangMu. Wahai Tuhanku, rayuanku, terimalah daku kembali.. Sebagai hambaMU yang dalam lindunganMU setiap saat masa yang berlalu. Walau seribu yang memberikanku kasih, tidak kan sama kasihsayangMu Ya Rabbi. Ya Allah, dengarlah rayuanku sayup-sayup berbisik dimalam yang hening. Bertemankan cahaya bulan, sinaran bintang yang memancar. Mengharapkan doaku bertaut dalam restuMu. Wahai Tuhanku..pencipta kasih sayang. Yang memiliki setiap hati. Kasih sayang yang luhur buat hambaMu. Ya Rahman. Ya Rahim, kusedari cinta manusia cuma setitis dari selautan cintaMU Ya Rahman. Rayuanku, janganlah kasih yang setitis didalam hati ini. Melalaikan daku dari mengingatiMU. Pautkanlah daku pada cinta dan rahmatMu agar daku tidak tenggelam dengan fitnah dan mehnah duniawi. Ampunilah dosa-dosaku Ya Allah...

Perasaan ialah garam kehidupan,dengan perasaan manusia merenung,mencari ketenangan dalam pergolakan, kelihatan bahagia dalam sengsara dan jernih masa depan dalam kekeruhan yang ada sekarang. Imbangan nada tinggi, melengking dengan nada rendah mengendur, itulah muzik kehidupan- HAMKA.

"Ya Tuhanku, malam hanya terasa indah apabila berbisik kepada-MU, siang hanya terasa indah apabila mematuhi-Mu. Tiada kelazatan dunia kecuali berzikir kepada-MU. Dan akhirat tidak terasa indah kecuali dengan beroleh kemaafan dari-Mu. Juga syurga tidak terasa indah kecuali dapat melihat-MU
(Bisikan munajat Yahya b. Muaz Ar-Razi)

"Kata-kata yang baik itu adalah sedekah"-(Hadith Nabi)

“Wahai Tuhan, Alangkah gembiranya daku. Tuhan? Engkaulah cita2ku, harapanku, Kasih sayangku, bekalanku dan matlamatku. Engkaulah cahaya hatiku. Engkaulah harapanku. Ya Tuhan, jika bukan kerana-Mu, aku tidak pernah bersusah payah di dunia ini. Betapa banyak pemberian-Mu kepadaku, betapa luas nikmat-Mu untukku. Cinta-Mu, kasih sayang-Mu adalah harapan, kesenangan serta pujianku. Selama hidupku aku tidak mahu lepas dari-Mu. Engkau telah mendarah daging di tubuhku. Alangkah senangnya hatiku, jika aku tahu Engkau telah meredhaiku?
"Tuhanku, tenggelamkanlah diriku kedalam samudera keikhlasan mencintai-Mu,sehingga tidak ada sesuatu yang menyibukkanku kecuali berzikir kepada-Mu?
(Munajat sufi Rabiatul Adawiyah)

“Pelajarilah Ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah khasyah, Menuntutnya adalah ibadah, mempelajarinya adalah Tasbih, mencarinya adalah Jihad, Mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui adalah Shadaqah, menyerahkan kepada ahlinya adalah Taqarrub. Ilmu adalah teman dekat dalam kesendirian dan sahabat dalam kesunyian.?
(Muadz bin Jabal Radhiyyallahuanhu)

HARI Raya Aidiladha dan ibadah korban tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan oleh Allah SWT supaya mengorbankan puteranya, Nabi Ismail a.s.

Sayangnya, peristiwa agung ini sekadar dilihat dari sudut sejarahnya semata-mata. Sebab itulah, acap kali tibanya Aidiladha, segelintir masyarakat Islam di negara ini meletakkan perayaan ini setaraf dengan hari-hari cuti biasa. Berbeza dengan sambutan Hari Raya Aidilfitri, yang disambut selama sebulan.

Adakah ini menunjukkan penghayatan terhadap pengertian dan pengajaran di sebalik Aidiladha itu sudah semakin terhakis dalam masyarakat kita? Jika ya, bagaimanakah seharusnya peristiwa tersohor ini dihayati pengajarannya sesuai dengan senario kehidupan sekarang.

Mengakui keperluan mendesak bagi menyemarakkan ibadah korban, Pengetua Kompleks Anak Yatim Darul Kifayah, Faridilatras Abd. Rahman berkata, sememangnya ibadah korban dan sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s dan anaknya Nabi Ismail a.s tidak dapat dipisahkan.

"Sebenarnya Allah SWT menjadikan Hari Raya Haji sebagai salah satu syiar agama-Nya. Dalam istilah syarak, hari ini yang juga dikenali sebagai Hari Raya Aidiladha yang bererti perayaan penyembelihan korban.

"Oleh itu, jika kita benar-benar memahami sejarah berlakunya ibadah korban serta menghayati kisah Habil dan Qabil, maka ia akan mendidik jiwa sosial yang tinggi atau dalam erti kata lain, peka terhadap sosio-ekonomi dalam masyarakat," katanya dalam pertemuan dengan Mega, baru-baru ini.

Ibadah korban juga dapat melatih dan mendidik individu Muslim itu untuk bersikap dermawan.

Ini kerana Islam menyuruh agar daging sembelihan korban itu disedekahkan dan diagihkan kepada fakir miskin, di samping orang yang berkorban juga harus hukumnya memakan sebahagian kecil daripada daging tersebut.

Menurutnya lagi, perkara ini jelas menunjukkan bahawa Islam mengambil berat masalah yang dihadapi oleh golongan yang kurang bernasib baik.

"Begitu juga dengan kewajipan berzakat, disunatkan sedekah dan digalakkan penyembelihan korban, di mana menunjukkan agama Islam mengajar umatnya sentiasa menjauhi sistem ekonomi liberal yang menimbulkan jurang pemisah antara golongan miskin dan kaya.

"Sebaliknya Islam menggalakkan kesamaan ekonomi, kesamarataan kekayaan dan perkongsian kemakmuran," jelasnya.

Hakikatnya terang Faradilatras, Aidiladha adalah perayaan yang disambut oleh umat Islam di seluruh dunia. Ia merupakan sambutan terbesar dan teristimewa dalam agama Islam selain Hari Raya Aidilfitri.

Hari Raya Aidiladha disambut pada 10 Zulhijjah setiap tahun. Bermula dengan takbir Aidiladha pada malam 10 Zulhijjah, diikuti dengan solat sunat Aidiladha, khutbah pada pagi 10 Zulhijjah dan kemudian dilangsungkan ibadah korban yang boleh dilakukan pada 10, 11, 12 atau 13 Zulhijjah.

Tegas beliau, perayaan Aidilfitri dan Aidiladha adalah sama sahaja berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud daripada Anas r.a, yang bermaksud: "Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan mereka sedang sibuk bergembira selama dua hari. Maka Rasulullah SAW bertanya: Hari apakah yang dua hari ini? Mereka menjawab: Kami biasa bergembira selama dua hari pada zaman Jahiliah: Kemudian Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik daripada dua hari itu bagi kamu iaitu Aidilfitri dan Aidiladha." (riwayat Abu Daud)

Oleh itu, jelaslah bahawa perayaan Aidilfitri dan Aidiladha adalah sama. Malah Rasulullah SAW juga ada menyatakan tentang kelebihan ibadat korban dalam sebuah hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Al-Hakim yang bermaksud: "Tiada dibuat oleh anak Adam pada Hari Raya Adha akan sesuatu amal yang lebih disukai Allah daripada menumpahkan darah (menyembelih korban). Bahawa korban itu datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darah korban itu mengambil tempat yang mulia di sisi Allah sebelum darah itu tumpah ke bumi, maka hendaklah kamu buat korban itu dengan hati yang bersih."

Sebenarnya kata Faridilatras, masyarakat hari ini menjadikan sambutan Aidilfitri lebih meriah berbanding Aidiladha kerana kurang faham akan peristiwa bersejarah melibatkan dua insan iaitu Nabi Ibrahim a.s dan anaknya, Nabi Ismail a.s yang sangat tinggi nilainya.

"Sudah lebih 1,400 tahun Nabi SAW meninggalkan kita dan sudah pastinya, ibadah hari raya kita sudah ditokok tambah dengan adat-adat dan budaya atau dikurangi beberapa perkara penting sehingga ia kini sudah menjadi lebih budaya daripada agama," jelasnya.

Di samping itu, Faridilatras berpendapat antara punca utama perbezaan sambutan Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha adalah disebabkan kurangnya kesedaran tentang kelebihan melaksanakan amalan sunat seperti ibadah korban.

"Oleh yang demikian, saya merasakan perlu penerapan di peringkat awal kanak-kanak tentang sejarah keagungan ibadah korban agar ia terus bersemadi di dalam pemikiran masyarakat," katanya.

Sebenarnya kedatangan bulan Zulhijjah tegas Faradilatras, adalah bersama kelebihan dan keistimewaannya yang tersendiri.

Puasa sunat

Jadi, mestilah digunakan sebaiknya oleh umat Islam terutamanya dengan berpuasa sunat hari Arafah bagi yang tidak menunaikan haji, di samping melaungkan takbir bermula pagi sembilan Zulhijjah hingga berakhirnya hari 'tasyrik' iaitu hari ke 13 Zulhijjah.

"Islam amat menganjurkan amalan bertakbir (mengagungkan kekuasaan Allah SWT), bertahmid (memuji-muji kebesaran Allah SWT), bertasbih (menyucikan Allah SWT daripada sebarang kesyirikan) bagi meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT," katanya.

Malah, kalimah takbir yang dilaungkan itu bukan satu kalimah yang kosong, sebaliknya ia mampu menyuntik semangat juang dalam menghadapi pelbagai cabaran dan ujian hidup yang sememangnya terpaksa kita hadapi sebelum diiktiraf tahap keimanan kita kepada Allah SWT.

"Kalau kita hayati maksud Hari Raya Aidiladha itu sendiri, ia membawa maksud Hari Raya Korban, maka kita disunatkan untuk melakukan ibadah korban.

"Ini bagi memupuk semangat sanggup berkorban apa sahaja untuk meninggikan agama serta menghilangkan rasa terlalu sayang pada harta kesenangan dunia.

"Tanpa didikan dan asuhan agama dalam hal berkorban ini, maka agak sukar bagi kita untuk melakukan pengorbanan yang lebih besar terutamanya dalam meninggikan kalimah Allah di atas muka bumi ini," katanya.

Menurut Faradilatras, umat Islam dianjurkan memperbanyakkan ibadat pada malam Aidiladha. Ini berdasarkan hadis Rasulullah yang bermaksud: "Sesiapa yang menghidupkan dua malam Aidilfitri dan Aidiladha (dengan ibadat), maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati-hati manusia akan mati (iaitu leka dari mengingati Allah SWT)". (riwayat Ibnu Majah).

Amalan yang sunat dilakukan pada Hari Raya Aidiladha adalah melakukan korban dengan menyembelih haiwan ternakan seperti lembu dan kambing.

Jika diperhatikan kini, jumlah penyembelihan semakin bertambah setahun demi setahun. Malah trend terbaru ialah menunaikan ibadah korban dan akikah di luar Malaysia atau di negara-negara umat Islam yang lebih memerlukan seperti di Kemboja, Palestin dan sebagainya.

Dalam Islam pengagihan daging korban ke negara luar adalah diharuskan. Ini berdasarkan firman Allah yang bermaksud: Dengan yang demikian makanlah kamu daripada (daging) binatang-binatang korban itu dan berilah makan kepada orang yang susah (yang fakir miskin). (al-Hajj: 28)

"Ayat ini menjelaskan bahawa, kita diperintah untuk mengagihkan dan memberi makan kepada fakir miskin tidak dikhususkan kepada negara-negara tertentu, selagi mana ia tidak terkeluar daripada perintah syarak.

"Di samping itu juga, Islam tidak melarang untuk membantu saudara kita yang berada dalam kesusahan," katanya.

Lebih baik lagi, jika daging korban dapat diagihkan kepada masyarakat yang lebih memerlukan seperti di negara-negara Islam lain, terutamanya kepada mereka yang ditimpa bencana gempa bumi, peperangan dan kebuluran.

"Dan inilah, salah satu hikmah pelaksanaan ibadah korban yang menjurus kepada perkongsian kemakmuran dan menjauhkan umat Islam daripada sistem ekonomi liberal.

"Masyarakat pada hari ini, sewajarnya menilai bahawa Allah SWT telah menganugerahkan rezeki yang banyak di Malaysia, sehingga daging-daging korban berlebihan, sedangkan ada negara Islam yang masyarakatnya ramai, namun daging korban tidak mencukupi," kata Faradilatras. Sewajarnyalah program korban dan akikah serta pengagihan di negara-negara umat Islam lain disokong oleh setiap individu Muslim.

Malah menurutnya lagi, Dr. Yusuf al-Qaradawi, dalam penulisannya yang bertajuk Yusuf Qardawi dan pandangannya tentang Fiqh Minoriti dan Maslahah menyatakan, "maslahah (kepentingan umum) bermaksud kepentingan, kebajikan atau apa-apa yang mendatangkan faedah kepada masyarakat".

Jadi, pengagihan korban ke luar negara seperti di Kemboja dan negara-negara Islam yang lain boleh dikategorikan sebagai maslahah ummah (kepentingan umum).

Menyentuh cara sambutan ibadah korban dahulu hingga sekarang, terang Faradilatras, amalan ibadah korban sebenarnya telah dilaksanakan sejak dari zaman Nabi Adam a.s sehingga ke zaman Jahiliah.

Menyembelih korban di zaman nabi Adam a.s, adalah suatu sunat yang telah amat lama, yang dilakukan pertama kali oleh dua orang anak Adam, iaitu Qabil dan Habil atas perintah Adam a.s.

Firman Allah SWT: Dan baca oleh mu untuk mereka (terangkanlah olehmu untuk mereka) khabar berita dua orang anak Adam dengan sebenarnya, di kala anak Adam itu mempersembahkan korbannya maka Allah menerima korban salah seorang daripada keduanya termasuk menolak korban yang seorang lagi (iaitu Qabil). (al-Maidah 27)

Pada zaman Nabi Nuh a.s, sesudah terjadi taufan, Nabi Nuh a.s membuat tempat yang sengaja dan tertentu untuk meletakkan korban, yang nantinya korban tersebut dibakar.

Pada zaman Nabi Ibrahim a.s, yang mana pada mulanya beliau melakukan korban itu dengan memberi sedekah roti dan sebagainya. Menurut riwayat, beliau menyembelih anak sapi, kambing dan biri-biri.

Pada suatu ketika, Allah SWT menguji kekuatan iman Nabi Ibrahim a.s dengan memerintah kepadanya agar menyembelih anaknya Nabi Ismail a.s sebagai korban. Hal ini telah digambarkan oleh Allah SWT di dalam al-Quran, surah ash-Shaffat, ayat 103 - 107.

Penyembelihan korban berterusan dilakukan hingga zaman Nabi Musa a.s iaitu membahagikan binatang yang disediakan untuk korban kepada dua bahagian. Sebahagian dilepaskan sahaja dan sebahagian lagi disembelih.

Sebagai berkongsi pengalaman, beliau yang pernah menuntut di Universiti Islam Madinah menceritakan, kebanyakan orang Arab sentiasa berlumba-lumba terutamanya di dalam hal agama khususnya memperbanyakkan ibadah sedekah dan korban.

Ini kerana mereka meyakini setiap amalan baik akan diberi pahala yang setimpal.

Sewaktu membuat lawatan rasmi kerja di Kemboja pula, beliau dapati, masyarakat kemboja menanti-nanti daging korban daripada luar negara, ini adalah kerana mereka menghadapi kesempitan hidup berbanding negara-negara lain seperti Malaysia.

Oleh itu, saran Faradilatras, umat Islam Malaysia perlu bersyukur dengan nikmat kekayaan yang dianugerahkan oleh Allah SWT dengan menyalurkan bantuan seperti melaksanakan ibadah korban.

Oleh ZUARIDA MOHYIN

Qurban

Umat Islam di seluruh dunia, serentak melaksanakan Idul Adha 1430H pada Jumat (27/11). Gema takbir bergema selama tiga hari berturut-turut. Ritual suci ini berulang setiap tahunnya, tentu dengan harapan ada makna yang didapat dari perhelatan akbar tersebut. Idul Adha yang identik dengan ritual kurban, pada hakikatnya mengajarkan manusia untuk kembali kepada sifat dasar mereka sebagai makhluk sosial. Manusia tidak patut mengorbankan manusia lainnya dengan alasan apapun, termasuk untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan. Manusia merupakan makhluk mulia yang mesti dipandang dan diperlakukan secara manusiawi pula.

Praktek-praktek yang mengarah kepada upaya mengorbankan manusia yang selama ini masih berjalan, sudah saatnya dihentikan oleh pelaku-pelaku politik di tanah air, praktek-praktek tersebut hanya mengarahkan kita kembali kepada perilaku primitif bangsa-bangsa kuno dalam lintasan sejarah manusia. Kurban mengingatkan manusia bahwa pengaruh hawa nafsu, ambisi, iri dan dengki mudah menjerumuskan manusia kepada perbuatan yang tercela dan dapat mencelakakan manusia lainnya.

Semangat kurban hendaknya mampu merekat kembali ikatan sosial manusia yang selama ini mungkin renggang karena kesibukan mencari kekayaan duniawi, perbedaan bendera dan baju politik atau ambisi kekuasaan duniawi. Ibadah kurban hendaknya kita menyadari bahwa manusia juga perlu mengorbankan kepentingan pribadi atau golongan demi kepentingan yang lebih besar untuk bangsa dan negara. Begitu juga dengan momentum kurban kali ini, hendaknya tetap terjaga hakikat dan tujuan universal dari makna kurban itu sendiri.

Ritual haji dan kurban setiap tahunnya berulang, seharusnya dari sekian kali manusia mengikuti prosesi ini ada perubahan sosial yang signifikan dalam kehidupan nyata sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial. Namun, kenyataannya belum mengatakan demikian, hakikat kurban dan hikmah dari prosesi haji yang sering diceramahkan para teungku di meunasah-meunasah di negeri ini hanya sebatas rutinitas tanpa bekas.

Tentu, kurban kali ini pun demikian. Sejatinya, akan meninggalkan bekas bagi umat yang merayakan Idul Adha dan menunaikan ibadah kurban. Apalagi, dalam kontek Aceh yang baru saja keluar dari kemelut sosial panjang sudah sangat diharapkan momentum ini membekas hingga tahun-tahun berikutnya.

Jika ini terjadi, mental mengemis, mental mereka yang selalu menengadah tangan di bawah tidak akan nampak di jalan-jalan di kota ini. Sebab, seperti di awal tadi, kurban selayaknya tidak mengorbankan anak bangsa lainnya, kurban tidak mengorbankan hak anak bangsa untuk mendapati hidup layak seperti mereka yang mampu berkurban. Kurban, seharusnya memberi pelajaran bagi para pejabat di negeri ini agar tidak mengorbankan hak rakyat dengan menukar kebijakan yang dapat menjual hak hidup rakyat di negeri ini.

Kembali ke momentum Idul Adha dan kurban yang disembelih mereka yang menunaikannnya, semoga prosesi itu tetap menguatkan masing-masing diri untuk tetap peduli dan mengingatkan para petinggi di negeri ini untuk tidak sewenang-wenang mengorbankan kepentingan rakyat hanya untuk kepentingan pribadi.

ALLAH Penghibur Agung

Bismillahirahmanirrahim
Kedatangan Islam di dunia adalah untuk menghiburkan manusia. Di situ indahnya Islam, sebab Islam itu menghibur. Penghibur yg paling besar ialah Tuhan Yang Maha Agung. Kalau Tuhan itu dikenali, kalau kita tahu kerja2 Tuhan, maka Tuhan sangat menghiburkan. Tuhan penghibur agung.

Contohnya menceritakan benda biasa yg selalu kita tempuh, kita tidak sedar, spt menyedut udara, udara itu udara Tuhan. Kalau tidak ada udara kita mati. Kita tak sedar ini menghibur. Bila Tuhan cabut udara itu, ertinya tak terhibur. Bumi yg kita pijak adalah ciptaan Tuhan.

Bila mendongak ke langit biru, langit Tuhan, menghiburkan mata. Melihat pemandangan hijau dan indah. Kita pergi ke pasar cari lauk, ikan, daging, sayur2an, ini semua menghiburkan. Tapi kita tak perasan dan tak pernah diceritakan. Kita hanya pandang bersahaja.

Bila kita bekerja kita gunakan tenaga, kita jadi letih dan perlu rehat. Tuhan bagi kita mengantuk. Kalau kita tidak mengantuk walaupun cuba tidur tak boleh tidur. Mengantuk menghiburkan Bila tidur menyegarkan badan dan segar kembali. Itu hiburan dari Tuhan.

Bertemu manusia, kita meluahkan perasaan, dapat berkongsi rasa. Dia pun meluahkan perasaannya kepada kita. Lega rasanya, itu hiburan dari Tuhan. Tuhan menghiburkan sahaja.

Apabila kita membuat sesuatu perkara yg baik kita disuruh menyebut nama Tuhan. Sebab itu Tuhan pilih salah satu dari 99 nama Allah. Tuhan suruh kita sebut Bismillahirahmanirrahim. Tuhan kenalkan diri-Nya, Akulah Penghibur. Tuhan tak suruh kita sebut Bismillahijabbarul Qahhar. Tapi kita tak perasan, kita tak sedar. Kita hanya tahu kalau kita sebut dapat fadhilat. Kita selama ini tak diajar Tuhan penghibur agung. Kita diajar fadhilat sahaja.

Tuhan buat siang dan malam. Kejadian siang malam itu hiburan dari Tuhan. Kalau malam saja menyusahkan kita. Demikian pula kalau siang saja, siang utk keperluan kerja. Malam utk berehat, kena tidur. Tak terhiburkah? Kita selama ini tak pernah diajar tauhid macam ini. Tuhan itu penghibur agung, tak ada penghibur seagung Tuhan. Sebab itu Allah datangkan syariat, seolah2 Tuhan berkata "Kalau Aku menciptakan kamu, Aku adalah penghibur agung kamu. Sebab itu Aku buat syariat sebagai peraturan dan system hidup buat menghiburkan kamu."

Tuhan adalah penghibur agung. Didatangkan syariat itu sebagai hiburan kedua. Syariat mengajarkan kita, kalau orang bersalah kita maafkan. Tak terhiburkah? Padahal kalau tidak dimaafkan sakit orang itu.

Jiran kena jaga walaupun bukan Islam, perlu dibuat macam keluarga sendiri. Tak terhiburkah? Bila berkawan, Tuhan kata kena setia. Tak terhiburkah?

Bila ada orang menentang kita dalam berdakwah, kita doakan dia. Tak terhiburkah?

Cuba baca sejarah, orang yg paling kuat berjuang seperti Rasul tak ada tandingannya. Baca sejarah Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Musa, Nabi Nuh, Nabi Daud. Mereka tak pernah bunuh orang, kecuali Nabi Musa sebelum jadi nabi. Itupun secara tak sengaja. Rasulullah masuk medan perang 27 kali tetapi tak sekalipun membunuh orang, padahal peluang ada. Kalaupun ada peluang Rasulullah maafkan. Tak terhiburkah hati orang?

Tuhan datangkan Rasulullah utk menghiburkan manusia. Dengan musuh, kalau mereka tak masuk Islam, Rasulullah biarkan, dengan harapan suatu hari nanti anak cucunya masuk Islam. Tak terhiburkah?
Kenapakah ulama hari ini bila menyuruh tentang jihad, mau bunuh orang? Dari mana mereka dapat? Dari mana mereka belajar? Para Rasul tak ada yg berbuat begitu. Orang bukan Islam jadi takut, orang Islam pun jadi takut.

Jadi hari ini Tuhan minta kepada manusia utk menghiburkan orang. Tuhan datangkan orang2 berjuang utk menghiburkan orang walaupun mereka susah, yg penting orang terhibur.

Ali-Imran ayat 190-191:

"Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, pertukaran malam dan siang silih berganti, terdapat tanda2 akan keesaan/kekuasaan/kebesaran/keagungan dan kebijaksanaan Allah bagi ORANG-ORANG YANG BERAKAL ".

"Iaitu mereka yang berzikir ( ingat ) akan Allah semasa berdiri , duduk dan berbaring sambil memikirkan kejadian langit dan bumi, sambil berkata ; Wahai tuhan kami, tidaklah engkau menjadikan semuanya ini sia2, Maha suci engkau maka peliharalah kami dari azab api neraka."

Cinta yang hakiki yang berdasarkan kerana Allah semata-mata , ialah bila anda mencintai seseorang bukan kerana peribadinya,malah kerana kelebihan-kelenihannya yang bergantung dengan keakhiratannya. Misal cinta ini ialah cinta seorang murid kepada gurunya. Disebabkan menerusi guru itu ia akan memperolehi ilmu pengetahuan yang akan memperbaiki amalannya . Dan dengan ilmu itu maka si murid bakal mendapat keselamatan diakhirat . Inilah yang dikatakan antara contoh-contoh cinta kerana Allah semata-mata .

Begitu pula orang yang bersedekah dengan harta bendanya kerana menuntut keredhaan Allah, atau orang yang suka mengundang tetamu kerumahnya, lalu dihidangkan makanan yang lazat, semata-mata kerana ingin mendekatkan dirinya kepada ALLAH. Kemudian lahirlah dalam diri orang itu perasaan sayang dan kasih terhadap tukang masaknya , kerana kemahiranya untuk menyediakan makanan-makanan yang lazat, cinta ini dikira sebagai cinta kepada ALLAH .

Contoh yang lain lagi misalnya seorang yang suka menyampaikan sedekah kepada orang-orang yang memerlukannya , maka perilakunya itu dikira sebagai cinta kepada ALLAH juga. Atau orang yang mencintai pekerja yang membantu mencuci pakaiannya, membersihkan rumahnya dan memasak makanannya, yang mana dengan terlepasnya ia dari tugas-tugas ini, senanglah ia dapat menuntut ilmu atau membuat perkerjaan yang lain, sedang tujuan utama dari pekerjaan orang itu semata-mata kerana melapangkan diri untuk memperbanyakkan ibadat , maka ia juga terkirapencinta kerana ALLAH .

Begitu juga, jika ia mencintai seseorang kerana orang itu mencukupi keperluannya dari segi wang dan pakaian, makanan dan rumah dan lain-lain keperluan yang diperlukan untuk kehidupan didunia, sedang maksud dari penderma itu supaya ia dapat melapangkan dirinya untuk menuntut ilmu pengetahuan yang berguna, sambil melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, maka cintanya itu dikira kerana ALLAH juga .

Segolongan salaf saleh yang terdahulu, sering segala keperluannya ditanggung oleh hartawan-hartawan yang murah hati . jadi dalam hal ini, kedua-dua pihak tergolong pencinta-pecinta yang mencari keredhaan Allah.

Juga , jika seseorang itu menikahi seorang wanita yang salehah untuk melindunginya dari godaan syaitan , serta memelihara agamanya atau untuk menginginkan seorang anak yang saleh dari pernikahan itu atau dia mencintai isterinya kerana menerusinya ia dapat samapai kepada tujuan-tujuan yang suci seperti contoh-contoh yang disebut diatas tadi , maka ia adalah seorang pencinta kerana ALLAH .

Demikian pula, jika seseorang itu dalam hatinya tersemat cinta kerana ALLAH dan dunia, seperti seorangyang mencintai guru yang mendidiknya, lalu ia pun mencukupkan segala keperluan guru itu didunia dengan wang dan sebagainya, maka ia dikira orang yang mencinta kerana ALLAH .

Seterusnya, bukanlah dari syarat-syarat cinta kerana ALLAH itu, ia mesti tinggalkan semua nasibnya dari harta kekayaan dunia samasekali, sebab para Nabi sering menyeru kita berdoa, agar ALLAH mencukupkan kedua-dua keperluan kita di dunia dan akhirat .

Bila kecintaan seseorang kepada ALLAH menjadi kukuh, niscaya akan muncul dalam wataknya perasaan suka membantu dan menolong, serta mengutamakan orang lain dari diri sendiri, bersedia untuk membelanjakan segala yang dimilikinya dari harta, jiwa dan nasihat yang baik.

Dalam hal ini manusia adalah berbeza, munurut perbezaan darjat kecintaannya kepada ALLAH. Ia akan dicuba dalam kecintaannya itu dengan berbagai-bagai percubaan yang bertalian dengan kepentingan-kepentingan dirinya, sehingga ada kalanya semua kepentingan itu sudah tidak ada yang tinggal lagi, semuanya telah dibelanjakan bagi kepetingan orang yang dicintainya itu.Terkadang-kadang ditentukan sebahagian untuk diri sendiri, manakala yang lain diberikan kepada orang yang dicintainya.

Tidak kurang juga , orang yang membahagikan harta kekayanya kepada dua, satu bahagian untuk dirinya dan satu lagi untuk kekasihnya, ada yang memberikan sepertiga dari harta kekayaannya dan ada sepersepuluh dan seterusnya . Banyak atau sedikit wang yang dibelanjakan itu bergantung pada rasa cintanya terhadap orang itu, sebab tidak dapat ditentukan darjat cinta itu melainkan dengan kadar harta yang dibelanja kepada para kekasihnya. Maka barang siapa hatinya telah telah dipenuhi oleh rasa cinta kerana Allah, tidak ada benda-benda lain yang masih dicintakan lagi, selain dari cintanya kepada ALLAH semata-mata. Ketika itu ia tidak akan meninggalkan sesuatu benda pun dari harta kekayaannya, melainkan semuanya dibelanjakan kerana ALLAH.

Misalnya Abu Bakr As-Siddiq , beliau telah menyerahkan puterinya Aisyah untuk dikahwinkan dengan Rasulullah sedangkan Aisyah itu cahayamatanya, kemudian dibelanjakan semua hartanya kerana ALLAH.

Dengan itu disimpulkan, bahawasanya sesiapa yang mencintai orang alim atau 'adib, ataupun di mencintai penuntut ilmu pengetahuan atau orang yang sepanjang masa beribadat atau membuat kebajikan, maka yakinlah bahawasanya ia mencintainya itu kerana ALLAH dan untuk ALLAH , dan tentulah ia akan mendapat ganjaran pahala dan kurnia dari ALLAH menurut kadar kekuatan cintanya itu.

1) Terus menerus melakukan dosa dan tidak merasa bersalah
2) Berhati keras dan tidak berminat untuk membaca Al-Qur'an
3) Berlambat-lambat dalam melakukan kebaikan, seperti terlambat untuk melakukan shalat
4) Meninggalkan sunnah
5) Memiliki suasana hati yang goyah, seperti bosan dalam kebaikan dan sering gelisah
6) Tidak merasakan apapun ketika mendengarkan ayat Al-Qur'an dibacakan, seperti ketika Allah mengingatkan tentang hukumanNya dan janji-janjiNya tentang kabar baik.
7) Kesulitan dalam berdzikir dan mengingat Allah
8) Tidak merasa risau ketika keadaan berjalan bertentangan dengan syari'ah
9) Menginginkan jabatan dan kekayaan
10) Kikir dan bakhil, tidak mau membagi rezeki yang dikaruniakan oleh Allah
11) Memerintahkan orang lain untuk berbuat kebaikan, sementara dirinya sendiri tidak melakukannya
12) Merasa senang ketika urusan orang lain tidak berjalan semestinya
13) Hanya memperhatikan yang halal dan yang haram, dan tidak menghindari yang makruh
14) Mengolok-olok orang yang berbuat kebaikan kecil, seperti membersihkan masjid
15) Tidak mau memperhatikan kondisi kaum muslimin
16) Tidak merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu demi kemajuan Islam
17) Tidak mampu menerima musibah yang menimpanya, seperti menangis dan meratap-ratap di kuburan
18) Suka membantah, hanya untuk berbantah-bantahan, tanpa memiliki bukti
19) Merasa asyik dan sangat tertarik dengan dunia, kehidupn duniawi, seperti merasa resah hanya ketika kehilangan sesuatu materi kebendaan
20) Merasa asyik (ujub) dan terobsesi pada diri sendiri

Hal-hal berikut dapat meningkatkan keimanan kita:

1) Tilawah Al-Qur'an dan mentadabburi maknanya, hening dan dengan suara yang lembut tidak tinggi, maka Insya Allah hati kita akan lembut. Untuk mendapatkan keuntungan yang optimal, yakinkan bahwa Allah sedang berbicara dengan kita.

2) Menyadari keagungan Allah. Segala sesuatu berada dalam kekuasaannya. Banyak hal di sekitar kita yang kita lihat, yang menunjukkan keagunganNya kepada kita. Segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendakNya. Allah maha menjaga dan memperhatikan segala sesuatu, bahkan seekor semut hitam yang bersembunyi di balik batu hitam dalam kepekatan malam sekalipun.

3) Berusaha menambah pengetahuan, setidaknya hal-hal dasar yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara berwudlu dengan benar. Mengetahui arti dari nama-nama dan sifat-sifat Allah, orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang berilmu.

4) Menghadiri majelis-majelis dzikir yang mengingat Allah. Malaikat mengelilingi majels-majelis seperti itu.

5) Selalu menambah perbuatan baik. Sebuah perbuatan baik akan mengantarkan kepada perbuatan baik lainnya. Allah akan memudahkan jalan bagi seseorang yang bershadaqah dan juga memudahkan jalan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Amal-amal kebaikan harus dilakukan secara istiqamah.

6) Merasa takut kepada akhir hayat yang buruk. Mengingat kematian akan mengingatkan kita dari terlena terhadap kesenangan dunia.

7) Mengingat peringkat-peringkat kehidupan akhirat, fase ketika kita diletakkan dalam kubut, fase ketika kita diadili, fase ketika kita dihadapkan pada dua kemungkinan, akan berakhir di syurga, atau neraka.

8) Berdo'a, menyadari bahwa kita membutuhkan Allah. Merasa kecil di hadapan Allah.

9) Cinta kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus kita tunjukkan dalam aksi. Kita harus berharap semoga Allah berkenan menerima shalat-shalat kita, dan sentiasa merasa takut akan melakukan kesalahan. Malam hari sebelum tidur, seyogyanya kita bermuhasabah, memperhitungkan perbuatan kita sepanjang hari itu.

10) Menyadari akibat dari berbuat dosa dan pelanggaran. Iman seseorang akan bertambah dengan melakukan kebaikan, dan menurun dengan melakukan perbuatan buruk.

11) Semua yang terjadi adalah karena Allah menghendaki hal itu terjadi. Ketika musibah menimpa kita, itupun dari Allah.

Inna Ma’al ‘Usri Yusra (Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan).

Wahai saudaraku,

Sesungguhnya setelah kelaparan ada kenyang, sesudah dahaga ada kesejukan, setelah begadang ada waktu tidur, setelah sakit ada sembuh, pasti yang sesat akan menemukan jalannya, yang telah melalui kegelapan ada secercah cahaya terang benderang. Lihatlah para petualang di sebuah gua yang gelap, setelah berjalan kesana kemari melihat setitik lobang cahaya. Karena apa? Karena Allah berfirman :” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau keputusan kepada kita dari sisiNya. Kata ‘Asa (mudah-mudahan) , dalam kamus Allah itu merupakan suatu kepastian, bukan seperti mudah-mudahan dalam bahasa lisan makhluk, yang tak pasti.

Beri kabar gembiralah bagi malam yang gelap, bahwa esok lusa akan ada fajar dari puncak gunung, dan celah-celah lembah, berilah kabar gembira bagi mereka yang dalam keadaan gelisah, goncang, bahwa dalam lamhatilbashar menurut pandangan Allah, akan ada kegembiraan, ada kelembutan tersembunyi dibalik penderitaan itu.

Apabila kita melihat dan berjalan ditengah padang pasir nan tandus itu,.kita berjalan lagi..masih juga padang pasir,.berjalan terus,..sampai suatu saat kelak kita akan menemukan dedaunan hijau, perkampungan hijau, ada kehidupan disana.Semua itu kerana apa,..? Karena setiap ada muara ada hulunya atau sebaliknya. Ada ujung ada pangkalnya, ada kesulitan pasti setelah itu ada kemudahan.

Bila kita melihat tali itu kuat dan sambung menyambung, lihatlah suatu saat pasti akan ada terputus juga, dibalik kemelaratan, pasti ada kebahagiaan, didalam ketakutan, akan disertai rasa aman, dalam kegoncangan, setelah itu pasti angin itupun tenang kembali. Ombak menderu-deru, tidak selamanya ia berhembus terus, pasti ada masa tenangnya. Karena apa…? Karena Allah sudah berfirman :” Tuulijullaila finnahaari.. watuulijunnahaar a fillaili “( Allah menggantikan malam kepada siang,siang diganti malam).Masa regenerasi dan pergantian itu pasti ada.

Jadikanlah jeruk nipis itu menjadi manis !!

Orang yang cerdas, lagi pintar, akan merubah kerugian-kerugiannya kepada keberuntungan-keberuntungan. Sementara orang yang bodoh lagi selalu dalam keadaan bingung, akan menambah musibah menjadi dua musibah, bahkan musibah bertingkat-tingkat.

Lihatlah betapa Rasulullah SAW diusir dari kampung kelahirannya Mekkah. Apakah beliau bersikap pesimis dan patah semangat? Tidak bukan? Beliau hijrah ke Medinah dan mencari penghidupan baru disana, berkarya, bekerja dan berdakwah, sehingga jadilah beliau maju dan dapat membangun Madinah menjadi manusia-manusia bertaqwa, setelah mapan beliau baru kembali membangun asal negerinya yang beliau pernah diusir itu. Bayangkan, seorang yang ummi, tak tahu baca dan tulis , diusir dari kampung halamannya sendiri, dan oleh bangsanya sendiri, dapat merubah masyarakat dari lembah kejahiliahan, menjadi insan yang tahu ilmu, tahu nilai-nilai akhlak yang luhur, dan maju dalam perekonomian. Dikenal dan dikenang dalam sejarah turun temurun.

Imam Ahmad bin Hanbal dipenjarakan, dicambuk, apa yang terjadi pada beliau setelah itu? Beliau jadi Imam ahli Sunnah. Imam Ibnu Tayyimiyah keluar dalam tahanannya penuh dengan ilmu yang berlimpah ruah. Mengarang 20 jilid buku fiqh. Ibnu Katsir Ibnu jauzi di Baghdad dan Imam Malik bin raib di timpa musibah yang hampir mematikan beliau, dengan penderitaannya itu beliau telah menulis qasidah yang benar-benar membuat orang terpukau, sya’ir-sya’ir beliau yang membuat orang membacanya terperangah dapat mengalahkan penyair-penyair Abbasiyyah yang terkenal itu.

Apabila seseorang menimpakan kepadamu kemudharatan, dan apabila kamu ditimpa musibah, maka lihatlah dari sisi lainnya. Bila kamu melihat kegelapan, carilah titik terangnya. Apabila kamu disuguhkan seseorang secangkir jeruk nipis yang asam, maka tambahkanlah gula didalamnya biar terasa manis.

Apabila seseorang memberikan serigala yang galak kepadamu, maka ambillahyang berharga, tinggalkan yang tak berharga. Apabila kamu diserang dan digigit kalajengking, maka ambillah obat antibiotik dari binatang itu juga, karena didalamnya juga ada racun hidup yang dapat mematikan kuman. kulitnya

Jadikanlah pendingin didalam tubuhmu yang keras, dan panas itu sebagai penyeimbangnya. Agar keluar dari dalam tubuh kita bunga yang harum semerbak wanginya . Bila kamu benci akan sikap seseorang, jangan jauhi ia, ambil dan lihat sisi baik darinya. Semua ini karena apa..? Karena Allah berfirman : ” ‘Asaa antakrahuu syaiaan,wahuwa khairullakum “. Bisa jadi sesuatu yang kamu benci itu, malah yang terbaik untukmu. Begitupun sebaliknya, wa‘asaa antuhibbuu syaian wahuwa syarrullakum” Bisa jadi suatu yang sangat kamu cintai, ia tak baik dan menjadi mudharat untukmu juga “. (QS. Al-Baqarah : 216)

Sumber:
Kitab Laa Tahzan
Karya Dr. Aid Al-Qarni

Ramai manusia melihat kehidupan dari segenap sudutnya. Ada yang melihat kepayahan hidup lalu memahami kehidupan ini suatu tempat kedukaan. Ada yang melihat kesenangan duniawi lalu memahami kehidupan adalah tempat menikmatinya. Ini semua adalah nilai kehidupan dengan pandangan syahwat dan kepentingan. Untuk apa melihat hidup itu pada senang atau susahnya, sedangkan setelah susah hadirnya senang, dan setelah senang hadirnya susah. Begitulah silih berganti.

Malah, senang dunia tidak selamanya, begitu jua susahnya. Akhirnya sang insan yang sibuk dengan susah dan senangnya hidup di dunia, mati meninggalkan dunia. Itu semua hanyalah persepsi kebudak-budakan semata-mata yang mengingini khayalannya menjadi mimpi yang nyata.

Hidup ini adalah untuk kita hidup menghadapi realiti, bukan membina makna realiti sendiri. Hakikat hidup sudah ditentukan. Makna hidup sudah dijelaskan. Jika terus memilih selain makna dan hakikat hidup yang telah dijelaskan oleh Tuhan, maka kita hanya mencari kebahagiaan yang palsu. Semakin kita melangkah menuju kebahagiaan palsu, semakin kita menjauhi kebahagiaan hakiki. Semakin kita menuju “realiti” ciptaan sendiri, semakin kita memalingkan diri daripada hakikat sebenar hidup ini.




Begitulah insan yang sentiasa terkesan samada dalam kesenangan mahupun dalam kesusahan. Cahaya keimanan yang sepatutnya kita warisi daripada generasi Sahabat r.a. yang sentiasa tenang dalam susah dan senang, seakan-akan suatu fantasi semata.

Memang benar. Indah bicara dari menghadapinya. Namun, inilah realitinya. Bagaimana Saidina Bilal r.a. mampu memikul batu berat di bawah terik mentari hanya dengan menyebut ahad…ahad. Kita, dengan sembilan puluh sembilan nama Allah telah dihafal, namun belum tentu sanggup memikul dugaan kerana Tuhan. Jauh benar penghayatan aqidah kita berbanding penghayatan aqidah mereka yang dididik oleh Saidina Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam-.

Nilai aqidah itu pada penghayatannya, bukan pada perbahasannya. Semua orang berbicara dalam manhaj yang berbeza-beza, tetapi tetap berkongsi kemanisan yang sama, jika benar tauhid mereka. Bukti berharga paling utama yang menunjukkan aqidah kita benar pada manhaj mereka yang terdahulu (as-salaf as-sholeh) khususnya para sahabat r.a., adalah kita berkongsi penghayatan mereka terhadap aqidah Islam itu sendiri.

Iman itu harganya pada kelazatannya dalam berinteraksi dengan Allah s.w.t. melalui kehidupan. Bagaimana generasi sahabat r.a. khususnya, tidak pernah kenal erti susah dalam menghadapi rintangan kehidupan mereka? Ramai orang kata, kekuatan mereka adalah pada kefahaman mereka tentang dakwah Islam. Ada orang juga kata, kekuatan mereka pada ilmu dan amal mereka. Benar bagai dikata oleh mereka yang berkata-kata. Tetapi bukan sekadar itu wahai saudara-saudara. Kunci utama kekuatan mereka adalah pada penghayatan mereka terhadap aqidah mereka. Kuncinya adalah pada kelazatan tauhid yang mereka kecapi saban hari.

Kelazatan iman mereka membawa mereka kepada mengenal makna hidup yang lebih besar. Ianya adalah cahaya yang terbit dari kerohanian yang bersih dan suci daripada maksiat dan kelalaian. Ianya lahir daripada jiwa yang sentiasa menginsafi diri dan memperbanyakkan taubat bukan sekadar kerana rasa diri berdosa, tetapi kerana takut rasa diri tidak berdosa yang mana itu juga sifat ujub yang tercela. Qudwah mereka adalah Saidina Al-Mustafa wa Habibina Al-Mujtaba Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam-. Mereka melihat bagaimana Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- beristighfar seratus kali setiap hari sedangkan sudah terpelihara daripada dosa. Apa penghayatan Baginda Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- dalam memperbanyakkan taubat? Nah, kelazatan dan penghayatan itu diwarisi oleh para sahabat r.a. secara halus meresap dalam tarbiah Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam-.

Kunci utama bagi seseorang mewarisi hal hati (ahwal) dan kebersihan rohani adalah pada kecintaan dalam keimanan. Oleh sebab itulah, Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- menyuruh para sahabat r.a. mencintai Baginda -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- lebih daripada diri mereka sendiri dan segala-galanya. Ini kerana, kunci berlakunya proses pewarisan ahwal (hubungan hati seseorang dengan Allah) daripada Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan cinta kepada Rasulullah - shollaLlahu ‘alaihi wasallam-.

Jalan untuk mencintai Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mencintai para pewaris Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- iaitulah para sahabat r.a. dan keluarga Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam-, para ulama’ (yang mewarisi ilmu Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam-), para solihin (yang mewarisi amalan Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam-), para murobbi (yang mewarisi manhaj tarbiah Rasulullah - shollaLlahu ‘alaihi wasallam-) dan sebagainya. Ini adalah kecintaan kerana Allah s.w.t. yang berteraskan kecintaan kepada Rasulullah - shollaLlahu ‘alaihi wasallam-. Inilah antara sebab untuk mendapatkan kelazatan iman.

Penghayatan ini juga dikuatkan dengan mujahadah melawan hawa nafsu dengan meninggalkan terus maksiat dan dosa kita tanpa menoleh kepadanya semula. Antara kuncinya adalah dengan membenci untuk kembali kepada dosa sebagaimana takut untuk dicampak ke dalam neraka. Perasaan takut itu apabila terus meningkat, maka ia akan membawa takut kepada murka Allah s.w.t..

Kemuncak proses mengecapi penghayatan aqidah tauhid dan kelazatan iman adalah dengan menjadikan setinggi-tinggi cinta teragung seseorang adalah ALLAH s.w.t.. Kecintaan kepada Allah s.w.t. ini bukan suatu proses yang mudah semudah mengungkapkannya dengan lisan semata-mata. Betapa ramai manusia yang mudah mengungkap cinta tetapi debu cinta pun tiada di hatinya (Astaghfirullah min ad-dakwa).

Prosesnya adalah dengan mencintai jalan-jalan untuk mencintai Allah s.w.t. iaitulah mencintai para solihin, para murobbi, para ahlul-bait, para sahabat r.a. dan kemuncaknya adalah cinta kepada Rasulullah s.a.w.. Dengan kecintaan kepada Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- melebihi cinta kita kepada segalanya, akan membawa kepada kecintaan kepada Allah s.w.t. dengan bantuanNya.

Cinta kepada Allah s.w.t., memang benar ianya suatu anugerah. Tidak semudah sehingga semua yang mendakwanya, memilikinya. Tidak serendah semua yang membicarakannya, merasainya. Ianya pilihan dalam pilihan. Ianya anugerah dalam hadiah. Ianya kurniaan dalam pemberian. Maka, mintalah cinta kepadaNya hanya daripadaNya.

Dengan mencintai Allah s.w.t., seseorang akan menghadapkan fokusnya hanya kepada Allah s.w.t.. Seluruh jalan cerita dalam kehidupannya adalah ungkapan untuk mendapatkan redha dan cintaNya. Itulah sebenarnya hakikat apabila sudah mulai mencinta. Apa sahaja diredahi demi redha dan cinta. Pandangan redha yang dicinta adalah idaman setiap sang pencinta.

Andai benar kamu mencari redha Allah, mengapa mengeluh ketika diberi ruang untuk mendapatkannya? Bukankah ujian dan dugaan hidup itu ruang untuk mendapatkan redhaNya? Mengapa ketika diberi ruang untuk mendapat redhaNya dalam dugaan yang melanda, dengan sabar dan redha dalam setiap ketentuanNya, namun kamu memilih untuk mengeluh dan mula merasa duka?

Bukankah seseorang yang Allah s.w.t. cinta, makin kuat diuji? Bukankah ujian itu sebenarnya nilai cinta? Mengapa mengelukh ketika dikurniakan simbol cinta? Adakah kerana kita tidak memahami hakikat cinta? Atau kerana memang dalam diri kita tiada cinta kepadaNya? Oleh kerana itulah, hidup kita tidak sunyi dari keluhan terhadap Tuhan dan memberontak bila diberi ujian.

Para pencinta dari kalangan salaf dan khalaf mengenali dan menghayati hakikat cinta. Lalu, setiap hidup mereka dilalui dengan penuh redha sebagai sang hamba. Mereka melihat agungnya “nilai” di sebalik ujian berbanding beratnya ujian. Mereka melihat besarnya “tujuan” mereka dalam redha kepadaNya, iaitulah demi meraih redhaNya, berbanding melihat ketentuanNya dalam kehidupan mereka.

Seseorang yang sentiasa fokus terhadap kebesaran tujuan dan keagungan nilai di sebalik ketentuan, tidak pernah letih untuk menghadapi ketentuan demi ketentuan kerana tahu apa yang dicari di sebalik kesabaran dalam menempuh ketentuan. Bagaimana terungkap di mulut para pencinta: “sedang lautan api sanggup ku redahi demi cinta…”, kalau memang itu bukanlah hakikat sebenar cinta. Itulah hakikat cinta wahai sang pencari cinta.

Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- sangat kagum dengan sikap orang yang beriman yang sentiasa mendapati kebaikan dalam hidup, samada dalam kesenangan mahupun kesusahan. Malah, Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- sendiri sebagai simbol teragung dalam menterjemahkan makna kelapangan hidup, dalam hidup Baginda - shollaLlahu ‘alaihi wasallam-.

Teringat kisah di mana linangan air mata mulia Baginda -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- menitis keluar dari kedua mata Baginda -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- yang mulia, ketika pemergian anaknda Baginda -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- bernama Ibrahim (r.a.). Lalu para sahabat r.a. bertanya tentang titisan air mata tersebut, adakah ianya tanda sedih atau bagaimana. Lalu Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “ini adalah rahmat (kasih sayang)”. Apa makna disebalik itu? Maknanya, hatta menangis itu sendiri dalam penghayatan Baginda -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- adalah rahmat daripada Allah s.w.t., bukan suatu kesempitan, apatah lagi segala ketentuan dalam kehidupan Baginda - shollaLlahu ‘alaihi wasallam-. Rasulullah -shollaLlahu ‘alaihi wasallam- mengecapi rahmat dan kelembutan Allah s.w.t. dalam setiap ketentuanNya sehingga air mata itu juga dirasakan nikmat daripada rahmat Allah s.w.t.. Ini hakikat penghayatan iman dan taqwa yang mendalam.

Inilah penghayatan aqidah yang murni, yang perlu dirasai oleh setiap orang beriman. Maka, carilah para pembimbing yang dapat membantu kita mewarisi penghayatan ini daripada generasi terdahulu melalui tarbiah dan qudwah. Indahnya hidup dengan melaluinya berbekalkan kelazatan iman dan penghayatan tauhid yang murni. Fokuslah kepada keagungan nilai tujuan, nescaya lapang bagimu setiap jalan menujunya.

Wallahu a’lam

Al-Faqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Jalil

Persoalan “dari mana”, “ke mana”, dan “kenapa” yang berkaitan dengan kewujudan dan kehidupan merupakan antara persoalan-persoalan asasi (ultimate problems) dalam setiap fikiran manusia yang inginkan sebuah “makna” (meaning). Tanpa mengetahui jawapan daripada persoalan-persoalan tersebut, maka kehidupan ini sejak dari permulaannya sehinggalah kesudahannya hanyalah suatu “kekosongan”.

Catatan sejarah menunjukkan pelbagai ragam manusia dalam memberi jawapan terhadap persoalan-persoalan asasi ini, samada dengan rujukan akal dirinya semata-mata, atau dengan rujukan lain. Adapun rujukan lain yang dimaksudkan adalah, sumbernya bukan daripada dirinya sendiri, samada seseorang itu merujuk kepada sumber ketuhanan (wahyu dari Allah) melalui ajaran utusan Allah (Rasul Allah) atau mengikut ajaran warisan nenek moyangnya.

Ahli falsafah melihat persoalan-persoalan asasi ini sebagai ontologi (teori hakikat atau teori kewujudan) yang mencakupi tiga komponen utama iaitu:

• Hakikat Tuhan (teologi)
• Hakikat Alam Semesta (kosmologi)
• Hakikat Manusia (humanologi)

[rujuk Wacana Falsafah Ilmu oleh Dr. Abdul Rahman bin Abdullah m/s: 6]

Jawapan terhadap persoalan-persoalan tersebut justeru memberi kepuasan bagi mereka yang benar-benar ingin menghayati suatu “makna” daripada segenap kehidupan yang dilaluinya. Ciri-ciri terpenting dalam menikmati “makna” itu sendiri adalah, ianya (makna hidup tersebut) adalah suatu yang hakiki dan realiti, sesuai dengan hakikat sebenar (waqi’e), bukan suatu khayalan, persepsi atau fantasi yang bercanggah dengan realiti.

Tanpa “makna kehidupan” yang hakiki dan benar, maka seseorang itu akan menjalani sebuah kehidupan dengan penuh pendustaan terhadap dirinya sendiri lalu akan menghadapi setiap hari yang meletihkan, kerana setiap hari yang dilaluinya adalah pendustaan terhadap dirinya sendiri. Oleh kerana itulah, Sheikhna Al-Murobbi As-Syarif Yusuf Al-Hasani pernah berkata: “Jika anda terasa hidup ini meletihkan bererti anda tidak jujur terhadap diri sendiri”.

Keletihan dalam kehidupan hanya terbit dari rasa “kekosongan” dalam diri akibat tidak menghayati suatu makna kehidupan yang hakiki, yang mana dengan makna tersebut, seseorang itu berjaya keluar daripada kesempitan dunia kepada keluasannya. Sempit itu meletihkan sedangkan luas itu merehatkan.





Pelbagai Usaha Ke Arah Mencari Makna Kehidupan
Oleh kerana “makna” itu sesuatu yang penting, maka ramai manusia mencarinya dari mana-mana sudut yang dianggap dapat membawa kepadanya. Usaha untuk mencari “makna kehidupan” (meaning of life) bagi orang yang merasai kekosongan dalam hidup umpama usaha mencari makanan bagi orang yang sedang lapar. Ia (rasa kekosongan hidup) itu bahkan suatu kelaparan minda dan kerohanian.

“Makna kehidupan” yang bermacam-macam aneka bentuknya dapat ditemui melalui beberapa cara antaranya:

• Agama atau Taqlid
• Falsafah

Namun, hanya satu sahaja sumber yang memberi “makna kehidupan” yang tepat dan hakiki sedangkan selainnya hanya memberikan “makna-makna” palsu tentang kehidupan. Sumber tersebut adalah “agama” yang bersumberkan Tuhan yang Maha Benar (Al-Haq). Ini kerana, hanya Tuhan yang Maha Benar (Al-Haq) sahaja yang tahu makna kehidupan manusia kerana Dialah yang menciptakan manusia dan seluruh alam ini.

Makna Kehidupan dalam Agama-agama Taqlidiyyah (Warisan Nenek Moyang)

Apa yang dimaksudkan daripada agama-agama taqlid di sini adalah agama yang direka oleh manusia lalu diwariskan kepada generasi yang mendatang. Maka, generasi yang kemudian bertaqlid (mengikut secara membuta-tuli) pegangan nenek moyang mereka terdahulu tanpa menilai kebenaran pegangan tersebut.

Agama-agama rekaan manusia ini sebahagiannya merupakan hasil daripada pengubahsuaian mereka terhadap agama yang benar dari Tuhan yang Maha Benar melalui utusanNya yang benar. Hasil pengubahsuaian ini akhirnya membawa kepada pelbagai kepalsuan lalu terus diubah dari generasi ke generasi. Antara agama tersebut seperti Judaisme dan Kristianiti. Namun, ianya dikatakan sebagai agama samawi dan penganutnya dipanggil sebagai Ahlul-Kitab dalam ajaran agama Islam.

Ada juga agama-agama rekaan yang jauh daripada ajaran asas bagi agama kebenaran. Antara agama-agama tersebut adalah seperti agama orang-orang Mesir Purba yang menyembah Fir’aun, agama-agama para rasul terdahulu yang menyembah berhala dan sebagainya.

Terdapat juga agama-agama rekaan yang lain samada di Timur mahupun di Barat. Antara agama yang terkenal adalah:

Agama Orang-orang Yunani Kuno. Mereka menyembah 12 jenis tuhan atau dewa yang paling utama yang dikenali sebagai 12 Olympians iaitu:

• Zeus: raja segala dewa atau tuhan yang menguasai langit. Suami kepada Hera dan ayah kepada Athena, Apollo, Artemis, Hermes, Persephone, Dionysus dan Heracles
• Hera: Dewi yang merupakan isteri Zeus
• Poseidon: Dewa laut dan kuda. Ayah kepada Theseus dan Perseus.
• Demeter: Dewi yang mengawal musim
• Ares: Dewa Perang. Ayah kepada Cycnus dan Eros (dewa cinta)
• Hermes
• Apollo: Dewa matahari, kebenaran dan sebagainya.
• Artemis: Dewi
• Aphrodite: Dewi cinta dan kecantikan. Ibu kepada Eros, dewa cinta.
• Hephaestus: Dewa gunung berapi
• Athena: Dewa Kebijaksanaan dan Peperangan
• Hestia: Dewi rumah

Antara dewa-dewa lain adalah Hades yang merupakan Dewa bawah tanah (undergroud) semacam alam akhirat bagi roh-roh.

Adapun “makna kehidupan” dalam agama Yunani Kuno ini tidak jelas. Seperti agama-agama lain, konsep menyembah tuhan-tuhan mereka adalah antara inti ajarannya. Mereka menyembelih haiwan sebagai hadiah kepada dewa-dewa yang dilakukan di temple. Selain di temple (kuil), mereka juga mengadakan upacara keagamaan di tempat-tempat ibadat yang disebut sebagai oracles. Namun, konsep banyak tuhan atau banyak dewa merupakan antara kerapuhan utama agama ini disertai dengan mitos-mitos. Mereka juga percaya tentang konsep hidup selepas kematian iaitulah manusia akan berada di Bawah Tanah (underground) selepas kematian.

Agama Yunani Kuno ini tidak memberi suatu makna kehidupan yang lengkap, jelas dan menyeluruh sehingga menyebabkan ramai ahli pemikir Yunani mencetuskan falsafah sendiri dalam menjawab persoalan-persoalan asasi bagi manusia termasuklah dalam memberi makna kehidupan di dunia.

Dalam agama Zoroastrianism yang dinisbahkan kepada Zoroaster pula, ia menekankan konsep ketuhanan Ahura Mazda sebagai pencipta alam ini. Maka, semua orang perlu menyembahnya. Manusia pula diberi kebebasan memilih, maka mereka bertanggungjawab atas pilihan moral mereka. Namun, tiada ajaran yang lengkap dalam menjalani kehidupan secara menyeluruh.

Makna kehidupan dalam agama Hindu berkait rapat dengan konsep karma (tindakan), samsara (kitaran kelahiran dan kelahiran semula) dan moksha (pembebasan atau kemerdekaan). Konsep kitaran hidup dalam agama Hindu dikenali sebagai Samsara, iaitu roh hidup secara kitaran dengan suatu kelahiran, kematian dan kelahiran semula. Kualiti kehidupan seterusnya bergantung kepada hukum Karma di mana jika seseorang melakukan kebaikan sebelum mati, maka kelahiran semula akan lebih berkualiti, begitulah sebaliknya.

Maka, kehidupan ini adalah untuk mendapat kehidupan yang lebih baik pada kali yang seterusnya sehinggalah mendapat pembebasan daripada kitaran kehidupan ini dengan mencapai tahap Moksha (bebas atau cuti).

Maknanya, seseorang yang mati akan lahir semula dalam badan yang baru dan proses ini dipanggil sebagai Reincarnation. Kualiti hidup seterusnya adalah bergantung kepada kebaikan dan keburukan kehidupan sebelumnya (Karma). Samada seseorang itu akan lahir dengan kehidupan yang lebih baik, atau kehidupan yang kurang baik atau lahir sebagai binatang, yang mana ukurannya kembali kepada hukum Karma itu sendiri.

Tujuan tertinggi bagi sesuatu roh itu adalah untuk mencapai pembebasan mutlak daripada kitaran hidup ini dan bebas daripada Karma ini. Pembebasan ini dikenali sebagai Moksha. Setiap roh yang semakin baik dan memperbaiki diri sehingga mendapat kehidupan yang semakin baik di masa hadapan bererti sudah hampir kepada kemuncak pembebasan atau Moksha. Ia merupakan kemuncak kematangan kerohanian yang tidak lagi berkehendak kepada kehidupan yang palsu tersebut. Lalu, roh tersebut sudah hilang identiti dirinya sendiri (lupa diri) dan mahukan tuhan sahaja. Maka, pada peringkat ini, sesuatu roh itu akan terkeluar daripada kitaran kehidupan (Samsara) tersebut kemudian menjadi merdeka atau mencapai Moksha (kemerdekaan roh dari Samsara dan Karma).

Mereka juga mempunyai konsep ketuhanan tersendiri seperti Trimurthi iaitu tuhan Brahma (pencipta), Vishnu (pentadbir dan pemelihara) dan Shiva (pemusnah dan kelahiran semula). Di samping itu juga, orang-orang Hindu mempunyai empat tujuan hidup yang asas (purusharthas) iaitu:

• Drahma: Menghargai hidup
• Artha: Mengejar keuntungan material dengan cara yang sah
• Kama:Mencapai kesenangan pancaindera
• Moksha: bebas daripada kelahiran semula

Maka, antara tugas-tugas harian seorang Hindu adalah:

• Memuja para dewa
• Menghormati para moyang terdahulu
• Menghormati semua kewujudan
• Memuliakan semua manusia

Konsep ketuhanan yang menjadi asas kepada kelazatan sesuatu “makna kehidupan” itu sendiri dalam agama Hinduisme tidak tepat, malah merumitkan. Pelbagai mitos dan kepercayaan yang karut-marut tentang tuhan-tuhan mereka. Begitu juga dengan konsep kitaran hidup yang tidak memberi suatu makna kehidupan yang meyakinkan. Apatah lagi konsep kehidupan semula tersebut menafikan keunikan atau keistimewaan setiap manusia antara satu sama lain. Kemudian di Akhirat nanti, setiap roh itu akan dibangkitkan dengan jasad yang mana satu, kerana roh tersebut pernah hidup dalam banyak jasad. Mengikut jasad yang mana yang akan diperhitungkan pula?

Agama Budha juga mempunyai konsep Karma dan konsep lain seperti Nirvana. Nirvana adalah suatu peringkat kerehatan daripada Dukka, iaitu kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Antara cara untuk mencapai tahap Nirvana adalah:

• Kefahaman yang benar
• Fikiran yang benar
• Perkataan yang benar
• Perbuatan yang benar
• Corak hidup yang benar
• Usaha keras yang murni
• Kesedaran yang benar
• Penghayatan yang benar

Bagi masyarakat Arab Jahiliyyah pula, kebanyakan daripada mereka menyembah berhala-berhala. Ada berhala yang mereka sembah diperbuat daripada batu, kayu mahupun daripada buah kurma. Antara berhala-berhala utama yang mereka sembah adalah Al-Latta, Al-Uzza, Al-Manat dan AL-Hubal. Di samping itu juga, mereka mendakwa menyembah Allah s.w.t. tetapi menjadikan tuhan-tuhan lain sebagai sembahan untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t..

Dari segi makna kehidupan, maka mereka tidak pernah memikir mengenainya kerana masyarakat Arab Jahiliyyah lebih cenderung mengamalkan corak kehidupan yang bebas untuk memuaskan nafsu sendiri. Bahkan, mereka menafikan terus kehidupan Akhirat dengan mendakwa kehidupan hanyalah kehidupan di dunia sahaja, dan tidak akan dibangkitkan semula setelah mati. Maka, hidup ini kosong daripada nilai ujian dan tanggungjawab daripada Tuhan.

Dalam agama Judaisme (bangsa Yahudi) juga mempunyai konsep penyembahan kepada satu tuhan yang Maha Benar. Namun, bagi Tuhan tersebut, hanya ada satu sahaja bangsa pilihanNya yang disayangi olehNya iaitulah bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan.

Agama tersebut mempunyai ajaran-ajaran daripada Taurah yang disampaikan oleh Nabi Musa a.s. lalu banyak diubahsuai oleh para Rabbi (ahli agama Yahudi) sehingga banyak menyalahi ajaran asal Nabi Musa a.s..

“Makna kehidupan” dalam agama Judaisme juga adalah untuk menyembah satu Tuhan yang Maha Esa dan bersedia untuk hari Akhirat. Namun, makna kehidupan dalam agama Judaisme tidak dapat dipraktikkan oleh selain bangsa Yahudi kerana ajaran mereka terbatas kepada bangsa mereka sahaja yang mana menurut mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan.

Namun, ajaran-ajaran dan syariat Nabi Musa a.s. sudah banyak diubah oleh sebahagian para Rabbi (Ahlul-Kitab) sehingga tidak lagi bersesuaian dengan kehendak asal syariat Allah s.w.t. kepada mereka. Maka, setelah kedatangan Islam, mereka diseru untuk memeluk agama Islam yang membenarkan ajaran asal Nabi Musa a.s. kerana hanya Islam sahaja agama yang diredhai oleh Allah s.w.t. buat umat manusia akhir zaman.

Agama Kristianiti (Christianity) iaitu agama bagi orang-orang Kristian walaupun dikatakan sebagai cabang daripada agama Judaisme, namun prinsip-prinsip ajarannya banyak sudah berubah termasuklah berkaitan “makna kehidupan” itu sendiri.

Pada asalnya, Nabi Isa a.s. diutuskan oleh Tuhan yang Maha Benar (Al-Haq) kepada bangsa Yahudi agar mereka kembali kepada syariat Tuhan yang sebenar, setelahmana mereka mengamalkan syariat rekaan mereka sendiri yang diubah daripada ajaran Nabi Musa a.s.. Namun, seruan Nabi Isa a.s. tidak diterima melainkan oleh sebilangan kecil sahaja daripada bangsa Yahudi yang dikenali sebagai Al-Hawariyyun (atau Disciples).

Setelah Nabi Isa a.s. diangkat ke langit dan dianggap mati oleh bangsa Yahudi yang menolak baginda a.s., seorang Yahudi bernama Saul yang merupakan salah seorang ahli agama Judaisme yang menolak Nabi Isa a.s., mula mendakwa dirinya sebagai pengganti Nabi Isa a.s. dan penerus kepada ajaran Nabi Isa a.s..

Malah, Saul yang kemudiannya dikenali sebagai Paul membuka ajaran agama tersebut kepada bangsa bukan Yahudi agar pengikutnya bertambah. Lalu, agama tersebut dikenali sebagai agama Kristianiti kerana Paul menisbahkannya kepada Nabi Isa a.s. atau Jesus Christ. Namun, ajaran Nabi Isa a.s. yang pada awalnya menekankan konsep kehambaan diri kepada Tuhan yang Maha Esa mula diubah oleh Paul kepada konsep “dosa warisan” dan penebus dosa.

Nabi Isa a.s. dikatakan sebagai anak Tuhan (atau tuhan anak) yang diutuskan oleh tuhan bapa (God the Father) untuk menebus dosa seluruh umat manusia yang mewarisi dosa Nabi Adam a.s. yang memakan buah larangan sewaktu di syurga. Maka, “makna kehidupan” dalam ajaran Kristianiti yang dibawa oleh Paul seolah-olah berkisar tentang Nabi Isa a.s. dijadikan penebus dosa manusia. Sesiapa yang percaya dengan ketuhanan Jesus (Nabi Isa) dan beriman bahawasanya Nabi Isa mati untuk dosa kita, maka dialah yang akan selamat dari api neraka (konsep salvation).

Paul juga menekankan konsep keagamaan hanya bergantung kepada kepercayaan bukan pada amalan, yang menghilangkan konsep asas ajaran samawi iaitulah “ibadah” dan penyembahan kepada Tuhan yang Maha Esa melalui amal soleh. Paul diangap sebagai penyeleweng bagi agama asal Nabi Isa a.s. lalu orang-orang Kristian sehingga hari ini telah sesat kerana mengikuti agama rekaan Paul yang dinisbahkan secara dusta terhadap Nabi Isa a.s..

Oleh yang demikian, kebanyakan orang-orang Kristian sendiri keliru tentang “makna kehidupan” mereka yang sebenar kerana seolah-olah sudut kehambaan sudah tidak dipentingkan lagi malah konsep ketuhanan Trinity yang dipegang oleh ajaran Kristianiti juga mempunyai ketidak-logikannya yang tersendiri.

Mereka mendakwa Nabi Isa a.s. selaku tuhan mati untuk mengampuni dosa seluruh manusia. Persoalannya: “Kalau semua dosa sudah diampunkan, maka semua orang akan buat jahat dan tidak mahu bertaubat”.

Mereka jawab: “maksud kami, dosa warisan yang manusia warisi dari Nabi Adam a.s..”. Kita tanyakan: “Jadi, dosa semua manusia sudah diampunkan dengan kematian Nabi Isa a.s.. Maka, apa guna jadi orang Kristian lagi, sedangkan semua orang sudah diampunkan dosa warisannya?”

Mereka jawab: “Hanya orang-orang yang percaya Nabi Isa a.s. mati untuk tebus dosa manusia sahaja yang terampun dosa mereka dengan kematian tersebut”. Kita tanyakan: “Andai semua orang dalam muka bumi ini tidak percaya Nabi Isa a.s. mati untuk tebus dosa manusia, maka sia-sialah Nabi Isa a.s. mati di atas salib, sebab tiada siapa yang diampunkan dosanya kerana semua tidak percaya dengan kematian Nabi Isa untuk tebus dosa manusia. Adakah begitu?”

Maka, akhirnya, banyak perkara yang kesamaran dalam Kristianiti termasuklah konsep Trinity itu sendiri.

Makna Kehidupan dalam Falsafah-falsafah
Ketika para pemikir Yunani (Greek) menilai ajaran-ajaran agama Yunani Kuno, maka mereka mendapati dengan penilaian logik akal yang sejahtera, ianya tidak benar. Maka, mereka menolak konsep ketuhanan sekaligus menolak intipati terbesar “makna kehidupan” dalam agama Yunani Kuno.

Maka, jika konsep ketuhanan yang dipegang oleh masyarakat Yunani Kuno ketika itu dinilai suautu kesalahan, mereka (para pemikir) Yunani perlu mencari “makna kehidupan” yang lain berbanding apa yang diajar oleh agama Yunani Kuno tersebut. Lalu, idea-idea mereka dalam menjawap persoalan asasi manusia tersebut dikenali sebagai falsafah.

Bagi falsafah Platonism yang dipelopori oleh Plato, makna kehidupan adalah untuk mendapat kemuncak ilmu pengetahuan yang tertinggi iaitulah mengetahui makna (idea) bagi kebaikan dari segenap kelakuan yang baik dan keadilan. Manusia itu bertanggungjawab dalam kehidupan untuk melakkan kebaikan, namun tiada siapa yang boleh melakukan kebaikan tanpa sebab kefalsafahan (tanpa sebab yang lahir daripada pemikiran) yang membawa kepada pengetahuan yang benar. Maka, makna kehidupan bagi Platonism adalah melakukan kebaikan melalui penghayatan terhadap falsafah.

Makna kehidupan yang digariskan oleh Plato hampir sama dengan idea Socrates, guru kepada Plato yang sangat menekankan kepentingan akhlak atau moral.

Makna kehidupan di sisi falsafah Aristotelianism yang dipelopori oleh Aristotle pula berbeza dengan apa yang dijelaskan oleh gurunya iaitu Plato kerana Aristotle menganggap akhlak atau etika hanyalah suatu pengetahuan am yang tidak menjawab persoalan-persoalan asasi manusia yang menjadi nadi bagi “makna kehidupan” manusia.

Aristotle melihat secara lebih fokus di nama makna kehidupan berkait rapat dengan perbahasan-perbahasan yang lebih tinggi kerana nilai kebaikan itu sendiri menurut beliau kembali kepada persepsi masing-masing sehingga baginya, setiap perkara yang dilakukan dengan sesuatu matlamat maka matlamat tersebut itu adalah kebaikan. Maka, Aristotle lebih mengaitkan kebaikan pada tujuan sesuatu itu dilakukan, bukan apa yang dilakukan. Mungkin kebaikan bagi sesuatu pihak bercanggah dengan kebaikan pihak yang lain.

Maka, di sisi Aristotle, hidup ini lebih daripada untuk melakukan kebaikan, tetapi adalah untuk mendapatkan kebaikan itu sendiri. Maka, ini dipanggil sebagai kebaikan yang tertinggi juga dikenali sebagai kebahagiaan. Maka, makna hidup ini adalah untuk mencari “kebahagiaan”.

Banyak ahli falsafah Yunani kemudian mengaitkan kebahagiaan yang menjadi makna kehidupan tersebut adalah dengan memuaskan nafsu diri sendiri sebagaimana difahami oleh Epicurus yang menolak langsung konsep keabadian hidup (selepas mati) dan konsep kerohanian.

Bagi falsafah Stoicism pula, hidup ini perlu mengikut tujuan untuk membawa keharmonian dalam alam ini. Makna kehidupan di sisi falsafah ini adalah kebebasan daripada penderitaan melalui apatheia iaitu: menetapkan tujuan, menilai dengan penilaian yang jelas dan tidak berbeza dengan yang lain.

Maknanya untuk mendapat kebebasan daripada penderitaan yang merupakan makna kehidupan, seseorang perlu melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu, melalui penilaian yang jelas yang mana ianya tidak menyebabkan ada ruang-ruang yang membawa kepada penderitaan.

Setelah dunia Barat berkembang, mereka meneruskan tradisi pertembungan dengan keagamaan dan konsep ketuhanan. Kalau para sarjana dan para pemikir Barat kuno bertembung dengan mitos-mitos ajaran Agama Yunani Kuno, maka para sarjana dan pemikir Barat Moden bertembung dengan ajaran agama Kristian (khususnya Katolik) pada ketika itu. Maka, ia melahirkan falsafah-falsafah baru yang dikenali sebagai falsafah-falsafah Pencerahan (Enlightenment).

Bermula dengan falsafah Liberalism Klasik, ia menjadikan matlamat hidup terpenting adalah kebebasan individu itu sendiri. Maka, “makna kehidupan” berkait rapat dengan kebebasan secara individu. Ia dikembangkan oleh beberapa tokoh antaranya John Locke dan Adam Smith dengan penekanan-penekanan yang berbeza-beza.

Immanuel Kant pula melihat “makna kehidupan” dari sudut tanggungjawab moral yang lahir daripada konsep tugas individu tersebut berdasarkan prinsip kemasyarakatan sejagat. Maksudnya, ukuran tanggungjawab moral tersebut diukur dengan ukuran “jika semua orang melakukannya, apa kesannya?”. Jika kesannya baik, maka menjadi tanggungjawab setiap individu melakukannya, begitulah sebaliknya. “Makna kehidupan” sebegini juga tidak lengkap kerana ukuran sesuatu tanggungjawab tersebut tidak bersumberkan suatu yang jelas.

Pada kurun ke-19 pula, muncul falsafah-falsafah baru seperti Utilitarianism yang menekankan maksud kehidupan adalah mengikut prinsip kebahagiaan yang terbaik. Prinsip yang dimaksudkan adalah: kebaikan itu ialah apa sahaja yang membawa kebahagiaan tertinggi untuk bilangan manusia yang terbanyak. Maknanya, “makna kehidupan” adalah memberi kebaikan kepada golongan majoriti.

Falsafah Marxism dan Komunis pula meletakkan “makna kehidupan” sebagai: membantu satu sama lain dengan keamanan dan penuh integriti dengan meletakkan konsep persamaan dan keadilan. Namun, perlu diingat bahawa, bukan semua persamaan itu adalah keadilan. Ini menyebabkan “makna kehidupan” di sisi falsafah Marxism tidak tepat.

Berbeza dengan falsafah Nihilism (Friedrich Nietzsche sebagai pelopornya) yang terus menafikan kewujudan “makna” di sebalik kehidupan ini. Bahkan, ia menolak sebarang nilai kebenaran dan sebagainya.

Pada kurun ke-20 pula, falsafah-falsafah moden mula berkembang. Antaranya adalah falsafah Pragmatism yang mengganggap lebih penting mencari apa yang “dapat dimanfaatkan atau digunakan” dalam kehidupan ini daripada mencara “makna kehidupan” yang tidak begitu menguntungkan. “Makna kehidupan” bagi golongan ini adalah suatu yang hanya boleh didapati melalui pengalaman seseorang. Maka, berbeza pengalaman seseorang, berbezalah “makna kehidupan” di sisi masing-masing.

Falsafah Existentialism juga menekankan bahawasanya, setiap manusialah yang “menciptakan” makna kehidupan mereka sendiri, bukan ianya ditentukan oleh pihak lain samada tuhan atau sebagainya. Manusia bebas menentukan “makna kehidupan” sendiri. Maka, mereka hanya bergantung kepada akal untuk memahami hakikat hidup.

Golongan yang berpegang dengan falsafah Humanism Sekular juga menganggap manusia menentukan tujuan (makna hidup) mereka sendiri tanpa pengaruh dari luar (tuhan atau supernatural).
Golongan Humanis ini mempromosikan konsep kepentingan diri dan kelakuan baik kepada sesama manusia. Kebahagiaan secara individu hanya diperolehi melalui penekanan aspek kemanusiaan dalam sesama manusia. Maka, kebahagiaan individu berkaitan dengan kebahagiaan masyarakat keseluruhan kerana manusia hidup dalam keadaan bermasyarakat.

Malah, menurut sesetengah ahli falsafah Humanis ini, apa yang lebih penting bukan mengenai “apa makna kehidupan ini?” tetapi perlu lebih spesifik seperti menjawab persoalan: “Apa yang menghalang keseronokan saya?” dan sebagainya.

Lebih mengelirukan lagi adalah seperti dalam falsafah Logical Positivism yang menjawab persoalan: “apakah erti kehidupan?” dengan persoalan: “apakah tujuan pertanyaan tersebut? Jika tiada nilai objektif (tujuan) bagi persoalan tersebut, maka adakah kehidupan ini sebenarnya tiada makna?

Sudah tentulah persoalan mengenai makna kehidupan itu mempunyai nilai objektif yang tertinggi iaitulah untuk menghayati kehidupan dengan penuh makna dan mengisi kekosongan perspektif terhadap kehidupan dengan hakikat dan kebenaran. Seseorang yang berjalan tanpa arah tujuan merupakan seseorang yang tiada nilai objektif dalam dirinya. Seseorang yang berjalan dengan tujuan adalah seseorang yang mempunyai nilai objektif dalam dirinya. Maka, kehidupan yang merupakan suatu perjalanan yang lebih luas, tanpa mengetahui tujuannya merupakan suatu sia-sia (tiada nilai objektif) yang terbesar bagi manusia.

Ada juga manusia yang seolah-olah putus asa terhadap mencari “makna kehidupan” yang sebenar lalu mendakwa kehidupan ini tidak ada maknanya sama sekali. Seorang ahli falsafah Perancis, Albert Camus (m: 1960M) berkata:

“Hidup ini boleh dinikmati secara lebih baik jika ianya tiada makna sama sekali”. [Albert Camus pada Internet Encyclopedia of Philosophy 25 Mei 2009]

Keletihan dan putus asa daripada mencari makna kehidupan sebenar adalah kerana tidak mempunyai sumber rujukan yang benar bagi menjawab persoalan asasi dengan jawapan yang benar lantara memberi “makna kehidupan” yang hakiki.

Makna Kehidupan yang Hakiki
Tanpa menafikan wujudnya pelbagai “makna kehidupan” berdasarkan pelbagai sumber, namun sudah pasti hanya satu sahaja “makna kehidupan” yang sebenar, yang dimaksudkan oleh Tuhan yang Maha Benar, di sebalik penciptaan manusia. Ini suatu hal yang tidak dapat dinafikan lagi.

Persoalan yang paling utama adalah: “Mengapa perlu memahami makna kehidupan yang hakiki?”.

Benar. Banyak “makna kehidupan” yang dibentangkan sebelum ini dan yang boleh dipilih sendiri oleh akal manusia, namun mengapa harus mengetahui “makna kehidupan yang hakiki?”. Bukankah dengan menjalani kehidupan mengikut tujuan dan kehendak diri sendiri adalah lebih mudah?

Inilah yang perlu dijawab dengan kefahaman yang benar. Memang benar, hampir setiap manusia dengan akalnya boleh membayangkan suatu makna kehidupan secara fantasi lalu dengan menterjemahkan makna tersebut, ianya lebih mudah. Namun, “makna” itu sendiri adalah suatu yang wujud secara hakiki yang kita perlu memahaminya “secara hakikatnya”, bukan sekadar persepsi.

- Sebab Pertama:

Seseorang yang menaiki keretapi yang sedang bergerak laju, tatkala menoleh ke arah pintunya yang sedang terbuka, lalu melihat luar keretapi tersebut, dengan semangat menafikan kewujudan “graviti”, lalu beliau melompat keluar daripada keretapi tersebut. Maka, apakah kesannya?

Sudah tentu, persepsinya bahawa “tiada graviti” tidak menyelamatkannya daripada kecederaan hasil melompat daripada keretapi yang sedang bergerak laju.

Begitu juga seseorang yang sedang berada di tepi jalan raya lalu melihat kesibukan lalu lintas berpersepsi bahawasanya dirinya “kebal” lalu melintas jalan sehingga dilanggar keretan yang sedang laju. Persepsi palsunya terhadap dirinya yang “kebal” tidak menyebabkan dia tidak cedera setelah dilanggar kereta yang laju kerana persepsinya tidak mengikut realiti dirinya yang sebenar.

Hidup ini begitu juga, iaitu suatu hakikat atau realiti yang lebih besar. Untuk selamat dalam kehidupan dan mencapai kebahagiaan, seseorang perlu menjalani kehidupan dengan makna kehidupannya yang sebenar, bukan dengan khayalan dirinya sendiri.

- Sebab Kedua:

Kita sendiri tidak pernah memilih untuk lahir dalam kehidupan di dunia ini. Ini menunjukkan adanya kuasa di sebalik kewujudan kita yang memilih kita untuk hidup dalam kehidupan kita. Maka, sudah tentu kita yang tidak pernah memilih untuk hidup di dunia ini, tidak tahu hakikat atau makna kehidupan kita yang sebenar, kerana bukan kita yang memilih untuk hidup di dunia ini.

Maka, sudah pasti jawapan mengenai “makna kehidupan” hanya pada Tuhan yang Maha Benar yang telah menciptakan kita dan seluruh alam ini. Dialah yang menciptakan kita, maka Dialah yang lebih mengetahui tujuan Dia menciptakan kita. Makna kehidupan berkait rapat dengan tujuan Dia menciptakan kita sebagaimana yang Dia sendiri terangkan.

- Sebab Ketiga:

Setiap kehidupan menuju kepada kematian. Kematian itu adalah suatu kebenaran dan realiti. Kehidupan yang melalaikan kita daripada mengingati hakikat kematian adalah suatu kepalsuan dan khayalan. Maka, dengan memahami bahawasanya setiap manusia akan mati, kita perlu tahu untuk apa kita mati dan apa persediaannya di samping mengetahui apakah yang sebenarnya di sebalik kematian?

Maka, seseorang apabila faham hakikat diri yang akan mati, pasti ingin mati dalam keadaan yang diingini oleh Tuhan yang Maha Pencipta. Maka, sudah pasti, dalam banyak-banyak persepsi dan ajaran tentang hidup setelah kematian, kita perlu mengetahui atau mempercayai satu konsep ajaran hidup setelah kematian yang tepat agar kita tidak menuju hari setelah kematian dengan jalan yang salah. Hanya dengan mengetahui “makna kehidupan” yang hakiki seseorang itulah dapat mencapai kemuncak kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan di akhirat.

Seseorang bertanggungjawab terhadap pilihannya. Maka, jika seseorang menjalani kehidupan dengan makna yang palsu, maka kematian akan membawa dirinya kepada kesengsaraan kerana tidak memahami konsep hidup setelah kematian dengan makna yang sebenar. Maka, kehidupan setelah kematian itu hanyalah ada satu hakikat sahaja, maka pastikanlah kit memilih “makna sebenar” dalam kehidupan ini agar ianya selari dengan hakikat setelah kematian, agar kita tidak menyesal di akhirat nanti.

Sumber Ilmu Tentang Makna Kehidupan yang Hakiki
Kita yang diciptakan, bahkan seluruh alam ini yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Benar, maka sudah tentulah Dia adalah sumber untuk kita memahami hakikat makna kehidupan kita.

Allah s.w.t. yang menjadikan kita dengan segenap potensi dan persediaan dalam diri kita, lalu diletakkan kita di dalam dunia yang dijadikan dengan penuh warna-warnanya, adalah sumber terutama untuk kita mendapat jawapan bagi persoalan-persoalan asasi kita. Untuk mendapat makna kehidupan yang hakiki, kita perlu mengenal dua perkara yang paling utama iaitu:

• Mengenal hakikat diri sendiri
• Mengenal hakikat ketuhanan Allah s.w.t..

Daripada dua pengenalan ini, kita akhirnya mengenal sebuah kehidupan yang merupakan suatu hubungan antara kedua-dua hakikat tersebut. Maka, pandangan kita sudah melihat kepada kehidupan menerusi konteks hubungan yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. di sebalik penciptaan kita. Maka, dari situlah kita mengenali erti dan makna kehidupan.

Ajaran Islam Pedoman terhadap Makna Kehidupan Hakiki
Allah s.w.t. yang Maha Mengetahui tentang hakikat kehidupan kita, mengutuskan Rasulullah s.a.w. sebagai utusanNya yang terakhir dengan risalah dan pedoman yang lengkap buat seluruh manusia di akhir zaman. Maka, ajaran dan risalahnya mengandungi jawapan-jawapan utama terhadap segala persoalan-persoalan asasi manusia, samada berkaitan dengan diri sendiri mahupun berkaitan dengan kehidupan dan ketuhanan.

Ajaran Rasulullah s.a.w. mengajarkan manusia tentang makna kehidupan daripada segenap ajarannya samada menerusi aqidah, syariat mahupun akhlak Islam. Daripada ketiga-tiga ajaran tersebutlah, akhirnya seseorang dapat mengenali diri sendiri, mengenali Allah s.w.t. seterusnya mengenali kehidupan seluruhnya.

Islam menyediakan sebuah pakej yang lengkap dalam menyelesaikan segenap persoalan-persoalan asasi manusia seperti:

Kita berasal dari mana?
Kenapa kita hidup di dunia?
Ke mana kita setelah mati?

Dan sebagainya…

Ianya terjawab daripada pengetahuan asas yang disampaikan oleh Al-Qur’an yang menyebut:

“Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembahKu…” (Surah Az-Zariyat: 56)

Dalam ayat berikut sedikit sebanyak menjawab persoalan dari mana asal kita, iaitulah dari Dia yang menyebut “AKU” dalam ayat tersebut, iaitulah Allah s.w.t., Tuhan semesta alam ini. Ayat ini juga menjawab tujuan kehidupan kita di dunia ini adalah untuk mengabdikan diri dan menyembah Allah s.w.t..

Cara untuk melaksanakan pengabdian tersebut adalah dengan melaksanakan syariat Islam yang terkandung dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Maka, dengan melaksanakan syariat Islam, seseorang dapat menterjemahkan hakikat kehambaan dirinya dalam bentuk praktikal. Barangsiapa yang memilih untuk mentaati Allah s.w.t. dan melaksanakan tanggungjawab kehambaannya kepada Allah s.w.t., maka Allah s.w.t. menjanjikan syurga dan redha Allah s.w.t. buatnya sedangkan sesiapa yang memilih untuk menderhakai Allah s.w.t. dan tidak mahu melaksanakan tanggungjawabnya sebagai hamba, maka Allah s.w.t. menjanjikan kemurkaan serta siksa.

Makrifah An-Nafs: Asas dalam Mengenal Kehidupan
Seseorang tidak mampu memahami hakikat kehidupan yang lebih luas sekiranya tidak menghayati makna dan hakikat dirinya sendiri. Ini kerana, mengenal diri sendiri adalah asas kepada mengenal erti hidup sendiri. Kehidupan ini suatu hubungan antara diri kita sendiri dengan Tuhan yang telah menciptakan kita sebagai hamba-hambaNya. Namun, jika kita tidak melihat diri kita selaku hamba-hambaNya, maka, kita tidak dapat melihat kehidupan kita dengan maknanya yang sebenar, iaitu suatu ruang untuk menterjemahkan kehambaan kita kepadaNya.

Seorang anak jika tidak menghayati dirinya sebagai seorang anak, tidak akan melayan ayahnya dengan penuh penghargaan sebagai anak, malah tidak menghargai hubungan kekeluargaan antaranya dengan ayahnya. Hanya dengan kesedaran bahawasanya dirinya adalah seorang anak, yang berasal dari seorang ayah, maka barulah si anak tersebut mula menghargai hubungan kekeluargaan antara dirinya dengan ayahnya. Barulah ketika itu dia mengenal erti keluarga dan menghayatinya.

Kehidupan adalah suatu hubungan yang lebih luas, antara dua makna yang lebih luas, maka menjadikan ia (kehidupan) suatu makna yang sangat luas. Kehidupan adalah hubungan antara makna ketuhanan dengan makna kehambaan. Maka, penghayatan kita terhadap makna kehambaan diri sendiri membantu kita melihat ketuhanan Allah s.w.t. melalui hubungan kehambaan tersebut.

Seseorang anak yatim yang tidak pernah melihat ayahnya juga mampu tumbuh rasa kerinduan kepada ayahnya daripada rasa dirinya sebagai seorang anak kecil yang berasal daripada seorang ibu dan ayah. Bagaimana kita tidak melihat seluruh hubungan sesama makhluk ini sebagai tanda wujudnya hubungan semua makhluk tersebut dengan Tuhan yang Maha Menghubungkan antara sesama makhluk?

Satu-satunya sebab yang menghijab kita daripada “makna” ini adalah kerana kita tidak menghayati makna kehambaan dalam diri kita yang dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai cermin bagi Allah s.w.t. menjelmakan makna ketuhananNya padanya. Hanya kerana kita tidak melihat pada cermin kehambaan tersebut dalam diri kita, maka tidak terzahir pantulan makna ketuhanan Allah s.w.t. dalam cermin kehambaan tersebut.

Sebenarnya, semakin seseorang hamba tersebut melihat dirinya dalam cermin kehambaan diri, semakin dia melihat tajalli (penjelmaan) sifat-sifat ketuhanan dan kesempurnaan Allah s.w.t.. Apabila dia mengerjakan solat dengan penuh kehambaan, maka rasa hina lahir dalam diri seraya merasakan kalau bukan Allah s.w.t. yang memilihnya untuk mengerjakan solat, nescaya dia tidak akan mampu untuk solat. Maka, ibadahnya membawanya kepada pilihan Allah s.w.t. terhadap dirinya. Ini antara makna yang kita cuba sampaikan tentang melihat Allah s.w.t. melalui hubungan kehambaan kita kepadaNya.

Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kewujudan dan kekuasaan) Kami pada segala wilayah bumi (alam) dan dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahawa Ia/Dia itu adalah benar….” (Surah Fusshilat: 53)

Menurut Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya: “Dia” dalam ayat tersebut boleh membawa kepada empat maksud iaitu samada maksudnya adalah Al-Qur’an, atau Ar-Rasul, Tauhid ataupun Allah s.w.t. itu sendiri [rujuk AnwarAt-Tanzil]. Maka, dalam konteks perbahasan ini, kita mengambil maksud Allah s.w.t. kerana ia berkaitan dengan perbahasan kita. Imam Ibn ‘Ajibah memberi tafsiran isyari seperti itu juga di mana alam ini menunjukkan tanda kewujudan kita sedangkan diri kita menunjukkan kepada diri kita tentang kewujudan Allah s.w.t. yang Maha Benar [rujuk Al-Bahr Al-Madid].

Maksudnya, dalam diri seseorang punh ada tanda-tanda bagi kekuasaaan dan kewujudan Allah s.w.t.. Maka, mengapa seseorang itu tidak melihat dirinya sebagai tanda kewujudan Allah s.w.t.? Ini kerana, dia sibuk melihat kewujudan dirinya yang tersendiri ketika melihat dirinya, tanpa melihat asal dirinya dan segala sifat-sifatnya daripada Allah s.w.t..

Makrifah Ar-Rasul: Asas Penyempurnaan Sebuah Perhubungan
Seseorang yang ingin menyempurnakan kehambaan dirinya dengan Allah s.w.t. melalui pengabdian yang sempurna perlulah mencontohi Rasulullah s.a.w. dalam urusan ibadah dan adab dalam melakukan ibadah.

Oleh yang demikian, kita sangat perlu mengenali Rasulullah s.a.w. samada menerusi Sunnah mahupun sirah Baginda s.a.w., samada dari sudut ibadah Baginda s.a.w. mahupun dari segenap sudut kehidupan Baginda s.a.w., kerana dalam diri Baginda s.a.w. ada contoh yang baik dan sempurna serta adab kehambaan yang teragung.

Ibadah yang khusus perlulah mengikut cara Rasulullah s.a.w. sedangkan ibadah yang umum boleh dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat yang tidak bercanggah dengan ajaran Islam. Inilah Sunnah Rasulullah s.a.w. yang berupa manhaj yang agung. Kesempurnaan Rasulullah s.a.w. bukan sahaja pada sudut penciptaan zahir Baginda s.a.w. sahaja, malah dari sudut kehambaan dalam diri Baginda s.a.w. juga.

Oleh sebab itulah, seseorang yang ingin menyempurnakan adab kehambaan dirinya kepada Allah s.w.t. perlu mencontohi adab Baginda s.a.w. sebagai hamba paling sempurna di hadrah Allah s.w.t.. Seseorang yang ingin melihat contoh cinta Allah s.w.t. kepada para hambaNya juga boleh melihatnya pada kehidupan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a. yang berada di sekeliling Rasulullah s.a.w. yang diberkati kerana hidup di samping Rasulullah s.a.w. lalu mengikuti Baginda s.a.w..

Makna kehambaan tertinggi ada pada interaksi Rasulullah s.a.w. kepada Allah s.w.t. dalam segenap kehidupan Baginda s.a.w. sedangkan makna ketuhanan Allah s.w.t. ada pada interaksi Allah s.w.t. kepada Rasulullah s.a.w. samada melalui kalam Allah s.w.t. kepada Baginda s.a.w. ataupun melalui pertolongan dan bantuan Allah s.w.t. kepada Baginda s.a.w. dalam segenap urusan Baginda s.a.w..

Daripada mengenali bagaimana Rasulullah s.a.w. merealisasikan tugas kehambaan Baginda s.a.w. kepada Allah s.w.t., maka kita sedikit sebanyak dapat berusaha untuk menjadikan Baginda s.a.w. sebagai contoh dalam proses merealisasikan “makna kehambaan” dalam diri kita kepada Allah s.w.t.. Malah, melalui erat hubungan Allah s.w.t. dengan Rasulullah s.a.w., dapat kita berusaha untuk menumpang kasih Allah s.w.t. kepada Baginda s.a.w. dengan menjadi mereka yang hampir dengan Baginda s.a.w. menerusi kecintaan dan mengamalkan sunnah Baginda s.a.w..

Dalam keseluruhan hidup Rasulullah s.a.w. ada “makna kehidupan” hakiki bagi seorang hamba yang hakiki. Maka, Rasulullah s.a.w. mengajar erti kehidupan dengan suri teladan yang agung agar manusia memahami kehidupan dengan perbuatan dan penghayatan. “Makna kehidupan” bukanlah suatu tanggapan, persepsi atau idea semata-mata, malah ianya adalah suatu penghayatan, perealisasian dan pembenaran dalam segenap hidup manusia.

Lihatlah bagaimana kebahagiaan yang dikecapi oleh Rasulullah s.a.w. sewaktu Baginda s.a.w. masih hidup lagi dalam mengharungi liku-liku kehidupan. Baginda s.a.w. tidak pernah memberi barang satu dua alasan kepada diri sendiri untuk mengurangkan ibadah malam dek banyak tugasan di siang hari. Malam dan siang Baginda s.a.w. adalah untuk Allah s.w.t. dan kerana Allah s.w.t.. Betapa padatnya program kehidupan Baginda s.a.w. di siang hari, namun di malam hari masih sempat beribadah kepada Allah s.w.t. sehingga bengkak kedua-dua belah kaki Baginda s.a.w. yang mulia.

Kalaulah ini bukan sebuah makna kehidupan yang hakiki, atau bukan sebuah kehidupan yang penuh dengan makna, maka nescaya hidup ini tiada makna sama sekali. Pada penghayatan Rasulullah s.a.w. terhadap kehidupan Baginda s.a.w. itulah makna kehidupan bagi setiap insan, namun masih adakah yang ingin mengambil pelajaran?

Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud:

“Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad s.a.w.), nescaya Allah akan mencintaimu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu…” (Surah Ali-Imran: 31)

Dalam ayat ini mempunyai makna agung bagi mereka yang mengaku mencintai Allah s.w.t., maka ukuran mereka adalah dengan mengikut Sunnah Baginda s.a.w., iaitu manhaj keseluruhan daripada segenap perbuatan, perkataan dan segala yang dinisbahkan kepada Baginda bukan Sunnah yang difahami oleh sesetengah penuntut ilmu dan orang awam dengan kefahaman yang sempit.

Sunnah Rasulullah s.a.w. yang dimaksudkan adalah merangkumi aqidah murni, ibadah yang penuh kesungguhan mahupun akhlak dan adab yang tinggi yang dimiliki oleh Baginda s.a.w. itu sendiri.

Makrifah Allah (Mengenal Allah)
Mengenal Allah s.w.t. adalah memuncak bagi kebahagiaan seseorang hamba Allah s.w.t.. Ianya suatu yang tiada kesudahan kerana kesempurnaan Allah s.w.t. tiada batasannya. Seseorang hamba yang mengenal “makna kehambaan” dirinya lalu menunaikannya dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. secara zahir (rukun qauli dan fi’li) mahupun secara batin (rukun qalbi), maka dia mula menuju Allah s.w.t. dengan perjalanan kerohaniannya.

Perjalanan kerohanian ini suatu perjalanan yang halus dalam menyingkap rahsia-rahsia atau makna-makna yang lahir hasil perhubungan dan interaksi seseorang hamba dengan Tuhannya melalui syariat Muhammad s.a.w.. Maka, syariat tersebut umpama cahaya (Nur) yang menyinari jalan kerohanian menuju Allah s.w.t.. Tanpa cahaya, sudah pasti kita akan kesamaran dalam perjalanan. Maka, dengan cahaya Rasulullah s.a.w. (syariat Islam), kita menuju Allah s.w.t. dengan cara yang diredhai oleh Allah s.w.t. dan RasulNya s.a.w..

Perjalanan dalam menghayati “makna-makna” hubungan yang semakin jauh berjalan, semakin banyak “makna” dihayati, membawa kepada kemurnian tauhid yang hakiki lagi abadi. Tauhid ini adalah tauhid amali, bukan lagi tauhid teori semata-mata yang menjadi medan perdebatan antara golongan-golongan pendebat handalan.

Makrifatullah ini suatu kelazatan iman yang lahir dari kesempurnaan kehambaan dengan bantuan Allah s.w.t. yang Maha Menyempurnakan. Kehambaan yang sempurna bukan bererti tiada lagi ruang melakukan kesalahan, tetapi sentiasa merasakan diri hina dan bersalah di hadapan Allah s.w.t. samada ada melakukan dosa kesalahan ataupun tidak. Inilah rahsia kesempurnaan Rasulullah s.a.w. yang sudah terpelihara daripada dosa, namun sentiasa bertaubat kepada Allah s.w.t. setiap hari lebih seratus kali.

Ma’rifah Allah (Makrifatullah) yang dimaksudkan adalah mengenal Allah s.w.t. dalam bentuk musyahadah (penyaksian) terhadap kesempurnaan ketuhananNya. Ia adalah minuman kerohanian para Muttaqin dan puncak kelazatan para Siddiqin. Mereka adalah golongan yang sudah merasai sedikit sebanyak maksud hadith Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:

“…Jika Aku (Allah) mencintai seseorang hamba, maka Aku jadi pendengaran yang dia mendengar dengannya, penglihatan yang dia melihat dengannya, tangan yang dia menyetuh dengannnya dan kaki yang dia melangkah dengannya…” [Hadith qudsi riwayat Imam Al-Bukhari]

Segala yang dilakukan secara zahir mahupun gerak hati adalah kerana Allah s.w.t., dengan Allah s.w.t. dan pada Allah s.w.t.. Ia adalah kemurnian hamba dalam keagungan Allah s.w.t.. Makna yang dihayati bukanlah makna berbentuk idea semata-mata, tetapi makna dengan segala bentuk penghayatan. Ia adalah makna dalam makna kerana merasai cinta dalam cinta menerusi penyaksian dalam penyaksian.

Mereka juga antara para penghulu cinta yang sudah merasai apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:

“Sebaik-baik perkataan penyair adalah perkataan Labid yang berbunyi: “Semua selain Allah adalah batil…” [Hadith Sahih]

Ma’rifah Al-Hayah (Mengenal Kehidupan)
Islam mengajar erti kehidupan kepada seluruh umat manusia, agar ianya dijadikan pedoman dan panduan, agar mereka tidak tersasar daripada tugas kehambaan, dek lalai dengan kepalsuan duniawi. Maka, kita dapati, samada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, banyak menceritakan tentang hakikat kesementaraan dunia yang fana’ ini.

Oleh yang demikian, Ma’rifah Al-Hayah itu sendiri terbahagi kepada dua dalam Islam iaitu:

1) Ma’rifah Al-Hayah bagi orang-orang awam
2) Ma’rifah Al-Hayah bagi orang-orang bertaqwa

Pertama: Ma’rifah Al-Hayah (Pengenalan tentang Kehidupan) bagi Orang-orang Awam

Islam menyelaraskan sasaran kepada seluruh manusia tetang makna kehidupan yang asas iaitulah sebagai tempat persinggahan yang sementara, lalu kita akan dipindahkan ke alam akhirat nanti. Maka, hidup ini adalah tempat melakukan ibadah dan menunaikan kehambaan kepada Allah s.w.t..

Ma’rifah Al-Hayah jenis pertama ini sebagai asas bagi membentuk suatu perspektif yang jelas dalam kehidupan lalu membawa kepada fokus yang tepat dalam menjalani segenap urusan kehidupan iaitu berpaksikan maksud pengabdian diri kepada Allah s.w.t..

Banyak firman-firman Allah s.w.t. yang menjelaskan tentang “makna kehidupan” asasi ini sebagaimana firman-firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Surah Ali Imran: 185)

Dalam ayat tersebut Allah s.w.t. mengingatkan manusia terlebih dahulu tentang “hakikat kematian” kerana sesiapa yang menjalani kehidupan tanpa menghayati hakikat kematian di sebalik kehidupan bererti dia hidup dalam keadaan penuh kelalaian. Maka, kunci memahami Ma’rifah Al-Hayah yang dijelaskan oleh Islam adalah apabila seseorang itu sentiasa prihatin terhadap keadaan dirinya yang bakal dihadapinya setelah kematiannya.

Maka, Allah s.w.t. mengingatkan juga bahawasanya kematian yang disangka oleh ramai orang jahil sebagai kesudahan bagi kehidupan manusia merupakan suatu proses perpindahan kepada sebuah kehidupan yang lebih luas dan abadi. Maka, dalam kehidupan yang abadi tersebutlah, akan diberi ganjaran bagi setiap amalan yang dilakukan dalam kehidupan dunia yang sementara.

Maka, bagi sesiapa yang dibantu untuk melakukan ketaatan di dunia lalu diberi pelepasan dari neraka di Akhirat kelak seterusnya dimasukkan ke dalam syurga dengan rahmatNya, maka dialah orang yang beruntung. Hakikat kehidupan dunia adalah suatu tempat untuk memilih samada seseorang itu mendapat keuntungan di Akhirat (dengan ketaatan) atau sebaliknya dengan kemaksiatan (Na’uzubillah min Zalik).

Adapun kehidupan di dunia dengan penuh kesenangan duniawi hanyalah suatu tipu daya yang menyebabkan ramai orang gagal dalam kehidupan di Akhirat kerana menjadikan dunia tempat tinggal tetapnya dengan memakmurkannya tanpa menyediakan bekalan untuk kehidupan di Akhirat kelak. Maka, nilai kehidupan bagi orang-orang yang tidak menjalaninya berpaksikan kehambaan hanyalah suatu yang sia-sia bagi mereka malah menjadi penyebab mereka mendapat kedukaan di Akhirat kelak.

Allah s.w.t. berfirman lagi yang bermaksud:

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi ini adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya dengan sebab air itu, tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, maka pemilik-permliknya (tanaman tersebut) menyangka bahawasanya mereka pasti menguasainya (dapat mengambil manfaat daripadanya), namun tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir. (Surah Yunus: 24)

Dalam ayat ini Allah s.w.t. mengingatkan manusia tentang peredaran kehidupan ini, yang dikurniakan segenap nikmat dan anugerah daripadaNya, maka ada sebahagian manusia yang mengambil manfaat daripada kenikmatan tersebut untuk tujuan kebaikan dan ketaatan, sedangkan ramai yang tenggelam hanyut dengan cinta keduniaan, sehingga menumpul harta benda secara haram untuk kepuasan nafsu diri sendiri, lalu di tengah-tengah keasyikan mengejar dunia dan mengumpulnya, lalu dia mati tanpa dapat mengambil manfaat daripada harta-harta yang telah dikumpulkannya. Maka, apakah makna bagi kehidupan golongan yang bertuhankan kebendaan ini yang mana akhirnya mereka sendiri yang meninggalkan apa yang mereka cintai tanpa sempat untuk memanfaatkannya?

Ia umpama firman Allah s.w.t. dalam surah Al-An’am:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (Surah Al-An’am: 44)

Inilah akibat orang-orang yang mencintai dunia sehingga mengutamakan dunia daripada akhirat. Cinta kepada dunia sentiasa mengecewakan empunya cinta kerana manusia tanpa kehendaknya sekalipun, akan meninggalkan dunia, bila ajalnya tiba. Maka, untuk apa dikejar apa yang bakal ditinggalkan sedangkan menjauhi apa yang bakal dikunjungi?

Allah s.w.t. berfirman lagi yang bermaksud:

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia) kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Kahfi: 45)

Begitulah kehidupan dengan segenap kurniaan Allah s.w.t. termasuklah dalam diri manusia. Seseorang itu akan melalui zaman mudanya yang penuh kekuatan dan segenap keupayaan namun jika umurnya panjang, semua yang dimiliki olehnya sewaktu muda akan berganti dengan lemah dan ketuaan. Itulah hakikat kehidupan yang fana’ ini.

Maka, bagi orang-orang yang hatinya hanya inginkan dunia, maka mereka umpama kanak-kanak yang cintakan permainan-permainan yang tiada nilai kemanfaatannya, hanya sekadar dimain secara fantasi semata-mata.

Allah s.w.t. mengingatkan golongan tersebut sebagaimana firmanNya:

“Ketahuilah, bahawa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keredhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al-Hadid: 20)

Begitulah kehidupan ini andai dijalani dengan penuh makna kepalsuan yang sibuk mengejar kepuasan nafsu semata-mata. Maka ia umpama permainan yang menanti masa untuk rosak tanpa dapat mengambil manfaat daripadanya melainkan sekadar untuk dikhayalkan semata-mata. Bagaimana nilai sebegini yang diingini oleh manusia yang faham dirinya perlu suatu nilai yang lebih mulia daripada sekadar seorang kanak-kanak yang sibuk dengan permainannya.

Allah s.w.t. juga mengingatkan orang-orang beriman tentang kesenangan di dunia yang sementara jika dibandingkan dengan kebahagiaan hari Akhirat yang abadi selama-lamanya. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Katakanlah (Hai Muhamamd): Kesenangan dunia ini hanya sementara sedangkan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa…” (Surah An-Nisa’: 77)

Kedua: Ma’rifah Al-Hayah bagi orang-orang Bertaqwa

Adapun pengenalan terhadap kehidupan bagi orang-orang bertaqwa adalah buah atau natijah daripada usaha menunaikan kehambaan diri mereka kepada Allah s.w.t. dalam bentuk ketaatan samada zahir mahupun batin. Ia adalah suatu penghayatan yang luas terhadap makna-makna hubungan dirinya dengan Allah s.w.t. yang menyebabkan dengan rasa hati tersebut, dia menghadapi hidup dengan pandangan mata hati yang lebih jauh dan meluas.

Ma’rifah Al-Hayah jenis yang pertama tadi adalah suatu pengetahuan berbentuk Tasawwu Am (perspektif umum) yang dilukiskan oleh Islam kepada umat manusia, sedangkan Ma’rifah Al-Hayah jenis kedua ini berkait rapat dengan kelazatan yang dihayati dalam diri seseorang yang sudah mencapai proses Tahaqquq (perealisasian) terhadap kehambaan dirinya. Ma’rifah Al-Hayah ini adalah suatu penghayatan terhadap rasa nikmat dalam kehidupan samada ianya berupa ketenangan jiwa dalam menjalani hidup penuh bermakna malah penuh ungkapan cinta dan mesra.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik lelaki mahupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Surah An-Nahl: 97)

Ia berlawanan dengan mereka yang tidak menghayati hubungan kehambaan dengan Tuhannya kerana berpaling daripada mengingati Allah s.w.t. dan mentaatiNya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengecapi “makna kehidupan” jenis kedua ini, iaitu kelazatan hidup dalam hati mereka. Malah, hidup mereka menjadi sempit sebagaimana dijelaskan oleh Allah s.w.t.:

“Dan barangsiapa berpaling daripada mengingatiKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (Surah Tahaa: 124)

Kehidupan yang baik yang dimaksudkan dalam ayat inilah yang dimaksudkan sebagai Ma’rifah Al-Hayah jenis kedua ini, yang mana ianya merupakan kelazatan hidup yang dirasai oleh orang-orang yang bertaqwa. Inilah yang dikecapi oleh mereka yang menjadikan segenap kehidupan mereka sebagai kehambaan kepada Allah s.w.t. mengikut cara Rasulullah s.a.w. Mereka inilah yang mewarisi nikmat menghayati kehidupan dengan penuh makna dan rahsianya, daripada generasi terdahulu (As-Salaf As-Sholeh) melalui warisan amal ibadah yang mereka lakukan yang diambil daripada Rasulullah s.a.w..

Seseorang yang mencapai Ma’rifah Allah akan mencapai kemuncak Ma’rifah Al-Hayah dalam bentuk penghayatan rohani yang sentiasa mengharapkan pertemuan dengan Allah s.w.t.. Maka, kehidupan duniawi hanyalah suatu tempat persinggahan sedangkan hatinya sentiasa menginginkan pertemuan abadi dengan Tuhannya di Akhirat kelak.

Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud:

“Barangsiapa yang mengharap Pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surah Al-Ankabut: 5)

Pengharapan terhadap pertemuan dengan Allah s.w.t. adalah kemuncak daripada penghayatan terhadap “makna kehidupan” ini kerana seseorang yang menghayati hidup ini sebagai suatu perjalanan, maka destinasi perjalanan sudah tentu lebih diharapkan berbanding siri perjalanannya sedangkan ada ungkapan menyebut: “Perjalanan itu sebahagian daripada azab”.

Maka, destinasi perjalanan kehidupan dunia ini adalah kembali kepada Allah s.w.t.. Maka, kemuncak penghayatan terhadap makna kehidupan adalah keinginan terhadap pertemuan dengan Allah s.w.t.. Allah s.w.t. berfirman dengan seruan kecintaan:

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan keredhaan lagi diredhaiNya. Masuklah ke dalam golongan para hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu” (Surah Al-Fajr: 27-30)

Seruan Allah s.w.t. tersebut kepada golongan yang memiliki jiwa yang tenang. Siapakah golongan tersebut? Mereka adalah golongan yang sudah mencapai keinginan untuk bertemu dengan Tuhannya kerana kehidupan mereka seluruhnya telah dijadikan hanya kerana Allah s.w.t. dan suatu pengabdian kepadaNya.

Maka, Allah s.w.t. menjemput golongan yang memiliki jiwa yang tenang ini supaya memasuki dalam kalangan para hamba yang diredhaiNya lalu sebagai ganjaran mereka di Akhirat selain daripada keredhaanNya yang abadi adalah, nikmat syurga yang kekal selama-lamanya.

Makna kehidupan dunia adalah cerminan kepada makna kehidupan akhirat yang lebih luas. Bahkan, makna kehidupan di Akhirat adalah cerminan kepada makna keredhaan Allah s.w.t. dan kecintaanNya kepada para hamba pilihanNya. Berbahagialah bagi mereka yang mencapai kemuncak kebahagiaan dengan menghayati makna kehidupan dunia ini.

Makna Kehidupan: Antara Dua Perjalanan
Makna kehidupan manusia secara kesimpulannya adalah rumusan kepada dua perjalanan iaitulah perjalanan kerohanian menuju “makna kehidupan” yang dihayati oleh orang-orang bertaqwa dan perjalanan jasmani menuju ajal kematian. Kehidupan di dunia hanya sekali, dan tidak sepertimana yang difahami oleh agama Hindu yang mempunyai kitarannya.

Ia adalah ruang untuk para hambaNya membuktikan kehambaan diri mereka kepada Allah s.w.t. sebagai tanda kesetiaan kepadaNya. Maka, semakin tinggi usaha merealisasikan “makna kehambaan” diri seseorang, semakin tinggi perjalanan rohaninya dalam menghayati “makna-makna” ketuhanan Allah s.w.t. dalam kehidupannya. Dengan gabungan antara penghayatan terhadap makna kehambaan diri dan makna ketuhanan Allah s.w.t. dalam kehidupannya, seseorang akan menghayati makna kehidupan yang dihayati oleh orang-orang yang bertaqwa, dalam bentuk merasai kemanisan hidup berteraskan kemanisan iman.

Apabila seseorang mencapai “makna kehidupan” dalam bentuk kelazatan yang dirasai oleh rohaninya, sebelum jasmaninya sampai kepada tempoh kematiannya, maka dia sudah memperolehi hakikat dan khabar gembira sejak sebelum kematiannya lagi. Orang tersebutlah orang yang bahagia di dunia dengan Ma’rifat dan di akhirat dengan redha serta nikmat.

Adapun orang yang lalai daripada melaksanakan tanggungjawab kehambaan diri, maka kerohaniannya menuju ke tahap terendah sehingga hatinya dianggap sebagai hati yang sakit atau mati. Orang tersebut mempunyai kemunduran rohani tanpa perjalanan menuju penghayatan terhadap makna-makna kehidupan dan rahsia-rahsianya.

Apabila perjalanan jasmaninya sudah sampai ke penghujungnya, sedangkan kerohaniannya tidak bergerak dalam menuju Tuhannya, maka kematian merupakan detik-detik yang sangat mencemaskan bagi empunya perjalanan hidup tersebut. Perjalanan hidup jasmaninya yang sudah berakhir tanpa membawa sebarang makna kerana kerohaninnya tidak berjalan menuju kepada Ma’rifatullah.

Maka, tanpa “makna kehidupan” di dunia, dia tidak dapat mengecapi makna kehidupan di akhirat dalam erti kata, tidak dapat menikmati kehidupan akhirat. Golongan sebegini adalah golongan yang malang di dunia dan di akhirat. Oleh kerana itulah, agama Islam sangat penting untuk dipelajari dan diamalkan kerana ianya adalah panduan untuk mencapai makna kehidupan dunia dan akhirat.

Hidup Tempat Ujian
Makna kehidupan yang perlu dihayati oleh seseorang hamba adalah ianya juga suatu tempat ujian bagi seseorang itu melakukan sebaik-baik amalan. Setiap amalan dijanjikan dengan balasan yang setimpal dengannya, berdasarkan keadilan atau kemurahan Allah s.w.t.. Maka, susah atau senang itu bukanlah suatu yang terjadi tanpa tujuan.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dialah yang menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Berkuasa lagi Maha Pengampun” (Surah Al-Mulk: 2)

Allah s.w.t. mendahulukan perkataan “kematian” daripada kehidupan kerana mati itu adalah kesudahan bagi kehidupan dunia. Maka, dengan adanya kesudahan bagi kehidupan dunia bererti, kehidupan duniawi ini mempunyai keterbatasannya. Apa fungsi keterbatasan kehidupan di dunia sedangkan Allah s.w.t. boleh menjadikan hidup kita kekal selama-lamanya?

Sudah tentulah, keterbatasan hidup ini mempunyai ertinya yang tersendiri, kerana Allah s.w.t. Maha Bijaksana, maka Dia tidak akan melakukan sesuatu yang sia-sia. Maka, keterbatasan hidup di dunia ini kerana ianya adalah tempat ujian, untuk manusia merealisasikan kehambaan dirinya kepada Allah s.w.t..

Sesiapa yang melakukan tugas kehambaan dengan baik, baginya ganjaran yang baik dengan kemurahan Allah s.w.t.. Sesiapa yang mengkhianati dirinya dengan mengabaikan tanggungjawab kehambaannya kepada Allah s.w.t., maka balasan yang buruk menantinya di akhirat kelak. Konsep hidup selepas mati menunjukkan adanya hari Pembalasan atau Hari Anugerah. Begitulah kehidupan yang sementara ini.

Kehidupan adalah Anugerah
Allah s.w.t. menciptakan kita dan menjadikan kita sebagai para hambaNya agar kita dapat mengecapi nikmat mencintai dan dicintaiNya. Tiada nikmat yang lebih agung bagi seseorang hamba berbanding mengecap nikmat cintaNya, samada mencintai apatah lagi dicintaiNya.

Maka, hidup ini adalah luahan dan terjemahan cinta Allah s.w.t. kepada para hamba pilihanNya. Maka, berbahagialah bagi mereka yang setia kepada Allah s.w.t. dengan menunaikan ketaatan kepadaNya dan celakalah bagi mereka yang mengkhinati rahmat Allah s.w.t. dengan kekufuran dan kemaksiatan.

Ruang yang hanya sebentar, iaitu di dunia ini, hanya tempat persinggahan. Namun, di sebalik suatu persinggahan ini ada makna yang lebih besar kerana persinggahan itu merujuk kepada sebuah perjalanan. Di sebalik perjalanan hidup ini justeru ada makna yang lebih besar, iaitulah suatu tujuan. Maka, nilai persinggahan adalah pada perjalanannya sedangkan nilai sesuatu perjalanan itu adalah pada tujuannya. Di sebalik tujuan itu, ada yang lebih besar iaitulah ianya suatu anugerah. Di sebalik anugerah itu juga ada Dia yang Maha Besar, yang memberi suatu anugerah besar dalam tujuan hidup kita yang mengandungi makna yang besar. Maka, janganlah memperkecilkan ruang yang sebentar hanya kerana kelalaian kita daripada makna yang lebih besar.
Ahli bijaksana berkata: “Kamu menyangka bahawa kamu adalah suatu jirim yang kecil, sedangkan dalam diri kamu ada alam yang terbesar.” Manakan tidak, sedangkan seluruh yang di bumi sahaja diciptakan untuk manusia agar menunaikan makna hidup mereka. Lihatlah betapa makna kehidupan alam adalah untuk manusia menterjemahkan makna kehidupan mereka, maka apa lagi yang tidak mahu dihargai oleh kita selaku manusia, di hadapan segenap anugerah dan rahmatNya.

“Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah lagi yang kamu dustakan?” (Surah Ar-Rahman: 13)

Wallahu a’lam

;;

**Tv online**