KITA kembali menyambut tahun baru Hijrah. Tampaknya tak banyak yang peduli. Menyambutnya pun tak semeriah seperti tahun baru Masehi yang pakai pawai atau terompet. Boleh jadi ini fenomena atas makin lunturnya semangat keagamaan kita. Fenomena tersebut agaknya perlu kita baca, konon lagi adanya tekad masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Jangan seperti hadih maja; “lagee Kelede ba kitab (seperti keledai membawa kitab)”, yaitu melakukan sesuatu tapi tak tahu manfaatnya. Maksudnya, kita beragama bukan sebatas keyakinan, akan tetapi haruslah diaplikasi dalam kehidupan keseharian secara lahir batin. Diharapkan, terjadi perubahan dan perbaikan signifikan di Aceh. Jika tidak, filofosi “hijrah” sebagaimana pesan Rasul saw akan kehilangan maknanya.
Hijriah atau “berpindah”, bukan dalam makna literal, tapi harus dipahami secara transendental--berpindah dari perilaku buruk kepada kebaikan. Artinya, kalau selama ini kita senang dhalim, hobbi korupsi, sudah saatnya kita mengekang syahwat buruk itu. Jangan seperti itu diungkap hadih maja Aceh, //Paleh raja geuboh keurajeuen/ paleh ureueng jiboh bangsa/ paleh utoh jiboh seunipat/ paleh teungku geuboh kitab//. Sebab jika sifat ini sudah merasuki, apalagi menjadi budaya, maka tunggulah kehancuran.
Peringatan tahun seperti hijrah, sesungguhnya penanda bagi perjalanan kehidupan agar manusia melakukan perbaikan. Ini ditegaskan Rasul saw, “hijrah yang paling baik adalah hijrah dari perbuatan kurang baik, tercela atau dosa.” Berpindah dari kehidupan jahiliyah kearah kehidupan Islami. Berpindah dari sifat-sifat munafik, plin-plan, menjadi istiqamah, berkomitmen pada nilai kebenaran dan meninggalkan kebatilan.
Berhijrah juga dimaknai dengan meninggalkan perbuatan, makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup halalan thayyiba. Meninggalkan maksiat menuju taat hanya kepada Allah swt. Meninggalkan kedengkian, tinggalkan korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, kesia-siaan dan kebiasaan hidup menjadi beban, dan meninggalkan kebohongan. Jadi, kata kunci dari hijrah adalah perubahan segala hal.
Moment tahun baru Islam 1431 H yang jatuh pada tanggal 18 Desember 2009 ini harus dimaknai dalam spirit perubahan itu. Ini penting, mengingat realitas politik, ekonomi, dan sosial-keagamaan selama ini tidak begitu menggembirakan. Maka tidak boleh tidak, harus berpijak pada kondisi yang menjadi problem tersebut. Seperti persoalan korupsi, kesehatan, moral pendidikan, dan kemiskinan krisis kepemimpinan serta disorientasi arah pembangunan, semua itu telah mendorong bangsa ini menuju kubangan krisis multidimensional. Oleh karena itu mesti menjadi agenda terutama masyarakat Aceh yang sedang “bermimpi” mewujudkan Aceh baru, maju dan bermartabat.
Marilah kita berhijrah secara spiritual kepada yang lebih baik, sambil mendoakan orang-orang tercinta, baik yang telah pergi bersama gelombang raya (smong), maupun mereka yang masih terlunta-lunta. Rakyat Aceh yang letih, pilu, bingung, bahkan putus asa, mendengar dan menyaksikan para penguasa dan elit mengeksploitasinya dengan mudah melupakan janji manisnya.
Mari juga doakan semoga para petinggi di negeri ini menyadari, bahwa gaji mereka adalah harga ribuan jenazah orang yang kita cintai yang hilang atau terkubur di relung-relung laut atau terkapar dalam desing peluru konflik Aceh. Mendoakan agar elit menyadari bahwa kedudukan dan kekayaan yang sedang mereka nikmati adalah harga airmata para janda, anak yatim yang tersebar di bmi Aceh. Marilah untuk memenuhi janji sebelum sejarah dan Tuhan menagihnya.
Hijriah atau “berpindah”, bukan dalam makna literal, tapi harus dipahami secara transendental--berpindah dari perilaku buruk kepada kebaikan. Artinya, kalau selama ini kita senang dhalim, hobbi korupsi, sudah saatnya kita mengekang syahwat buruk itu. Jangan seperti itu diungkap hadih maja Aceh, //Paleh raja geuboh keurajeuen/ paleh ureueng jiboh bangsa/ paleh utoh jiboh seunipat/ paleh teungku geuboh kitab//. Sebab jika sifat ini sudah merasuki, apalagi menjadi budaya, maka tunggulah kehancuran.
Peringatan tahun seperti hijrah, sesungguhnya penanda bagi perjalanan kehidupan agar manusia melakukan perbaikan. Ini ditegaskan Rasul saw, “hijrah yang paling baik adalah hijrah dari perbuatan kurang baik, tercela atau dosa.” Berpindah dari kehidupan jahiliyah kearah kehidupan Islami. Berpindah dari sifat-sifat munafik, plin-plan, menjadi istiqamah, berkomitmen pada nilai kebenaran dan meninggalkan kebatilan.
Berhijrah juga dimaknai dengan meninggalkan perbuatan, makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup halalan thayyiba. Meninggalkan maksiat menuju taat hanya kepada Allah swt. Meninggalkan kedengkian, tinggalkan korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, kesia-siaan dan kebiasaan hidup menjadi beban, dan meninggalkan kebohongan. Jadi, kata kunci dari hijrah adalah perubahan segala hal.
Moment tahun baru Islam 1431 H yang jatuh pada tanggal 18 Desember 2009 ini harus dimaknai dalam spirit perubahan itu. Ini penting, mengingat realitas politik, ekonomi, dan sosial-keagamaan selama ini tidak begitu menggembirakan. Maka tidak boleh tidak, harus berpijak pada kondisi yang menjadi problem tersebut. Seperti persoalan korupsi, kesehatan, moral pendidikan, dan kemiskinan krisis kepemimpinan serta disorientasi arah pembangunan, semua itu telah mendorong bangsa ini menuju kubangan krisis multidimensional. Oleh karena itu mesti menjadi agenda terutama masyarakat Aceh yang sedang “bermimpi” mewujudkan Aceh baru, maju dan bermartabat.
Marilah kita berhijrah secara spiritual kepada yang lebih baik, sambil mendoakan orang-orang tercinta, baik yang telah pergi bersama gelombang raya (smong), maupun mereka yang masih terlunta-lunta. Rakyat Aceh yang letih, pilu, bingung, bahkan putus asa, mendengar dan menyaksikan para penguasa dan elit mengeksploitasinya dengan mudah melupakan janji manisnya.
Mari juga doakan semoga para petinggi di negeri ini menyadari, bahwa gaji mereka adalah harga ribuan jenazah orang yang kita cintai yang hilang atau terkubur di relung-relung laut atau terkapar dalam desing peluru konflik Aceh. Mendoakan agar elit menyadari bahwa kedudukan dan kekayaan yang sedang mereka nikmati adalah harga airmata para janda, anak yatim yang tersebar di bmi Aceh. Marilah untuk memenuhi janji sebelum sejarah dan Tuhan menagihnya.
Subscribe to:
Kommentarer til indlægget (Atom)
|
0 kommentarer:
Send en kommentar