HARI-hari di Madinah penuh dengan intrik politik. Setelah Imam Ali bin Abi Thaleb wafat terbunuh tersebab dari pertikaian politik yang panjang. Kekuasaan yang sejatinya jatuh ke tangan Hasan, putra Ali, namun Muawiyah dan kawan-kawannya sangat tidak senang. Berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan al-Hasan di panggung kekuasaan. Sebagai gubernur senior di Sirya, Muawiyah merasa lebih berhak dan layak menjadi khalifah. Ayahya, Abu Sofyan adalah bangsawan Quraish yang terbunuh oleh pasukan Imam Ali. Alasan-alasan itu cukup bisa dipahami mengapa Muawiyah menolak Hasan. Akhirnya, Hasan wafat diracun oleh isterinya sendiri “Laila Majnun” atas upahan sang “Raja” Seperti dalam bait syair yang dilantun Rafli, yang boleh jadi berasal dari bait bait hikayat Hasan Husen.
//Lheueh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Saiyidina/ Ji krah pasukan bandum di yue tren/ Leungkap ban ban dum alat senjata// (Setelah syahid Hasan kini giliran Husen/ Nak dimusnhakan semua cucu Saiyidina/ Seluruh pasukan siap dikerahkan/ Lengkap semua dengan senjata) Pertikaan politik itu semakin memuncak tatkala sebagian besar kaum muslimin di Madinah membaiat Husen sebagai pengganti Hasan menjadi khalifah. Pembangkangan oleh pengikut Muawiyah muncul di mana-mana. Untuk menghindari pertumpahan darah, Husen memilih menyingkir ke Mekkah, kampung halaman leluhurnya. Penduduk Mekkah meng-elu-elu kan kedatangan Husen dan siap membelanya. Surat menyurat dengan Husen dilakukan sebelum itu, dan mereka mengundang Husen agar menetap di Mekkah saja. Orang-orang Kufah (Irak) melakukan hal serupa mengundang Husen ke Kufah, karena mereka mengira akan lebih aman berada di sana. Penduduk Kufah berjanji akan membela Husen sampai titik darah penghabisan.
Kondisi politik makin memburuk. Klan Muawiyah semakin brutal untuk menggulingkan kekuasaan Husen, sehinga dia memilih ke Kufah, tempat ayahnya Imam. Ali, pernah bermukim. Penduduk Kuffah berkirim surat, dan berjanji akan membela Husen, namun itu diingkari. Husain terjebak, dan berakhir syahidnya sang belahan jiwa Rasul saw itu bersama keluarga dan pengikutnya di tangan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala. Perjalanan kafilah Husen dari Mekkah ke Kufah sebelum hari pembantaian 10 Muharam itu, memang amat melelahkan. Husen menyadari dalam suasana galau itu. Sehingga berkail kali berpidato di depan rombongannya, mengingatkan resiko yang mungkin timbul di akhir perjalanan “hijrah” itu.
Puncaknya, pada malam kedelapan Muharram. Di bawah payung langit Arabia yang bening kering, dalam sepoi bayu gurun yang menuusuk tulang, kafilah cucu Rasul saw itu mengarungi gurun tak bertepi menuju Kufah di Irak. Beberapa anggotanya yang mulai ragu, satu satu memisahkan diri. Namun bagi sang mujahid al- Husain, seakan kakeknya, Rasulullah menanti di ujung perjalanan. Sang bunda Fatimah az-Zahra seolah melambai pulang ke pangkuan cinta nya. Arwah sang kakak, Hasan tersenyum menanti. Ali bagai tak sabar menunggu kedatangan buah-hati kesayangan nya menyusul. Syaribanun isteri Husen dan Ali Zainal Abidin putra semata wayang mereka, serta Zainab sang adik kandung Husen seperti tak terlalu peduli. Mereka sudah bulat menyertai Husen kemana pun akan pergi, betapa pun resiko yang akan menimpa.
Pada malam kesembilan Muharram, dalam sepoi angin malam yang menyengat, bulan remang-remang menebar sinar redup penuh duka. Husen menghentikan kudanya, dan berbalik menghadap para pengikut di belakangnya. Lalu sang “Imam” berujar perlahan “ Wahai kaumku sekalian yang setia. Telah jauh jalan yang kita tempuh dengan susah payah, lapar dan dahaga. Kini hari-hari penting itu sepertinya sudah amat dekat. Besar resiko yang akan kita hadapai. Firasat ku mengatakan bahwa sebuah peristiwa besar akan menimpa kita, penuh resiko, penuh bahaya” ujar Husen perlahan dan amat yakinnya. “ Aku akan sangat rela jika ada diantara kalian yang memiliki keraguan. Ku ikhlas kan kalian berbalik pulang untuk menyelamatkan diri. Bagiku tiada pilihan, kecuali menantang takdir menjemput maut,.untuk memelihara marwah dan kehormatan keluarga, demi kakek ku Muhammad, Ummi ku Fatimah dan Abi ku Ali bin Abi Thaleb, aku pantang berbalik pulang. Kuterima takdir ini dengna sepenuh kebahagian jiwa dan ragaku” teriak Husen sambil mengingatkan, “Bagi yang ragu, inilah kesempatan terakhir untuk berbalik pulang. Besok kita akan memasuki medan pertempuran yang dahsyad.” Ada yang ragu, memang berbalik pulang, tapi yang lainnya tetap teguh ingin syahid bersama imam mereka. Dan benar, penghianatan kaum Kufah, Husen bersama 70-an sahabat dan keluarganya dibantai oleh 4000-an tentara bersenjata.
Imam telah gugur. Alam seolah berduka. Para malaikat seolah berebut membopong jasad Husen, tak sabar ingin membawanya ke Syurga. Langit Kuffah seperti runtuh oleh derai tangis mahluk langit. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Husen kembali pulang dengan penuh rasa bangga, menghadap sang Khalik, dinanti kakeknya Muhammad saw dan sang bunda Az-Zahra. Tatkala tombak dan pedang musuh menebas tubuh suci itu, Husen melaburkan darahnya sendiri di tangan dan menjipratkannya ke langit sambil berguman “Wahai Tuhan ku ya Rabbuna, inilah persembahanku pada Mu, aku memilih jalan ini karena cintaku hanya semata padaMu jua” Dan setelah itu tubuh Husen tiba-tiba jatuh terjerembab dari atas kudanya, mencium bumi. Dalam sekejab mata si Samanau’n tiba-tiba sudah menduduki dada Husen, dan memenggal kepala sang Imam. Kepala suci itu menjadi persembahan mereka kepada Yazid dan Gubernur Marwan yang menunggu di istana mereka.
Zainab menggendong Ali Zainal Abidin yang menderita demam tinggi karena berhari-hari menderita haus dalam perjalanan panjang. Orang Kufah pun sudah menutup akses ke sumber air yang dikuasai mereka. Dalam keadaan kacau balau, dan Syaribanun pun telah gugur menyusul suaminya, Zainab membopong Ali Zainal Abaidin yang masih kecil dan membawa lari dari medan berdarah itu. Merekalah yang menjadi saksi hidup terhadap peristiwa pembantaian keji di hari asyura itu, Ali yang selamat dari pembantaian yang kemudian dibesarkan oleh bibinya Zainab bin Ali, lebih banyak berdiam diri dan menjauhi hiruk pikuk perebutan kekuasaan dan dunia politik Arabia waktu itu. Itu sebabnya beliau digelar Imam as-Sajad, karena banyak sujudnya. Sementara itu Yazid dan penerus dinasti Muawiyah bin Abu Sofyan menikmati kekuasaan ke-khalifah-an Daulah Islamiyah dengan langgeng. Nah, apa yang saya pahami dari peristiwa itu, bahwa perubahan keyakinan dari jahiliyah kepada iman dan islam tidak serta merta secara kaffah menafikan nafsu kekuasaan, kecuali bagi mereka yang mendapat hidayah Allah yang sempurna.
Sang Rasul saw, memerlukan kekuasaan dan otoritas negara untuk kepentingan dakwah dan penyebaran Islam. Sementara menusia lain, yang bukan makshum, sulit secara tuntas meninggalkan nafsu berkuasa. Tercermin dari perebutan kekuasaan politik dan negara setelah Nabi wafat. Hal itu dapat diamati pada peristiwa di bani Saqifah, pada pembunuhan Ali, meracun Hasan, dan membantai Husen dan pengikut setianya. Ada tiga otoritas yang dimiliki Rasulullah saw sekaligus. Pertama, otoritas teologis keagamaan (risalah islamiyah yang diperoleh Nabi melalui wahyu). Kedua, otoritas politik kekuasaan, sebagai alat untuk menyebarkan islam ke seluruh muka bumi, yang merupakan wujud dari “rahmnatan lil a’lamin”. Ketiga, otoritas herediter yang berasal dari leluhurnya sejak Ibrahim AS, Ismail hingga Abdul Muthaleb penguasa Ka’bah dari bani Hasyem. Pada Nabi, tiga otoritas itu menyatu. Tidak pada para khalifah yang lain, kecuali Ali, Hasan dan Husen.
Abubakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, memiliki satu otoritas saja yakni kekuasaan politik. Maka dapat dipahami bila dua otoritas akan menyatu pada satu sosok, seperti Ali, Hasan dan Husen secara turun temurun, akan menimbulkan kekhawatiran dari kafilah dan suku-suku non bani Hasyem. “Tidak boleh menyatu otoritas Negara dan Agama pada satu sosok bani Hasyem” teriak Umar tatkala jamaah di Saqifah mengusulkan Ali sebagai pengganti Nabi saw. Imam Ali adalah turunan bani Hasyem. Sementara kehidupan bawah sadar darah bangsawan Qurais Mekkah yang mengalir dalam darah Muawiyah bin Abu Sofyan, juga Hindun, yang memerangi Hamzah bin Abdul Mutaleb hingga gugur di Uhud, boleh jadi merupakan manifestasi dari keinginan berkuasa dari masa lampau keluarganya.
Perseteruan antara Yazid bin Muawiyah dan Hasan kemudian Husen bin Ali, agaknya dapat dipahami dari sisi itu. Maka masalah perbedaan pandangan antara Mazhab Sunni dan Mazhab Ahlul-bait, setidak-tidaknya dapat diterangkan dalam dua perspektif, yakni perpektif politik dan perspektif teologis. Dari perspektif politik, fakta perebutan kekuasaan seperti yang saya terangkan di atas dengan jelas memperlihatkan motif-motif berkuasa itu. Sementara dari perspektif teologis, pesan Rasul di Ghadir Khum adalah merupakan awal dari risalah yang penting yang diwariskan Rasul kepada Ali bin Abi Thaleb, Hasan dan Husen, as-Sajad, Muhammad al-Bagir, Imam Jakfar as-Shadeq dst. Nama nama ini merupakan nama para Imam yang diyakini dan dimuliakan oleh para pengikut aliran Syiah di kemudian hari.
Namun jika banyak orang memuliakan nama-nama itu, boleh jadi mereka bukan pengikut paham syiah, namun sebagai para pencinta ahlul bait, dalam perpektif teologis keagamaan yang non-politis. Bukankah Nabi pernah bersabda, bahwa “barang siapa mencintai Fatimah sama denga nmencintai diriku, dan barang siapa membenci Fatimah (dan anak turunan nya) maka dia sama dengan membenci diriku “ kata Rasul pada suatu ketika. Dalam konteks inilah saya mencoba memahami mengapa di banyak tempat, kaum muslimin memperingati hari Asyura dengan ratap tangis dan duka yang dalam. Memperingati Asyura, tidaklah secara otomatis merupakan sebagai tanda-tanda bahwa mereka berpaham syiah. Boleh jadi sebagai symbol kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah saw dan anak cucu beliau yang selalu menjadi korban, namun amat dimuliakan Allah Ta’ala. Haji Wadak, Saqifah, dan Karbala berada dalam satu rentang benang merah yang cukup jalas dan menjadi tanda-tanda yang amat nyata bagi orang-orang yang memahaminya. Wallahu a’lamu bis-shawab.
//Lheueh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Saiyidina/ Ji krah pasukan bandum di yue tren/ Leungkap ban ban dum alat senjata// (Setelah syahid Hasan kini giliran Husen/ Nak dimusnhakan semua cucu Saiyidina/ Seluruh pasukan siap dikerahkan/ Lengkap semua dengan senjata) Pertikaan politik itu semakin memuncak tatkala sebagian besar kaum muslimin di Madinah membaiat Husen sebagai pengganti Hasan menjadi khalifah. Pembangkangan oleh pengikut Muawiyah muncul di mana-mana. Untuk menghindari pertumpahan darah, Husen memilih menyingkir ke Mekkah, kampung halaman leluhurnya. Penduduk Mekkah meng-elu-elu kan kedatangan Husen dan siap membelanya. Surat menyurat dengan Husen dilakukan sebelum itu, dan mereka mengundang Husen agar menetap di Mekkah saja. Orang-orang Kufah (Irak) melakukan hal serupa mengundang Husen ke Kufah, karena mereka mengira akan lebih aman berada di sana. Penduduk Kufah berjanji akan membela Husen sampai titik darah penghabisan.
Kondisi politik makin memburuk. Klan Muawiyah semakin brutal untuk menggulingkan kekuasaan Husen, sehinga dia memilih ke Kufah, tempat ayahnya Imam. Ali, pernah bermukim. Penduduk Kuffah berkirim surat, dan berjanji akan membela Husen, namun itu diingkari. Husain terjebak, dan berakhir syahidnya sang belahan jiwa Rasul saw itu bersama keluarga dan pengikutnya di tangan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala. Perjalanan kafilah Husen dari Mekkah ke Kufah sebelum hari pembantaian 10 Muharam itu, memang amat melelahkan. Husen menyadari dalam suasana galau itu. Sehingga berkail kali berpidato di depan rombongannya, mengingatkan resiko yang mungkin timbul di akhir perjalanan “hijrah” itu.
Puncaknya, pada malam kedelapan Muharram. Di bawah payung langit Arabia yang bening kering, dalam sepoi bayu gurun yang menuusuk tulang, kafilah cucu Rasul saw itu mengarungi gurun tak bertepi menuju Kufah di Irak. Beberapa anggotanya yang mulai ragu, satu satu memisahkan diri. Namun bagi sang mujahid al- Husain, seakan kakeknya, Rasulullah menanti di ujung perjalanan. Sang bunda Fatimah az-Zahra seolah melambai pulang ke pangkuan cinta nya. Arwah sang kakak, Hasan tersenyum menanti. Ali bagai tak sabar menunggu kedatangan buah-hati kesayangan nya menyusul. Syaribanun isteri Husen dan Ali Zainal Abidin putra semata wayang mereka, serta Zainab sang adik kandung Husen seperti tak terlalu peduli. Mereka sudah bulat menyertai Husen kemana pun akan pergi, betapa pun resiko yang akan menimpa.
Pada malam kesembilan Muharram, dalam sepoi angin malam yang menyengat, bulan remang-remang menebar sinar redup penuh duka. Husen menghentikan kudanya, dan berbalik menghadap para pengikut di belakangnya. Lalu sang “Imam” berujar perlahan “ Wahai kaumku sekalian yang setia. Telah jauh jalan yang kita tempuh dengan susah payah, lapar dan dahaga. Kini hari-hari penting itu sepertinya sudah amat dekat. Besar resiko yang akan kita hadapai. Firasat ku mengatakan bahwa sebuah peristiwa besar akan menimpa kita, penuh resiko, penuh bahaya” ujar Husen perlahan dan amat yakinnya. “ Aku akan sangat rela jika ada diantara kalian yang memiliki keraguan. Ku ikhlas kan kalian berbalik pulang untuk menyelamatkan diri. Bagiku tiada pilihan, kecuali menantang takdir menjemput maut,.untuk memelihara marwah dan kehormatan keluarga, demi kakek ku Muhammad, Ummi ku Fatimah dan Abi ku Ali bin Abi Thaleb, aku pantang berbalik pulang. Kuterima takdir ini dengna sepenuh kebahagian jiwa dan ragaku” teriak Husen sambil mengingatkan, “Bagi yang ragu, inilah kesempatan terakhir untuk berbalik pulang. Besok kita akan memasuki medan pertempuran yang dahsyad.” Ada yang ragu, memang berbalik pulang, tapi yang lainnya tetap teguh ingin syahid bersama imam mereka. Dan benar, penghianatan kaum Kufah, Husen bersama 70-an sahabat dan keluarganya dibantai oleh 4000-an tentara bersenjata.
Imam telah gugur. Alam seolah berduka. Para malaikat seolah berebut membopong jasad Husen, tak sabar ingin membawanya ke Syurga. Langit Kuffah seperti runtuh oleh derai tangis mahluk langit. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Husen kembali pulang dengan penuh rasa bangga, menghadap sang Khalik, dinanti kakeknya Muhammad saw dan sang bunda Az-Zahra. Tatkala tombak dan pedang musuh menebas tubuh suci itu, Husen melaburkan darahnya sendiri di tangan dan menjipratkannya ke langit sambil berguman “Wahai Tuhan ku ya Rabbuna, inilah persembahanku pada Mu, aku memilih jalan ini karena cintaku hanya semata padaMu jua” Dan setelah itu tubuh Husen tiba-tiba jatuh terjerembab dari atas kudanya, mencium bumi. Dalam sekejab mata si Samanau’n tiba-tiba sudah menduduki dada Husen, dan memenggal kepala sang Imam. Kepala suci itu menjadi persembahan mereka kepada Yazid dan Gubernur Marwan yang menunggu di istana mereka.
Zainab menggendong Ali Zainal Abidin yang menderita demam tinggi karena berhari-hari menderita haus dalam perjalanan panjang. Orang Kufah pun sudah menutup akses ke sumber air yang dikuasai mereka. Dalam keadaan kacau balau, dan Syaribanun pun telah gugur menyusul suaminya, Zainab membopong Ali Zainal Abaidin yang masih kecil dan membawa lari dari medan berdarah itu. Merekalah yang menjadi saksi hidup terhadap peristiwa pembantaian keji di hari asyura itu, Ali yang selamat dari pembantaian yang kemudian dibesarkan oleh bibinya Zainab bin Ali, lebih banyak berdiam diri dan menjauhi hiruk pikuk perebutan kekuasaan dan dunia politik Arabia waktu itu. Itu sebabnya beliau digelar Imam as-Sajad, karena banyak sujudnya. Sementara itu Yazid dan penerus dinasti Muawiyah bin Abu Sofyan menikmati kekuasaan ke-khalifah-an Daulah Islamiyah dengan langgeng. Nah, apa yang saya pahami dari peristiwa itu, bahwa perubahan keyakinan dari jahiliyah kepada iman dan islam tidak serta merta secara kaffah menafikan nafsu kekuasaan, kecuali bagi mereka yang mendapat hidayah Allah yang sempurna.
Sang Rasul saw, memerlukan kekuasaan dan otoritas negara untuk kepentingan dakwah dan penyebaran Islam. Sementara menusia lain, yang bukan makshum, sulit secara tuntas meninggalkan nafsu berkuasa. Tercermin dari perebutan kekuasaan politik dan negara setelah Nabi wafat. Hal itu dapat diamati pada peristiwa di bani Saqifah, pada pembunuhan Ali, meracun Hasan, dan membantai Husen dan pengikut setianya. Ada tiga otoritas yang dimiliki Rasulullah saw sekaligus. Pertama, otoritas teologis keagamaan (risalah islamiyah yang diperoleh Nabi melalui wahyu). Kedua, otoritas politik kekuasaan, sebagai alat untuk menyebarkan islam ke seluruh muka bumi, yang merupakan wujud dari “rahmnatan lil a’lamin”. Ketiga, otoritas herediter yang berasal dari leluhurnya sejak Ibrahim AS, Ismail hingga Abdul Muthaleb penguasa Ka’bah dari bani Hasyem. Pada Nabi, tiga otoritas itu menyatu. Tidak pada para khalifah yang lain, kecuali Ali, Hasan dan Husen.
Abubakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, memiliki satu otoritas saja yakni kekuasaan politik. Maka dapat dipahami bila dua otoritas akan menyatu pada satu sosok, seperti Ali, Hasan dan Husen secara turun temurun, akan menimbulkan kekhawatiran dari kafilah dan suku-suku non bani Hasyem. “Tidak boleh menyatu otoritas Negara dan Agama pada satu sosok bani Hasyem” teriak Umar tatkala jamaah di Saqifah mengusulkan Ali sebagai pengganti Nabi saw. Imam Ali adalah turunan bani Hasyem. Sementara kehidupan bawah sadar darah bangsawan Qurais Mekkah yang mengalir dalam darah Muawiyah bin Abu Sofyan, juga Hindun, yang memerangi Hamzah bin Abdul Mutaleb hingga gugur di Uhud, boleh jadi merupakan manifestasi dari keinginan berkuasa dari masa lampau keluarganya.
Perseteruan antara Yazid bin Muawiyah dan Hasan kemudian Husen bin Ali, agaknya dapat dipahami dari sisi itu. Maka masalah perbedaan pandangan antara Mazhab Sunni dan Mazhab Ahlul-bait, setidak-tidaknya dapat diterangkan dalam dua perspektif, yakni perpektif politik dan perspektif teologis. Dari perspektif politik, fakta perebutan kekuasaan seperti yang saya terangkan di atas dengan jelas memperlihatkan motif-motif berkuasa itu. Sementara dari perspektif teologis, pesan Rasul di Ghadir Khum adalah merupakan awal dari risalah yang penting yang diwariskan Rasul kepada Ali bin Abi Thaleb, Hasan dan Husen, as-Sajad, Muhammad al-Bagir, Imam Jakfar as-Shadeq dst. Nama nama ini merupakan nama para Imam yang diyakini dan dimuliakan oleh para pengikut aliran Syiah di kemudian hari.
Namun jika banyak orang memuliakan nama-nama itu, boleh jadi mereka bukan pengikut paham syiah, namun sebagai para pencinta ahlul bait, dalam perpektif teologis keagamaan yang non-politis. Bukankah Nabi pernah bersabda, bahwa “barang siapa mencintai Fatimah sama denga nmencintai diriku, dan barang siapa membenci Fatimah (dan anak turunan nya) maka dia sama dengan membenci diriku “ kata Rasul pada suatu ketika. Dalam konteks inilah saya mencoba memahami mengapa di banyak tempat, kaum muslimin memperingati hari Asyura dengan ratap tangis dan duka yang dalam. Memperingati Asyura, tidaklah secara otomatis merupakan sebagai tanda-tanda bahwa mereka berpaham syiah. Boleh jadi sebagai symbol kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah saw dan anak cucu beliau yang selalu menjadi korban, namun amat dimuliakan Allah Ta’ala. Haji Wadak, Saqifah, dan Karbala berada dalam satu rentang benang merah yang cukup jalas dan menjadi tanda-tanda yang amat nyata bagi orang-orang yang memahaminya. Wallahu a’lamu bis-shawab.
Subscribe to:
Kommentarer til indlægget (Atom)
|
0 kommentarer:
Send en kommentar