Muhammad Ibn Thalhah Ibn Ubaidillah dilahirkan di salah satu rumah yang termulia bagi para pejuang di masa Rasulullah SAW. Ia hidup dan tumbuh dalam naungan perjuangan. Di bawah asuhan ayah yang pemberani dan beriman. Rasulullah SAW bersabda berkenaan dengan dirinya: “Barangsiapa ingin melihat seorang syahid yang berjalan di muka bumi, lihatlah Thalhah Ubaidillah.”
Yang pertama kali terlihat oleh si bayi (Muhammad Ibn Thalhah) setelah kelahirannya ke dunia ini adalah wajah Nabi SAW. Waktu itu ia dibawa ke hadapan Rasul lalu Nabi bertanya: “Nama apa yang engkau berikan padanya?” Mereka menjawab, “Muhammad.” Kata Nabi: “Itu namaku.” Julukannya Abu Al-Qasim. Kemudian baginda SAW mendoakan bayi tersebut dengan kebaikan dan berkah.
Menjelang usia mudanya, Muhammad Ibn Thalhah tekun beribadah dan khusyuk dalam sujud. Di bawah asuhan ayahnya mampu menghafal Al-Quran. Ayahnya termasuk salah seorang dari orang-orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Ia juga termasuk salah seorang dari 10 orang yang diberitakan masuk syurga. Juga termasuk salah seorang yang jadikan Umar sebagai calon khalifah dalam dewan permesyuaratan.
Beliau tertimpa musibah di waktu perang Uhud. Rasulullah SAW merawatnya sendiri, ertinya merawat dengan tangan baginda sendiri kepada Thalhah yang terkena anak panah sehingga tangannya terasa kaku. Rasulullah mengangkat Thalhah kepunggungnya dan membawanya sampai jauh dari para pemanah.
Pada waktu itu Rasulullah berkata: “Wajib bagi Thalhah!” Ertinya Thalhah telah melakukan suatu amal yang mewajibkannya masuk syurga.
Thalhah mendidik anaknya, Muhammad, dengan pendidikan yang mulia sehingga Muhammad tekun beribadah kepada Allah. Tidak ada kesenangan duniawi dengan segala perhiasannya, yang dapat menggantikannya dari kesibukan berzikir kepada Allah dan membaca Al-Quran. Jika ia hendak solat, di malam hari ia munajat kepada Allah, sehingga lupa akan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan ia tidak tahu telah berapa lama waktunya berlalu. Oleh kerana itu ia dijuluki sebagai ahli sujud, kerana banyaknya sujud yang ia lakukan kepada Allah Azzawa Jalla.
Baginya belum merasa cukup jika hanya mendengar nasihat dari ayahnya. Ia sendiri mendengar dari Rasulullah SAW. Muhammad Ibn Thalhah juga mengunjungi ibu saudaranya Zainab binti Jahsy. Ia duduk dan mendengarkan nasihatnya yang ia terima dari Rasul. Dengan demikian ia tahu bagaimana beliau berinteraksi dengan keluarga dan pembantunya. Ia tahu bagaimana Rasulullah menerima wahyu. Hal ini makin memberinya kekuatan iman dan dapat menambah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia melaksanakan ibadah solat, puasa dan menjauhi gemerlapnya dunia dan nafsu syahwat, bahkan tetap di jalan yang lurus dalam setiap ucapan dan perbuatan.
Di samping Muhammad Ibn Thalhah menghafal Kitabullah ia juga memperhatikan ayat-ayatnya pada saat membacanya. Ia menghafal banyak hadith Nabi dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Oleh kerana itu ia mencapai kedudukan yang tinggi di antara manusia. Beliau merasa cukup dengan keadaan sederhana, merendah, tidak angkuh terhadap yang miskin, meskipun Allah memberinya kesenangan duniawi sehingga menjadikannya termasuk orang-orang yang kaya.
Sebagaimana halnya Muhammad Ibn Thalhah mulia kerana amalan hidupnya yang penuh dengan beribadah kepada Allah tidak condong pada gemerlapan kehidupan duniawi dan kenikmatannya, ia juga terhindar dari terlibatnya kehidupan kaum muslimin yang terjerumus dalam fitnah setelah wafatnya Rasulullah. Kerana itu ketika Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan terbunuh di rumahnya dalam keadaan sedang membaca Al-Quran di biliknya, Muhammad Ibn Thalhah bertanya-tanya sambil bercucuran air mata membasahi janggutnya, siapa gerangan yang membunuh Amirul Mukminin?
Apakah Muhammad Ibn Abu Bakar terlibat dalam pembunuhan tersebut ataukah isu itu hanya sengaja memalingkan dari keadaan yang sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang derhaka? Setelah jelas bahawa putera Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak terlibat, fikirannya mantap dan semangat cintanya berkobar. Ia amat mengharapkan agar putera Abu Bakar tersebut tidak terlibat dalam pembunuhan Amirul Mukminin.
Wafatnya Utsman merupakan awal terjadinya fitnah yang keji dan kemudian berlanjut dengan terpecahnya barisan umat Islam. Kaum muslimin membaiat Saidina Ali sebagai khalifah. Semuanya membaiat, kecuali Muawiyah dan penduduk Syam. Peristiwanya berlangsung amat cepat. Terjadilah perang unta di mana Ummul Mukminin Aisyah ra. terlibat di dalamnya.
Thalhah termasuk pemerhati atas terbunuhnya Utsman Ibn Affan. Oleh kerana itu sebenarnya ia tidak sepenuhnya terlibat dalam pertempuran ini. Justeru itu Bani Umaiyah memperoleh keuntungan darinya demi melaksanakan balas dendam. Hal ini terbukti ketika Marwan Ibn Al-Hakam mengarahkan panahnya ke Thalhah.
Saat itu Thalhah berseru: “Saya tidak menuntut balas setelah hari ini!” Thalhah menemui ajalnya, ia gugur sebagai syahid.
Adapun Muhammad Ibn Thalhah, ia sebenarnya condong kepada pihak Saidina Ali, tetapi kerana taat pada ayahnya yang terlibat dalam memerangi Saidina Ali maka ia ada di pihak lawan Ali. Meskipun demikian ia tidak berusaha membunuh seseorang. Apabila seseorang mengangkat senjata melawannya, ia berkata: “Aku ingatkan engkau dengan seorang sahabat karib!” Lalu ia menjauhinya.
Begitu seterusnya sampai datang seorang lelaki berhati keras bernama Isham Ibn Muqsyair an-Nashri menurut pendapat yang terkuat, tidak mempedulikan kata-katanya, “Aku ingatkan engkau dengan seorang sahabat karib.” Orang ini langsung mengangkat senjata ke arahnya, menikam dengan tikaman mematikan. Maka Muhammad jatuh, darahnya mengalir, lalu si pembunuh berdiri sambil melagukan beberapa syair berikut ini: Timbullah kekuatan sebagai tanda kekuasaan Tuhan
Sedikit sekali rintangan yang dijumpai oleh seorang muslim
la terpanah di bahagian bawah dadanya
Dua tangan dan mulutnya jatuh terbanting
Saat tertikam ia mengingatkanku sebagai sahabat karib
Mengapa tidak ia ucapkan sahabat karib sebelum maju? Dengan cara itulah ia mati syahid. Ia terbunuh sebagai hamba yang menegakkan ayat-ayat Allah. Ia mengingatkan tentang sahabat karib, tapi tidak terdengar dan tidak terjawab.
Setelah pertempuran selesai, Saidina Ali, puteranya Hasan, Muhammad Ibn Abu Bakar, dan Amar Ibn Yasir memeriksa medan perang, tiba-tiba Hasan melihat mayat yang wajahnya tertelungkup. Kemudian ia membalikkan badannya, dan setelah diperhatikan ia berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un (sesungguhnya segala sesuatu itu bagi Allah dan sesungguhnya segala sesuatu itu akan kembali kepada Allah).
Demi Allah, orang ini termasuk bahagian dari orang Quraisy.” Ayahnya bertanya kepadanya: “Siapa ia, wahai anakku?” Jawab Hasan, “Muhammad Ibn Thalhah.” Saidina Ali kemudian berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Orang ini ahli sujud dan pemelihara Kaabah. Ia adalah pemuda yang soleh.” Setelah itu beliau duduk, nampak sedih dan pilu. Hasan berkata kepadanya: “Wahai ayahku, dulu aku pernah mencegahmu melakukan perjalanan ini, tapi si anu dan si anu mengalahkan pendapatmu.” Jawab Saidina Ali: “Dulunya begitu (sekarang sudah terjadi), wahai anakku. Aku berharap seandainya 20 tahun yang lalu aku sudah meninggal.”
Allah menghendaki agar Thalhah dan puteranya dimakamkan dalam satu kubur. Langit membukakan pintu rahmat dan keredaan bagi kedua pahlawan syahid ini.
Yang pertama kali terlihat oleh si bayi (Muhammad Ibn Thalhah) setelah kelahirannya ke dunia ini adalah wajah Nabi SAW. Waktu itu ia dibawa ke hadapan Rasul lalu Nabi bertanya: “Nama apa yang engkau berikan padanya?” Mereka menjawab, “Muhammad.” Kata Nabi: “Itu namaku.” Julukannya Abu Al-Qasim. Kemudian baginda SAW mendoakan bayi tersebut dengan kebaikan dan berkah.
Menjelang usia mudanya, Muhammad Ibn Thalhah tekun beribadah dan khusyuk dalam sujud. Di bawah asuhan ayahnya mampu menghafal Al-Quran. Ayahnya termasuk salah seorang dari orang-orang yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Ia juga termasuk salah seorang dari 10 orang yang diberitakan masuk syurga. Juga termasuk salah seorang yang jadikan Umar sebagai calon khalifah dalam dewan permesyuaratan.
Beliau tertimpa musibah di waktu perang Uhud. Rasulullah SAW merawatnya sendiri, ertinya merawat dengan tangan baginda sendiri kepada Thalhah yang terkena anak panah sehingga tangannya terasa kaku. Rasulullah mengangkat Thalhah kepunggungnya dan membawanya sampai jauh dari para pemanah.
Pada waktu itu Rasulullah berkata: “Wajib bagi Thalhah!” Ertinya Thalhah telah melakukan suatu amal yang mewajibkannya masuk syurga.
Thalhah mendidik anaknya, Muhammad, dengan pendidikan yang mulia sehingga Muhammad tekun beribadah kepada Allah. Tidak ada kesenangan duniawi dengan segala perhiasannya, yang dapat menggantikannya dari kesibukan berzikir kepada Allah dan membaca Al-Quran. Jika ia hendak solat, di malam hari ia munajat kepada Allah, sehingga lupa akan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan ia tidak tahu telah berapa lama waktunya berlalu. Oleh kerana itu ia dijuluki sebagai ahli sujud, kerana banyaknya sujud yang ia lakukan kepada Allah Azzawa Jalla.
Baginya belum merasa cukup jika hanya mendengar nasihat dari ayahnya. Ia sendiri mendengar dari Rasulullah SAW. Muhammad Ibn Thalhah juga mengunjungi ibu saudaranya Zainab binti Jahsy. Ia duduk dan mendengarkan nasihatnya yang ia terima dari Rasul. Dengan demikian ia tahu bagaimana beliau berinteraksi dengan keluarga dan pembantunya. Ia tahu bagaimana Rasulullah menerima wahyu. Hal ini makin memberinya kekuatan iman dan dapat menambah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia melaksanakan ibadah solat, puasa dan menjauhi gemerlapnya dunia dan nafsu syahwat, bahkan tetap di jalan yang lurus dalam setiap ucapan dan perbuatan.
Di samping Muhammad Ibn Thalhah menghafal Kitabullah ia juga memperhatikan ayat-ayatnya pada saat membacanya. Ia menghafal banyak hadith Nabi dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Oleh kerana itu ia mencapai kedudukan yang tinggi di antara manusia. Beliau merasa cukup dengan keadaan sederhana, merendah, tidak angkuh terhadap yang miskin, meskipun Allah memberinya kesenangan duniawi sehingga menjadikannya termasuk orang-orang yang kaya.
Sebagaimana halnya Muhammad Ibn Thalhah mulia kerana amalan hidupnya yang penuh dengan beribadah kepada Allah tidak condong pada gemerlapan kehidupan duniawi dan kenikmatannya, ia juga terhindar dari terlibatnya kehidupan kaum muslimin yang terjerumus dalam fitnah setelah wafatnya Rasulullah. Kerana itu ketika Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan terbunuh di rumahnya dalam keadaan sedang membaca Al-Quran di biliknya, Muhammad Ibn Thalhah bertanya-tanya sambil bercucuran air mata membasahi janggutnya, siapa gerangan yang membunuh Amirul Mukminin?
Apakah Muhammad Ibn Abu Bakar terlibat dalam pembunuhan tersebut ataukah isu itu hanya sengaja memalingkan dari keadaan yang sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang derhaka? Setelah jelas bahawa putera Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak terlibat, fikirannya mantap dan semangat cintanya berkobar. Ia amat mengharapkan agar putera Abu Bakar tersebut tidak terlibat dalam pembunuhan Amirul Mukminin.
Wafatnya Utsman merupakan awal terjadinya fitnah yang keji dan kemudian berlanjut dengan terpecahnya barisan umat Islam. Kaum muslimin membaiat Saidina Ali sebagai khalifah. Semuanya membaiat, kecuali Muawiyah dan penduduk Syam. Peristiwanya berlangsung amat cepat. Terjadilah perang unta di mana Ummul Mukminin Aisyah ra. terlibat di dalamnya.
Thalhah termasuk pemerhati atas terbunuhnya Utsman Ibn Affan. Oleh kerana itu sebenarnya ia tidak sepenuhnya terlibat dalam pertempuran ini. Justeru itu Bani Umaiyah memperoleh keuntungan darinya demi melaksanakan balas dendam. Hal ini terbukti ketika Marwan Ibn Al-Hakam mengarahkan panahnya ke Thalhah.
Saat itu Thalhah berseru: “Saya tidak menuntut balas setelah hari ini!” Thalhah menemui ajalnya, ia gugur sebagai syahid.
Adapun Muhammad Ibn Thalhah, ia sebenarnya condong kepada pihak Saidina Ali, tetapi kerana taat pada ayahnya yang terlibat dalam memerangi Saidina Ali maka ia ada di pihak lawan Ali. Meskipun demikian ia tidak berusaha membunuh seseorang. Apabila seseorang mengangkat senjata melawannya, ia berkata: “Aku ingatkan engkau dengan seorang sahabat karib!” Lalu ia menjauhinya.
Begitu seterusnya sampai datang seorang lelaki berhati keras bernama Isham Ibn Muqsyair an-Nashri menurut pendapat yang terkuat, tidak mempedulikan kata-katanya, “Aku ingatkan engkau dengan seorang sahabat karib.” Orang ini langsung mengangkat senjata ke arahnya, menikam dengan tikaman mematikan. Maka Muhammad jatuh, darahnya mengalir, lalu si pembunuh berdiri sambil melagukan beberapa syair berikut ini: Timbullah kekuatan sebagai tanda kekuasaan Tuhan
Sedikit sekali rintangan yang dijumpai oleh seorang muslim
la terpanah di bahagian bawah dadanya
Dua tangan dan mulutnya jatuh terbanting
Saat tertikam ia mengingatkanku sebagai sahabat karib
Mengapa tidak ia ucapkan sahabat karib sebelum maju? Dengan cara itulah ia mati syahid. Ia terbunuh sebagai hamba yang menegakkan ayat-ayat Allah. Ia mengingatkan tentang sahabat karib, tapi tidak terdengar dan tidak terjawab.
Setelah pertempuran selesai, Saidina Ali, puteranya Hasan, Muhammad Ibn Abu Bakar, dan Amar Ibn Yasir memeriksa medan perang, tiba-tiba Hasan melihat mayat yang wajahnya tertelungkup. Kemudian ia membalikkan badannya, dan setelah diperhatikan ia berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un (sesungguhnya segala sesuatu itu bagi Allah dan sesungguhnya segala sesuatu itu akan kembali kepada Allah).
Demi Allah, orang ini termasuk bahagian dari orang Quraisy.” Ayahnya bertanya kepadanya: “Siapa ia, wahai anakku?” Jawab Hasan, “Muhammad Ibn Thalhah.” Saidina Ali kemudian berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Orang ini ahli sujud dan pemelihara Kaabah. Ia adalah pemuda yang soleh.” Setelah itu beliau duduk, nampak sedih dan pilu. Hasan berkata kepadanya: “Wahai ayahku, dulu aku pernah mencegahmu melakukan perjalanan ini, tapi si anu dan si anu mengalahkan pendapatmu.” Jawab Saidina Ali: “Dulunya begitu (sekarang sudah terjadi), wahai anakku. Aku berharap seandainya 20 tahun yang lalu aku sudah meninggal.”
Allah menghendaki agar Thalhah dan puteranya dimakamkan dalam satu kubur. Langit membukakan pintu rahmat dan keredaan bagi kedua pahlawan syahid ini.
Subscribe to:
Kommentarer til indlægget (Atom)
|
0 kommentarer:
Send en kommentar